webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Terima kasih traktirannya

Dirga mulai sadar, hidungnya langsung mencium bau obat, khas rumah sakit. Dirga menatap sekelilingnya, matanya tertuju kepada ayahnya yang duduk dikursi.

"Yah...", Dirga bicara pelan.

"Udah sadar kamu?", pak Wiratama bicara santai, masih tetap membaca kertas-kertas yang ada dihadapannya.

Dirga berusaha untuk duduk, pak Wiratama hanya menatapnya, tidak berniat untuk membantu atau mendekati.

"Kenapa Dirga bisa disini yah...?"

"Kamu pingsan pas mau keluar dari ruang kerja ayah"

"Dirga minta maaf yah, Dirga salah..."

"O... Sadar kalau kamu salah sekarang?"

"Apa yang bisa Dirga bantu yah...?"

"Kamu istirahat, kata dokter kamu harus dirawat 2 hari. Setelah itu nanti kita pikirkan lagi"

"Terima kasih yah"

"Ayah mau keluar cari makan, kamu mau makan apa...?"

"Apa aja yah"

"Ayah tinggal, kalau ada apa-apa panggil suster jaga"

"Iya yah"

Pak Wiratama melangkah meninggalkan ruang rawat Dirga.

***

Setelah makan siang, Sinta bergerak menuju rutan.

Sinta menunggu di sebuah ruangan sendirian, tidak perlu menunggu lama Candra muncul bersama seorang polisi rutan.

"Mbak...?", Candra bicara sedikit kecewa, dia pikir ibunya yang datang.

"Waktu kalian 15 menit", polisi rutan keluar ruangan.

Sinta meletakkan makanan yang dia bawa keatas meja.

"Makan dulu, kamu makin kurus", Sinta bicara pelan. Entah mengapa dia merasa kasihan melihat keadaan Candra seperti ini.

Candra lebih kurus dari yang terakhir dia lihat, mukanya sudah mulai tumbuh bulu-bulu halus. Tidak terlihat luka lebam karena dikeroyok, ataupun dipukuli. Hanya terdapat kantung mata yang menandakan dia kurang tidur.

Candra meraih makanan pemberian Sinta.

"Makasih mbak", Candra tidak bicara apa-apa lagi, dia langsung makan dengan lahapnya, air matanya menetes membasahi pipi. Entah apa yang ada dipikirinnya saat ini.

"Makannya pelan-pelan, nanti kamu tersedak", Sinta mengingatkan, kemudian menyodorkan minum kehadapan Cakya.

Cakya hanya mengangguk pelan, tetap menyuapi suapan besar makanan kedalam mulutnya. Cakya terlihat sangat menikmati makan siangnya kali ini.

"Kamu yang kuat disini, baik-baik. Mbak punya teman yang pernah dipenjara, karena berkelakuan baik, masa tahanannya dipotong. Mbak berharap ini bisa jadi pelajaran penting buat kamu. Hati-hati milih teman, hati-hati dalam bertingkah. Kita g'ak hidup sendiri diatas dunia ini", Sinta mulai menceramahi Candra.

Cakya mengangguk patuh. Dia tetap konsentrasi penuh menghabiskan makanannya.

"Kalau mbak sering kesini jenguk kamu, apa kamu keberatan...?", Sinta meminta persetujuan Candra, karena dia tidak merasa dia sedekat itu untuk sering mengunjungi Candra di rumah tahanan.

Candra hanya menggeleng. Setelah menghabiskan makanannya, Candra memasukkan kotak makanan kedalam kantong plastik.

"Mbak..."

"Kamu mau nanya kenapa mbak yang kesini bukan mama kamu...?"

"Em... "

"Mbak tau kamu kecewa kenapa yang datang bukan keluarga kamu. Mama kamu sudah di Malaysia sekarang, kerumah nenek", Sinta membaca raut muka kecewa di wajah Candra.

"Mama kamu kecewa dengan sikap ayah kamu yang membiarkan kamu masuk penjara. Bahkan kamu harus menggantikan ayah kamu dihukum disini, karena orang-orang suruhan ayah kamu. Mama kamu gugat cerai, makanya mama kamu kembali kerumah nenek di Malaysia"

"Jadi... Ayah memang sudah tidak perduli lagi sama Candra...?"

"Ayah kamu terlalu mencintai diri sendiri. Kamu g'ak perlu sedih. Ada mbak disini. Anggap mbak sebagai wali kamu sekarang. Kamu butuh apa-apa kasih tau mbak"

"Mbak... Kalau mbak kesini lagi, bisa... Bawain Candra Al-qur'an dan perlengkapan sholat...?"

Sinta tersenyum mendengar permintaan Candra, "Dengan senang hati. Nanti kalau mbak kesini lagi, mbak bawain", Sinta mengikrarkan janjinya kepada Candra.

"Terima kasih sebelumnya mbak", Candra bicara tulus dari hatinya yang paling dalam. Disaat seperti ini, Sinta yang sering di pandang sebelah mata olehnya, malah dia satu-satunya orang yang sangat peduli padanya saat dia terpuruk.

"Kamu mau dibawain makanan apa sama mbak...?", Sinta mencoba mengalihkan kesedihan Candra.

"G'ak perlu repot mbak, Candra baik-baik saja kok sama makanan penjara", Candra tidak mau merepotkan malaikat penjaganya ini.

Penjaga rutan masuk, menandakan waktu kunjungan sudah berakhir.

"Mbak pulang dulu, kamu yang kuat. Jaga diri", Sinta menggenggam tangan kanan Candra dengan kedua jemari tangannya, berharap itu bisa memberikan Candra kekuatan.

Candra langsung mencium punggung tangan Sinta dengan rasa tazim. "Terima kasih mbak atas semuanya", Cakya tanpa disadari meneteskan air mata.

Sinta spontan memeluk Candra, "Kamu yang kuat dek", Sinta berbisik disela tangisnya.

Candra kembali dipasangi borgol ditangannya, kemudian kembali kedalam sel tahanan. Sinta melangkah berat meninggalkan rutan.

Tidak pernah ada dalam pikiran Sinta, kalau dia akan demikian sedih melihat keadaan Candra yang malang.

***

Erfly dan Gama memutuskan untuk makan soto padang. Karena hanya itu rumah makan yang paling dekat dengan tempat tinggal Erfly.

Setelah makan Gama memutuskan untuk mengantar Erfly kembali kerumahnya.

"Mau Erfly buatkan minum g'ak...?", Erfly bertanya sembari membuka pintu rumahnya.

"G'ak usah, Gama udah kenyang banget", Gama nyengir kuda, kemudian duduk di bangku teras rumah Erfly.

Erfly malah ngebeo malah ikutan duduk.

"Terima kasih traktirannya"

"Santai"

"Emang kamu g'ak kehabisan duit ntar...? Gama perhatiin kamu royal banget ngeluarin duit. Ntar g'ak bisa bayar sewa rumah, malah diusir berabe kan urusannya"

"Sok peduli. Kalau cuma traktir kamu makan doank mah Erfly g'ak akan langsung jatuh miskin kali"

"Ya kali aja"

"Ini rumah nenek, jadi Erfly tinggal gratis. Listrik air plus wifi sudah sekalian satu paket dibayarin sekretarisnya papa tiap bulan. Jadi... Tenang aja. Yah... Paling kehabisan duit jebol kiriman mama. Hahahaha"

"Hidupnya santai banget, lah aku. Ngadalin pensiunannya papa almarhum. Mesti kerja keras buat bertahan hidup"

"Kan kalau laper, mentok juga kerumah Cakya"

"Sebaik-baiknya orang sama kita, kitanya mesti tahu diri kali"

"Nah... Itu tau, kok sama Erfly g'ak ada tau dirinya ya"

"Ye...", Gama mengacak rambut Erfly kesal.

"Hahha... ", Erfly tertawa puas berhasil menjahili Gama.

"Gama balik ya, udah sore. Badan udah lengket", Gama berpamitan.

"Motor Gama kemana...?", Erfly bertanya sebelum Gama sempat melangkah pergi.

"Hehehe... Gama gadein buat bayar SPP", Gama menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Astagfirullah, kenapa g'ak ngomong sih kalau butuh duit...?", Erfly bicara kesal.

"Ya kali Gama Ngomong-ngomong sama kamu, mau ditarok dimana harga diri Gama sebagai cowok", Gama bicara jujur.

"Taro di dengkul", Erfly menjawab kesal. Erfly langsung melemparkan kunci motornya ke Gama.

Sigap Gama menangkap kunci motor Erfly.

"Bawa aja motor Erfly", Erfly bicara ketus.

"Kamu g'ak takut, motornya ikutan Gama inapin di pengadaian...?", Gama bertanya penasaran.

"Ya kali Gama berani", Erfly bicara santai, kemudian melangkah ingin masuk kerumahnya. "Balik sono, Erfly mau mandi terus rebahan", Erfly bicara santai.

"Erfly... Terima kasih", Gama bicara lirih.

Erfly hanya memberi isyarat Ok melalui jemari tangannya, tanpa menoleh kebelakang menatap kepergian Gama.