webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Selama ini dia hidup dengan replika dirimu

Mayang duduk di bangku terdekat yang bisa dia raih. Dadanya terasa penuh tiba-tiba, sekuat tenaga Mayang menahan tangis mendengar percakapan Wulan dan Cakya. Mayang bahkan tidak tega melihat keadaan Cakya yang sangat terpukul menerima kenyataan.

"Assalamu'alaikum...", suara salam dari Gama membuyarkan lamunan Mayang.

"Wa'alaikumsalam...", Mayang menghapus cepat jejak air matanya.

Gama segera duduk di samping Mayang, "Ada apa...?", Gama bertanya lembut, menghapus air mata Mayang.

"Di dalam ada Cakya dan Wulan...", Mayang bicara dengan sekuat tenaga yang tersisa.

Gama mengerutkan keningnya sejenak, kemudian masuk kedalam ruangan istirahat khusus untuk staf klinik.

Begitu Gama muncul di daun pintu, Gama melihat Cakya yang masih menangis merangkul kedua kakinya. Sedangkan Wulan memeluk erat Cakya dari belakang, tangisnya juga belum kering.

Gama menghampiri Cakya dan Wulan, kemudian duduk tepat di hadapan Cakya.

"Ada apa lagi...?", Gama bertanya lembut.

"Selama ini Cakya mati-matian mencari Erfly. Sekuat hati Cakya bertahan dengan luka ini. Tapi... Ternyata yang menjadi otak dari Erfly meninggalkan Cakya adalah papa...", Cakya bicara lirih, terlihat raut muka yang putus asa diwajah Cakya.

"Papa juga yang menjadi alasan Candra meninggalkan Wulan begitu saja", Wulan menimpali.

Gama langsung memeluk Cakya dan Wulan, hatinya sama hancurnya dengan kedua keponakannya ini.

***

Erfly duduk dibalik meja kerjanya. Nadhira menghampiri Erfly dengan membawa semangkuk bubur kepiting kesukaan Erfly.

"Len...", Nadhira bicara lembut.

"Iya teh...", Erfly bicara pelan tanpa menatap Nadhira.

"Makan dulu, dari pagi kamu belum makan...", Nadhira bicara lembut.

Belum sempat Erfly menolak, Satia melakukan panggilan Vidio. Erfly segera mengangkat telfon.

"Assalamu'alaikum...", Satia mengucap salam lembut.

"Wa'alaikumsalam, bagaimana kabar kamu dek...?", Satia bertanya lembut, senyum hangat terukir diawajahnya.

"Ilen baik-baik saja mas, mas sendiri bagaimana...?", Erfly balik bertanya.

"Semua lancar, anak-anak bagaimana...?", Satia sengaja bertanya agar Erfly ingat posisinya saat ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi ada 3 si kembar yang harus dia jaga.

"Erfly... Lagi istirahat mas. Bang Hasan dan kak Husen, InsyAllah besok sore udah di rumah", Erfly menjawab sekenanya.

"Em... Syukurlah setidaknya mas bisa lebih tenang disini. Kamu udah makan dek...?", Satia sengaja melontarkan pertanyaan berikutnya.

"Em... Ilen masih ada kerjaan, ntar Ilen makan mas", Erfly berusaha menghindar.

"Dek... Kamu itu sekarang sudah tidak sendiri lagi, ada si kembar yang masih butuh kamu. Ntar kalau kamu sakit, kasian si kembar", Satia menekankan setiap kata-katanya.

"Iya mas, ini teh Nadhira sudah bawa bubur kepiting kok", Erfly segera berdalih.

"Makan dulu, kerjaan bisa dilanjutkan nanti saja", Satia memberi perintah.

Erfly tersenyum lembut, kemudian berpindah posisi bersama kursi rodanya. Nadhira masih setia duduk di sofa tamu di samping daun pintu. Erfly segera makan dengan diawasi oleh Satia.

"Mas... G'ak ada kegiatan...?", Erfly balik bertanya, selanjutnya memasukkan suapan besar kedalam mulutnya yang mungil.

"Ini mas lagi kerja", Satia menjawab asal.

"Kerja apa...? Mas dari tadi di depan HP", Erfly protes tidak setuju.

"Lagi ngawasin kamu biar menghabiskan makanannya dengan baik", Satia menjawab santai, kemudian berbaring diatas matras.

Erfly spontan tertawa mendengar jawaban Satia, "Ada-ada saja", Erfly kembali melanjutkan makannya.

"Tugas utama mas itu selain jadi pimpinan batalion, kamu lupa mas juga kepala keluarga, jadi sudah tugas mas untuk memastikan semua anggota keluarga mas baik-baik saja", Satia menjelaskan perlahan.

Erfly tersenyum lembut, hatinya terasa hangat mendengar ucapan Satia yang penuh kasih.

"Ya udah, kamu selesaikan makannya dek. Mas mau ngecek anak-anak dulu", Satia kembali dalam posisi duduk.

Erfly hanya tersenyum, "Cepat pulang mas, Ilen kangen...", Erfly bicara diluar dugaan Satia.

Satia terdiam sejenak, hatinya serasa diremas. Rasanya dia ingin berlari pulang saat itu juga.

"Yah... InsyaAllah...", Satia akhirnya berucap lembut, melemparkan senyuman pahit.

"Hati-hati mas, assalamu'alaikum", Erfly mengakhiri hubungan telfon.

"Wa'alaikumsalam...", Satia menjawab lirih.

Erfly segera menghabiskan makan malamnya, kemudian mengakhiri dengan segelas air putih hangat.

"Ada apa teh...?", Erfly bertanya lembut.

"G'ak...", Nadhira berusaha menghindar, Nadhira tidak mau menambah beban pikiran Erfly. Sudah cukup berat untuk Erfly harus bertemu Cakya, luka yang sudah mulai mengering kembali terkoyak perlahan.

Erfly menatap Nadhira dengan tatapan tajamnya, Nadhira segera tertunduk menghindari tatapan Erfly yang membunuh.

"Proyek kita yang di Bali...", Nadhira bicara dengan suara paling rendah.

"Kenapa...?", Erfly kembali mengejar jawaban.

"Pimpinan disana sudah deal dengan pemasok furnitur, mereka minta bayaran nanti saja, langsung dilunaskan saat barang sudah masuk nantinya", Nadhira menggantung ucapannya.

"Lalu...? Apa masalahnya...?", Erfly mengerutkan keningnya.

"Teteh curiga... Yang ada di balik perusahaan ini orang yang sama...", Nadhira bicara sanksi.

"Utama lagi...?", Erfly menebak frustrasi.

Nadhira tidak berani menjawab, hanya mengangguk pelan.

"Astagfirullah...", Erfly mengusap muka frustrasi. Erfly kembali meraih HPnya dan melakukan panggilan keluar.

"Assalamu'alaikum... Kenapa dek...?", terdengar suara Satia lembut dari ujung lain telfon.

"Wa'alaikumsalam, mas... Ilen mau minta tolong", Erfly bicara sanksi.

***

Gama baru saja mendarat, setelah melihat Cakya dan Wulan yang sama-sama hancur, Gama akhirnya memutuskan untuk terbang langsung ke Lombok bertemu Erfly. Gama mengetuk pintu sebuah rumah, yang cukup sederhana untuk seorang milyader, pengusaha properti seperti Erfly. Terlalu biasa untuk ukuran seorang Jendral satuan khusus Angkatan Udara.

Gama menunggu beberapa saat hingga pintu terbuka, setelah menyampaikan maksud kedatangannya, Gama di tuntun menuju ruang kerja Erfly. Salwa mengetuk pintu dengan santun, setelah diizinkan masuk Salwa segera membuka daun pintu.

"Ada apa mbak...?", Erfly bertanya lembut.

"Ada tamu...", Salwa bicara ragu.

Belum juga Erfly menjawab, Gama langsung memaksa untuk masuk.

"Gama...?", Nadhira langsung berdiri, tubuhnya tiba-tiba mencium bau masalah lagi yang akan segera datang.

"Ada yang mau aku omongin", Gama memberikan ikrar.

"Maaf, bisa tinggalkan kita berdua...?", Erfly bicara dingin.

Nadhira dan Salwa dengan patuh keluar dari ruang kerja Erfly.

"Duduk bang, mau minum apa...?", Erfly bicara santai, kemudian menuju kulkas yang ada disamping meja kerjanya.

"Belum cukup selama ini kamu menyiksa Cakya...?", Gama langsung meradang meluapkan emosinya.

Erfly berhenti sejenak, kemudian menarik nafas dalam. Menit berikutnya, Erfly membuka kulkas, mengambil kopi botolan kesukaan Gama, setidaknya itu yang dia ingat dari 10 tahun yang lalu. Erfly kembali berbalik menuju Gama dengan kursi roda sahabatnya, Erfly meletakkan kopi diatas meja tepat dihadapan Gama.

"10 tahun Erfly, Cakya dengan luka itu...! Apa belum cukup kamu menyiksa dia selama ini...?", Gama kembali menuntut jawaban.

Erfly tertawa pahit, "Cakya...? Jadi... Abang jauh-jauh kesini hanya untuk ngebahas Cakya...?", Erfly kembali tertawa getir.

"Apa belum cukup kamu menyiksa Cakya 10 tahun dengan rindunya...? 10 tahun dia seperti orang gila mencari keberadaan kamu. 10 tahun dia merawat lukanya karena kamu. Apa itu belum cukup...? Kenapa kamu harus kembali menghukum dia seperti ini...?!", Gama berteriak kasar dihadapan Erfly.

Erfly menatap tajam kearah Gama, "Bukan hanya Cakya yang sakit bang, Erfly jauh lebih sakit dari siapapun.

Abang marah karena Erfly meninggalkan Cakya begitu saja, sehingga dia sakit selama 10 tahun. Apa kabar Erfly bang...?

10 tahun Erfly bahkan tidak pernah ziarah ke makamnya papa dan mama, 10 tahun Erfly tersiksa dengan rasa bersalah ini, 10 tahun Erfly juga dengan luka yang sama.

Kalau ngebunuh orang itu halal, udah lama Erfly bunuh ayahnya Cakya, bukan sekali bang, dua kali dia merugikan perusahaan. Erfly tetap diam, karena Erfly g'ak mau Cakya dan keluarga hancur karena dimata mereka papanya adalah sosok ayah yang sempurna. Oleh karena itu Erfly memutuskan untuk mundur dan menghilang bang.

Jawab bang, Erfly harus apa...? Bahkan ayahnya Cakya yang menjadi dalang kecelakaan keluarga Erfly, Erfly kehilangan kaki sekaligus kedua orang tua Erfly. Bukan hanya itu, Erfly juga kehilangan orang yang Erfly cintai, 10 tahun Erfly juga dalam luka yang sama bang. Bahkan jauh lebih sakit dari Cakya.

Sekarang Erfly tanya, Erfly harus bagaimana bang...? Biar benar dimata abang...?", Erfly bicara dingin, menahan keras agar air matanya tidak menyerbu keluar.

Gama terdiam membisu mendengar semua ucapan putus asa Erfly. Ternyata selama ini dia salah, bukan hanya Cakya yang dalam luka, Erfly juga dalam luka yang sama. Dia salah, Erfly jauh lebih terluka. Bagaimana dia bisa bertahan sejauh ini tanpa goyah sedikitpun dengan luka seperti itu selama ini...?

"Selama ini dia hidup dengan replika dirimu", Gama tiba-tiba angkat bicara.

Setelah mengucapkan kalimat itu, Gama langsung berlalu pergi dari hadapan Erfly.

Tangis Erfly pecah, begitu Gama melewati daun pintu. Berkali-kali Erfly memukul dadanya yang terasa sesak.