Putri menggeleng pelan, "Saya tidak tahu pasti siapa orangnya, kata pak Jendral teman sekolahnya bang Cakya", Putri bicara kata perkata dengan perasaan kecewa.
Erfly kecil hanya bergumam pelan merespon ucapan Putri.
Setelahnya tidak ada satupun dari Putri ataupun Erfly kecil yang angkat suara. Mereka memilih untuk menyelesaikan tugasnya dengan sesegera mungkin sebelum jadwal makan.
Langit dengan cepat berwarna jingga, matahari perlahan mulai bersembunyi di balik gunung.
Putri bersiap memakai jaket, dan berjalan perlahan semakin menjauhi tenda dan teman-temannya.
"Mau kemana kamu dek...?", Cakya bertanya pelan, begitu Putri lewat di depan tenda Cakya.
"Kedepan, ada yang mau dibeli", Putri menjawab lembut.
"Cakya antar", Cakya segera berdiri dari posisi duduk nyamannya, segera berjalan berdampingan dengan Putri.
Tidak ada satupun yang berani angkat suara, hingga akhirnya Cakya melihat ada ranting pohon yang patah.
"Erfly...!!!", Cakya segera merangkul tubuh Erfly dan menarik Erfly menjauh, sialnya kaki Cakya malah tertimpa ranting pohon.
"Aauuu...!!!", Cakya mengerang kesakitan.
Putri masih hanya diam membeku di posisinya, menatap kosong kejadian di hadapannya.
"Cakya...!!!", Erfly merangkak sekuat tenaga menghampiri Cakya, tangisnya pecah seketika.
Hanya dalam hitungan detik, Pasya datang bersama yang lainnya. Pasya dan rekannya segera menyingkirkan ranting pohon yang menimpa tulang kering kaki kiri Cakya.
Darah segar Cakya segera mengalir membasahi aspal, pelipis Cakya terkoyak karena tergores patahan ranting kecil. Begitu patahan ranting kayu bisa diangkat, tulang kering kaki kiri Cakya langsung terlihat, darah segar mengalir dengan derasnya.
Cakya segera tidak sadarkan diri, Erfly meletakkan kepala Cakya tepat di pangkuannya.
"Cakya...!!! Bangun....!!! Cakya....!!!", Erfly mengulang kata-kata yang sama berulang-ulang seperti kaset rusak.
Pasya segera sibuk dengan HPnya, hanya dalam hitungan menit ambulance datang dan mengangkut Cakya.
Pasya menghampiri Putri yang masih diam mematung. Pasya menepuk pelan pundak Putri, segera mengembalikan Putri ke alam sadarnya.
"Ah... Iya", Putri bicara tergagap.
"Teman anda sudah masuk ambulance, kita akan bawa kerumah sakit terdekat. Anda mau tetap disini atau ikut ke rumah sakit...?", Pasya bertanya dengan perlahan.
"Saya... Saya...", Putri masih bingung mau menjawab apa.
Pasya tidak mau ambil resiko, satelah Erfly masuk kedalam ambulance. Pasya segera meminta ambulance segera jalan. Pasya kembali meraih HPnya, menekan salah satu nomor yang ada di layar HPnya.
Menit-menit berlalu begitu saja, Pasya mengajak Putri untuk duduk agar lebih tenang. Pasya menyerahkan sebotol air mineral yang sudah di buka ketangan Putri. "Diminum dulu", Pasya bicara lembut.
Putri segera meneguk air pemberian Pasya. "Cakya...?", ucapan pertama yang meluncur dari mulut Putri berikutnya.
"InsyAllah dia sudah aman, sekarang sudah di bawa ambulance ke rumah sakit terdekat", Pasya bicara dengan sangat perlahan.
"Putri.... Putri mau kesana", Putri bicara terbata.
"Saya sudah menelfon teman anda, sebaiknya anda istirahat disini saja. Sepertinya anda masih syok", Pasya memberi saran.
"Putri....!!!", teriak salah satu perempuan yang berlari dengan tergopoh-gopoh.
Putri segera menyerbu kepelukan perempuan yang manggil namanya. Sekuat tenaga Putri bertahan untuk tidak menangis.
"Em... Apa ada yang bisa saya bantu lagi...?", Pasya bertanya kikuk, Pasya segera mundur beberapa langkah, memberikan ruang kepada teman-teman Putri yang mengelilingi Putri, mereka berjumlah 5 orang, 3 perempuan dan 2 laki-laki.
"G'ak apa-apa mas, terima kasih. InsyaAllah Putri aman kok sama kita", ucap salah satu lelaki.
"Kalau begitu saya permisi, mau mengecek keadaan Cakya di rumah sakit", Pasya bicara pelan. Kemudian berlalu dari hadapan Putri dan teman-temannya.
"Ya ampun Putri...! Sebenarnya ada apa...?", Perempuan yang dipeluk Putri bertanya bingung.
Putri masih tetap tidak melepaskan pelukannya, menyembunyikan mukanya di pundak perempuan itu.
"Em... Kita kembali ke tenda saja", salah seorang lelaki memberikan usul.
"Aku disini dulu sama Putri. Nanti kita menyusul", perempuan yang di peluk Putri angkat suara.
Dengan enggan teman-teman Putri segera berlalu pergi.
"Mereka sudah pergi", perempuan yang dipeluk Putri bicara pelan.
Putri bukannya melepaskan pelukannya, malah semakin mengeratkan pelukannya. Tangisnya pecah kali ini, tangis yang sedari tadi dia coba tahan. Perempuan yang di peluk Putri, mengusap punggung Putri dengan perlahan, berharap Putri bisa merasa segera tenang.
"Udah... Lepasin aja. Hanya ada aku disini", perempuan itu bicara lirih.
***
Pasya perlahan mengetuk pintu ruang pertemuan. Setelah mendengar izin untuk mempersilakan Pasya masuk, Pasya membuka daun pintu dengan perlahan. Pasya menyapu seluruh ruangan, kemudian melangkah perlahan menghampiri Satia yang duduk tenang di bangku tepat di sudut ruangan.
Pasya berbisik pelan di daun telinga Satia, hanya beberapa kata saja sudah berhasil langsung merubah ekspresi muka Satia yang datar.
Pasya kembali berdiri tegak di samping Satia, menunggu perintah selanjutnya dari atasannya.
"Pertemuan hari ini kita cukupkan sampai disini", Satia segera menyudahi rapat yang sedang berlangsung.
Semua muka yang berada di ruangan berubah bingung. Menunggu lanjutan perintah yang akan diberikan oleh Satia. Akan tetapi Satia malah beranjak dari kursinya, berlalu pergi hingga menghilang dibalik daun pintu, diikuti oleh Pasya yang mengekor tepat dibelakang Satia.
Pasya segera menyiapkan mobil untuk menjemput Satia, Satia masuk kedalam mobil duduk di samping Pasya yang duduk di belakang kemudi.
"Bagaimana kejadiannya...?", Satia bertanya pelan.
Suara Satia cukup pelan dibandingkan dengan suara perintah atasan kepada bawahannya, akan tetapi suara itu bagai hukuman mati untuk Pasya.
"Kita tidak tahu pasti, bu Ilen pamit mau ke warung depan rumah. Tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat ranting pohon patah", Pasya bicara dengan nada suara paling rendah.
"Bagaimana keadaan Ilen sekarang...?", Satia kembali bertanya, satu hal yang sangat ingin dia ketahui.
"Alhamdulillah bu Ilen tidak apa-apa. Hanya saja, lelaki yang menolong bu Ilen yang sekarang sedang mendapat perawatan di rumah sakit", Pasya bicara samar.
Satia diam sepanjang perjalanan, yang lebih penting untuknya adalah Erfly tidak apa-apa. Selebihnya, Satia tidak perduli lagi.
Pasya merasa sedikit lega, karena Satia tidak melanjutkan bertanya siapa yang menolong istrinya. Pasya seperti memakan buah simalakama, tinggal menunggu jadwal hukuman gantungnya saja kalau hal itu terjadi.
***
Cakya hanya mendapat jahitan pada luka robekan di tulang kering kakinya. Cakya mendapat 10 jahitan di kakinya, dan 3 jahitan di pelipisnya.
Setelah mendapat perawatan, Cakya diminta berbaring untuk menghabiskan infusnya. Sekaligus untuk menunggu hasil tes laboratorium.
Cakya memejamkan matanya dengan kedua lengannya menyilang di dada.
"Cakya begok", Erfly merutuki Cakya begitu dia sampai di samping tempat tidur Cakya.
Cakya membuka matanya perlahan, kemudian menatap sumber suara. Erfly duduk diatas kursi roda, dengan tangan yang mendapat perban.
"Erfly baik-baik saja...?", Cakya bertanya lembut.
"Kamu yang terluka karena menyelamatkan Erfly. Malah bertanya apa Erfly baik-baik saja. Dimana hati kamu, malah menyelamatkan Erfly, apa kata pacar kamu nantinya...?", Erfly bicara panjang lebar.
"Hatinya orang yang jauh lebih penting...? Bagaimana dengan hati Cakya....?", Cakya bertanya sengit.
"Erfly kira hati kamu seharusnya baik-baik saja, setelah terakhir kita bertemu", Erfly bicara diluar dugaan Cakya.
Cakya segera menarik jarum infus yang menembus kulitnya. Kemudian turun dari tempat tidur, Cakya meletakkan kedua telapak tangannya bertopang diatas lengan kursi roda Erfly. Tatapannya tepat menembus bola mata Erfly.
"Sepertinya kamu yang lebih tahu bagaimana hati aku, apa kamu juga tahu kalau kamu orang yang sudah membawa setengah dari duniaku, sehingga sampai saat ini aku lupa bagaimana caranya untuk bahagia. Kamu pergi dengan membawa sekantong bahagia, dan kamu lupa untuk menyisakan secuil saja kebahagiaan itu untuk aku", Cakya bicara kata perkata dengan penuh penekanan.
Erfly tertunduk, tidak berani menatap wajah Cakya lagi.
"Maaf...", akhirnya dengan susah payah Erfly meluncurkan satu kata yang paling dibenci oleh Cakya.
Cakya duduk jongkok dihadapan Erfly, air matanya segera menyerbu keluar tanpa permisi, dengan tubuh bergetar Cakya berusaha keras menahan perasaannya. Dorongan keras ingin memeluk perempuan kurang ajar yang ada di hadapannya saat ini, akan tetapi Cakya harus tahu diri, perempuan ini sekarang istri orang lain.
"Seharusnya kamu g'ak pernah ucapkan kata maaf yang tidak tahu diri itu", Cakya bicara lirih, Cakya duduk jongkok dihadapan Erfly, kali ini tatapan Cakya tertunduk dalam, tidak mampu melihat wajah lawan bicaranya.
Di sudut lain ruangan, ada hati yang terbakar cemburu. Tatapan penuh dendam dan aura pembunuh terpancar jelas dari bola matanya. Menciutkan nyali, membuat ngeri siapa saja yang menatapnya.