Pak Wiratama kembali kerumahnya, istri pak Wiratama langsung menarik pundak suaminya menagih jawaban.
"Ayah hutang penjelasan ke mama...!!!", suara istri pak Wiratama bergetar, jelas dia menahan amarahnya yang sudah keubun-ubun.
"Semua bukti sudah memberatkan Candra, kita tidak bisa apa-apa lagi", pak Wiratama berusaha memberikan alasan yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan istrinya.
"Kenapa yang mama tangkap dari omongan pak Jendral berbeda, dengan penjelasan ayah...?", istri pak Wiratama kembali mengejar penjelasan.
Pak Wiratama duduk di bangku terdekat yang bisa diraihnya.
"Ayah bisa apa lagi...? Ayah g'ak bisa mengakui kalau orang yang menyerang Cakya dan Devi orang suruhan ayah"
"Kenapa...?"
"Ayah bisa dipenjara....!!!"
Istri pak Wiratama mundur beberapa langkah menjauhi suaminya, dia tidak percaya yang ada dihadapannya saat ini adalah lelaki yang dikenalnya selama ini. Lelaki yang begitu menyayangi keluarganya.
"Mama mengerti sekarang...", istri pak Wiratama bicara pelan, air matanya mulai menyerbu keluar.
"Ma...", pak Wiratama berusaha mendekati istrinya. Diluar dugaan, istrinya malah menjauh setiap kali pak Wiratama melangkah maju, seolah seperti alarm istrinya juga mundur.
"Jadi... Ayah mengorbankan Candra demi menyelamatkan diri ayah sendiri...!!!", istri pak Wiratama naik pitam. Suaranya meninggi seolah ingin memecahkan semua tembok rumah, agar orang bisa tahu siapa iblis yang ada dihadapannya saat ini.
"Ma... Ayah tidak punya pilihan lain. Segala cara sudah ayah lakukan untuk menyelamatkan Candra, tapi..."
"Ayah bukannya menyelamatkan Candra, tapi... Malah menambah masa hukuman Candra di penjara...!!!"
"Terus ayah harus apa...?", pak Wiratama bicara frustrasi. "Semua bukti sudah menunjuk kalau Candra bersalah, dan semua saksi menuju kepada Candra. Kalau ayah mengaku itu orang suruhan ayah. Bukan hanya ayah akan dipenjara, ayah juga akan dicabut dari jabatan ayah saat ini sebagai Walikota, belum lagi perusahaan kita. Para pemegang saham mayoritas sudah menarik investasi mereka. Ayah..."
"Pak Jendral ternyata benar..."
"Ma..."
"Dimata ayah, kita bukanlah siapa-siapa. Bahkan kita tidak sebanding dengan harta yang ayah puja"
"Bukan begitu ma, dengar dulu..."
"Mama minta pisah", istri pak Wiratama langsung masuk kamar dan membereskan beberapa pakainnya.
Pak Wiratama menyusul istrinya, dan berusaha untuk menahan istrinya.
"Maaf... Semua bisa kita bicarakan baik-baik, jangan seperti anak kecil gini...!!!", pak Wiratama memohon belas kasihan istrinya.
"G'ak ada lagi yang mau mama bicarakan sama ayah", istri pak Wiratama masih sibuk merapikan barangnya.
"Jangan gini lah...?!", pak Wiratama mulai frustrasi.
"Mama g'ak bisa terus sama ayah, hanya menunggu waktu saja mama akan di usir dari sini, saat ayah sudah tidak perlu lagi...!!!", istri pak Wiratama kemudian meninggalkan pak Wiratama tanpa menoleh lagi kebelakang.
***
Pak Lukman mengajak keluarga Candra makan, sebagai ucapan terima kasihnya yang dalam.
"Saya mewakilkan Putri dan Devi mengucapkan terima kasih kepada keluarga Cakya, maaf kalau dengan kejadian ini saya sudah banyak merepotkan keluarga bapak", pak Lukman bicara dengan sepenuh hati.
"Jangan sungkan pak Jendral", ayah Cakya bicara disela senyumnya.
Cakya hanya mengangguk pelan sebagai isyarat dia tidak keberatan.
"Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana nasib Putri kalau hari itu tidak ada Cakya", pak Lukman kembali mengingat kejadian saat Putri menjadi korban pelecehan dari Candra dan teman-temannya.
"Siapapun yang ada di posisi saya pasti akan melakukan hal yang sama pak Jendral", Cakya bicara pelan. Kalau saja pak Lukman tidak serius mendengarkan, dia tidak tahu Cakya bicara apa.
"Saya berhutang banyak kepada keluarga anda", pak Lukman memegang tangan ayah Cakya.
"Jangan terlalu melebih-lebihkan pak Jendral, ini bukan apa-apa", ayah Cakya bicara sungkan.
"Bapak beruntung punya anak seperti Cakya, di zaman sekarang susah mencari orang yang masih perduli dengan kesusahan orang lain. Lebih banyak orang menutup mata dengan kejadian seperti yang dialami Putri, karena tidak mau terlibat masalah", pak Lukman memuji Cakya dari lubuk hatinya yang paling dalam.
"Putri orang baik, dan punya ayah yang luar biasa. Allah akan selalu bersama orang yang baik", ayah Cakya membesarkan hati pak Lukman.
***
Pak Wiratama masuk keruang kerjanya. Terdengar suara ketukan pintu. Setelah mengizinkan masuk Sinta muncul dari balik pintu.
"Ada apa...? Bukannya kamu minta cuti hari ini...?", pak Wiratama bertanya bingung saat melihat Sinta muncul dihadapannya.
"Maaf pak, saya dapat telfon dari kantor. Bapak diminta menghadap besok ke provinsi. Makanya saya buru-buru kesini memberi tahu, takut tidak keburu", Sinta menjelaskan alasan dia muncul disaat cutinya.
"Ada apa...?", pak Wiratama bertanya bingung. Kenapa tiba-tiba dia diminta menghadap ke provinsi.
"Mereka tidak menjelaskan pak, yang jelas bapak diminta menghadap besok jam 10 ke kantor gubernur", Sinta menjelaskan perlahan.
"Yah, kamu boleh pergi", pak Wiratama bicara pelan.
"Apa saya perlu ikut ke provinsi pak...?", Sinta bertanya perlahan.
"Tidak perlu, saya akan berangkat bersama Dirga. Ini hari cuti kamu. Kamu boleh pulang", pak Wiratama memberi isyarat dengan tangan agar Sinta meninggalkan ruangan kerjanya.
"Baik, terima kasih pak. Saya permisi kalau begitu", Sinta mohon diri.
"Hem... ", pak Wiratama bergumam pelan.
***
Sinta memilih untuk pulang kerumah, setelah membeli beberapa makanan untuk dia makan bersama Tasya.
"Assalamualaikum...", Sinta bicara setengah berteriak setelah membuka pintu.
"Wa'alaikumsalam, mbak sudah pulang...?", Tasya membantu Sinta untuk memindahkan makanan kedalam piring dan mangkuk.
"Kamu belum makankan...? Mbak ganti baju dulu, habis itu kita makan", Sinta berlalu masuk kedalam kamarnya.
Hanya dalam beberapa menit, Sinta sudah muncul diruang makan dengan baju santainya selama dirumah. Tidak membutuhkan basa-basi lagi, Sinta dan Tasya langsung makan.
"Katanya mbak mau kerja, kok balik lagi...?"
"Mbak hanya menyampaikan pesan dari provinsi kepada pak Wiratama"
"Kata mbak hari ini putusan sidang kasus Candra, putranya pak Wiratama...?"
"Iya. Mbak dengar, dia dihukum penjara seumur hidup"
"Kasian Candra... "
"Ayahnya saja tidak kasian mengorbankan Candra, putranya sendiri"
"Maksud mbak...?"
"Pak Wiratama sengaja mengorbankan Candra demi Kebebasannya"
"Bukannya pak Wiratama adalah sosok ayah yang sangat menyayangi keluarganya...? Setidaknya itu yang Tasya tahu dari keseharian pak Wiratama selama ini"
"Itu hanya topeng yang dia pakai. Dia justru mengorbankan Candra agar dia tidak dipenjara"
"Orang gila"
"Mengorbankan Candra ternyata itu belum cukup"
"Maksud mbak...?"
"Dari teman mbak yang menjadi staf di provinsi mbak dapat info, kalau pak Wiratama akan dicabut jabatannya. Dia diminta ke provinsi untuk menandatangani surat pengalihan kekuasaan kepada Walikota sementara"
"Hah...?!"
"Beruntung mbak g'ak disuruh ikut ke provinsi. Kalau iya, bisa habis mbak dilempari benda keras. Minimal mbak babak belum kena tampar"
"Pak Wiratama berangkat sendiri...?"
"Katanya bersama Dirga. Kita lihat akan jadi apa Dirga setelah pak Wiratama mendapat surat pemberhentian secara tidak hormat dari provinsi", Sinta tersenyum membayangkan muka Pak Wiratama yang akan kesal setengah mati menerima surat pemecatannya esok pagi.