Erfly tertunduk diam, tidak berani menatap wajah Cakya. Matanya mulai berkaca-kaca menahan agar air matanya tidak jatuh dihadapan Cakya.
"Terus...?", Cakya kembali mengorek informasi, saat Erfly tidak melanjutkan ucapannya.
"Kabar terakhir yang Ilen dengar saat dirumah sakit. Dia hilang ingatan", Erfly bicara pelan.
"Jadi... Karena itu, akhirnya Ilen memutuskan untuk meninggalkan dia...?", Cakya bertanya sengit.
Erfly menggeleng pelan. "Semuanya begitu cepat, ayah tiba-tiba mengurus kepindahan Ilen ke Garut. Dan... Terjadilah kecelakaan, Ilen kehilangan kaki. Berhari-hari Ilen tidak sadarkan diri di ICU, bahkan HP juga hilang entah jatuh dimana. Kita putus komunikasi sejak saat itu", Erfly menjelaskan panjang lebar.
"Ilen g'ak coba buat nyari dia...?", Cakya kembali menyelidiki.
"Buat apa...? Toh dia juga tidak ingat sama Ilen lagi. Ditambah keadaan Ilen yang kayak gini. Ilen hanya mendo'akan yang terbaik buat dia, dari seseorang teman lama Ilen dapat kabar, kalau dia mau tunangan", Erfly tersenyum pahit.
"Ilen masih punya perasaan buat dia...?", Cakya kembali mengorek informasi.
Erfly hanya tersenyum pahit menjawab ucapan Cakya.
"Ilen g'ak coba buat mengejar kebahagiaan itu lagi...?", Cakya kembali menuntut jawaban, menghadapi kebisuan Erfly.
"Buat apa...? Bagi Ilen semua sudah selesai dimasalalu. Dan... Dia juga sudah bahagia dengan pilihannya saat ini", Erfly bicara pelan.
"Kamu salah, aku sama sekali g'ak bahagia", Cakya bicara pelan, lebih tepat seperti orang yang sedang berbisik lirih pada dirinya sendiri.
"Hah... Cakya ngomong apa barusan...?", Erfly menatap lurus kearah Cakya, karena tidak bisa menangkap ucapan Cakya barusan.
Cakya mengalihkan tatapannya kearah lain, menghapus kasar jejak air matanya yang membasahi pipi tanpa permisi. "Ehem...", Cakya berdehem pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "Kita sudah sampai", Cakya bicara pelan.
"Oh...", Erfly bicara pelan, segera berusaha meraih kruknya.
'Masih Erfly yang sama', Cakya membatin melihat Erfly yang demikian keras kepala. Erfly yang tidak pernah mau dikasihani oleh orang lain, Erfly yang demikian gengsi mengakui perasaannya.
Cakya keluar dari mobil, mengambil kruk Erfly, kemudian menyerahkan ketangan Erfly.
"Terima kasih", Erfly menerima kruknya.
Cakya memutuskan untuk tidak membantu Erfly, melainkan berjalan satu langkah dibelakang Erfly, meyakinkan kalau Erfly baik-baik saja, dan tidak akan jatuh karena tersandung. Erfly memilih tempat duduk yang paling dekat dengan tempat parkir. Pelayan kafe langsung datang menghampiri, dan mencatat pesanan mereka.
"Ilen g'ak pengen ketemu cowok itu lagi...?", Cakya kembali bertanya setelah pesanan minum mereka datang.
"Buat apa...?", Erfly bertanya frustrasi.
Cakya meneguk minumannya sebelum melanjutkan ucapannya, "Hanya sekedar bertukar kabar. Atau... CLBK, Cinta Lama Belum Kelar...?", Cakya tertawa renyah.
Erfly memaksakan senyuman pahit, "Akan terlalu sakit buat Ilen melihat dia bersama orang lain", akhirnya Erfly bicara pelan.
"Apa karena Ilen masih punya perasaan buat dia...?", Cakya kembali bertanya.
"Makanannya sudah datang, mari makan, Ilen laper banget", Erfly mengalihkan perhatian Cakya. Mulut Erfly segera komat-kamit membaca do'a sebelum melanjutkan makan. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Cakya dan Erfly.
Setelah makan, Erfly memutuskan untuk segera kembali ke Vila. Erfly tidak mau menangis dihadapan Cakya. Pertahanannya diuji habis-habisan dengan pertanyaan-pertanyaan pamungkas dari Cakya.
Cakya memperlambat laju mobilnya, matanya menatap kaca spion yang ada di samping mobilnya berkali-kali.
"Ada apa...?", Erfly bertanya pelan, saat melihat gelagat Cakya yang tidak biasa.
"Sepertinya ada yang mengikuti kita sejak tadi", Cakya bicara pelan, meningkatkan kewaspadaannya.
"Kamu yakin...?", Erfly bertanya cemas, menoleh kearah belakang. Benar saja ada mobil hitam, dengan kaca tertutup rapat berwarna senada, sehingga Erfly tidak bisa melihat siapa yang ada didalam mobil.
"Sejak kita keluar vila dia sudah mengikuti kita, saat di kafe... Mereka sama sekali tidak turun. Sekarang malah sudah membayangi kita lagi", Cakya bicara pelan, matanya tidak henti-hentinya waspada, mengalihkan tatapan kearah jalan dan mengawasi mobil yang mengikuti dari kaca spion mobil.
"Ilen, Cakya bisa minta tolong...?", Cakya bertanya lembut.
Erfly menatap Cakya menunggu instruksi selanjutnya.
"Tolong telfon Gama, pakai HP Cakya", Cakya menyerahkan HPnya ketangan Erfly.
Erfly menerima HP Cakya dengan layar HP yang masih menghitam. "Masih terkunci", Erfly berniat mengembalikan kembali HP Cakya.
"1512", Cakya bicara pelan, tanpa menoleh kearah Erfly.
"1512...?", Erfly bertanya kembali memastikan.
Akan tetapi Cakya hanya diam membisu, Erfly mengetik nomor yang diucapkan Cakya. Benar saja, layar HP langsung aktif. Air matanya menyerbu keluar tanpa permisi, dengan pandangan yang mulai kabur, Erfly menekan nomor Gama. Kemudian menghidupkan mode speaker.
"Assalamu'alaikum... Kenapa...?", terdengar suara Gama dari ujung lain telfon.
"Wa'alaikumsalam... Bang...", Erfly menjawab dengan nada suara paling rendah karena menahan tangis.
"Dek... Kamu kenapa...?", Gama bertanya cemas.
"Abang lagi dimana...?", Erfly bertanya pelan.
"Ini... Baru mau turun dek, abang ada kuliah tambahan ntar malam", Gama menjawab dengan kebigungannya.
"Kita diikuti orang...", Erfly bicara cemas, menatap kearah mobil yang semakin mendekat.
Cakya segera menginjak rem, saat mobil yang sejak tadi mengikuti mereka tiba-tiba menghalangi jalan mereka.
"Astagfirullahalazim...!!!", Erfly berteriak karena merasa kaget, HP Cakya bahkan terlepas dari genggaman tangan Erfly.
4 orang lelaki dengan penuh tato menggedor kasar kaca jendela, masing-masing dari mereka membawa senjata tajam.
"Ilen tetap didalam, kunci pintunya", Cakya memberi peringatan, dan bersiap untuk turun dari mobil.
"Jangan... Cakya jangan turun", Erfly menggenggam erat lengan tangan kiri Cakya.
Cakya tersenyum lembut, kemudian menggenggam jemari tangan Erfly. "Cakya akan baik-baik saja", Cakya bicara lirih.
Air mata Erfly mengalir tanpa permisi, "G'ak...", Erfly bicara ketakutan, mukanya pucat pasi.
Cakya menghapus pelan jejak air mata Erfly lembut, "Cakya harus keluar, kalau g'ak mereka akan makin nekat, Ilen tetap berusaha hubungi Gama, minta bantuan", Cakya memberi perintah, kemudian langsung turun dari mobil.
Begitu Cakya turun dari mobil. 3 orang lelaki itu langsung mengepung Cakya, sedangkan yang satunya lagi tetap menggedor kaca jendela disamping Erfly. Dengan susah payah Erfly meraih HP Cakya yang jatuh dibawah kakinya.
"Bang...", Erfly bicara disela tangisnya.
"Dek...!!! Kamu kenapa...?", Gama bertanya panik.
"Kita diserang orang bang", Erfly bicara pelan.
"Kalian lagi dimana...?", Gama bertanya setengah berteriak.
"Dari kafe, menuju Vila", Erfly bicara pelan.
Erfly tetap fokus menatap Cakya yang berkelahi dengan 3 orang preman sekaligus. Sedangkan lelaki yang ada di belakang Erfly masih menggedor kasar jendela kaca, meminta Erfly membukakan pintu untuknya.
"Cakya....!!!", Erfly berteriak ngeri saat tiba-tiba seorang lelaki memukul pangkal leher Cakya dari belakang, Cakya jatuh pingsan, jatuh terkulai lemas seketika.
"Dek...!!! Ada apa...? Dek...?!", Gama berteriak panik dari ujung lain telfon.
Salah satu dari lelaki itu memecahkan kaca mobil, membuka kunci mobil. Lelaki yang sejak tadi di samping Erfly, sigap membuka pintu mobil, kemudian membekap mulut Erfly dengan sapu tangan yang telah diberi obat bius.
Erfly berusaha keras meronta, melepaskan diri. Bahkan HP Cakya kembali terlepas dari genggaman tangannya. Detik berikutnya, penglihatan Erfly mengabur, kemudian pingsan tidak sadarkan diri.