Dirga memutuskan untuk menyeruput minumannya sebelum angkat suara, menjawab pertanyaan bosnya.
"Kalau menurut saya ini sangat menjanjikan buk, hanya saja... Kita tidak bisa langsung bergerak.
Karena ada beberapa hal yang harus kita luruskan dengan pemilik lahan. Harus ada hitam diatas putih, apakah kita melakukan pembebasan tanah, atau... Pemotongan harga.
Ditambah lagi... Ini korban tanah longsor, akan ada banyak PR yang harus kita kerjakan terlebih dahulu sebelum membangun buk. Seperti biasa, kita selalu memastikan rumah yang kita bangun akan aman untuk penghuni kedepannya", Dirga memaparkan pendapatnya panjang lebar.
"Anda dengar...?", Erfly kembali melemparkan bola panas kearah Candra.
"Jadi... Maksud ibu...?", Candra tidak terlalu paham dengan arah ucapan Dirga.
"Maksudnya kalaupun saya setuju dengan proposal ini. Itu tidak akan terwujud dalam waktu singkat, seperti yang anda harapkan", Erfly menjawab dingin.
"Jadi... Bu Erfly keberatan...? Saya pikir bu Erfly akan tertarik, karena ini rumah bersubsidi untuk menengah kebawah", Candra bicara tidak berdaya.
"Maaf, anda salah paham", Dirga kali ini menyela ditengah percakapan Erfly dan Candra.
"Lalu apa...?", Candra bertanya bingung, menuntut jawaban.
"Kita tidak keberatan dengan pembangunan rumah bersubsidi ini, akan tetapi... Kita tidak bisa seekspres itu.
Butuh setidaknya satu bulan untuk pembebasan lahan, ataupun kesepakatan pembangunan diatas lahan, yang nantinya pembelian rumah bisa dipotong dengan harga tanah.
Butuh waktu satu bulan berikutnya untuk merapikan lahan, agar aman nantinya untuk ditinggali. Perusahaan kami selalu memprioritaskan keselamatan dan kenyamanan untuk setiap pembeli, agar tidak terjadi hal yang sama di kemudian hari.
Bulan berikutnya kita baru bisa membangun kalau semua sudah tuntas", Dirga dengan sabar menjelaskan kepada Candra.
"Lalu bagaimana dengan nasib ratusan karyawan saya...?", Candra bertanya frustrasi, Candra membayangkan apa yang akan dilalui oleh ratusan karyawannya yang terancam PHK masal.
"Teh... Bisa kesini sebentar", Erfly kembali memanggil Nadhira, kali ini meminta Nadhira untuk bergabung duduk satu meja.
Nadhira duduk di salah satu kursi yang kosong. Menunggu perintah dari Erfly berikutnya.
"Teteh bisa cari tahu rekan kita di lokasi ini...?", Erfly menyerahkan proposal yang sebelumnya ditangan Dirga.
Nadhira membaca alamat yang tertulis dengan teliti.
"200 meter dari lokasi ada pak Juanda yang sekarang di Malaysia, beliau punya pondok pesantren dan panti asuhan. Untuk saat ini di kelola oleh 3 anak beliau", Nadhira menjelaskan dengan penuh keyakinan.
Candra menatap Nadhira dan Erfly bergantian, tidak mengerti kemana arah pembicaraan mereka.
"Kalau anda mau, kita punya satu solusi. Saya bisa minta tolong pak Juanda untuk menampung sebagian pegawai anda. Sebagian lagi, efektifkan asrama perusahaan. Kalau anda mau kita juga bisa bangun satu asrama lagi, supaya bisa menampung lebih banyak, sembari menunggu pembangunan rumah bersubsidi mereka", Erfly bicara dengan penuh keyakinan.
"Artinya...? Bu Erfly setuju untuk kerjasama...?", Candra bertanya dengan tidak percaya.
Erfly mengulurkan tangan kanannya, untuk berjabat tangan dengan Candra.
"Semoga kerjasama ini bisa membantu lebih banyak nyawa", Erfly bicara penuh keyakinan.
Candra tersenyum puas, "Aamiin, terima kasih buk. Terima kasih banyak", Candra bicara penuh antusias.
"Untuk detailnya anda silakan membahas ini dengan tangan kanan saya pak Dirga, dan nanti pengacara saya akan menemui anda", Erfly bicara sesaat sebelum beranjak dari kursinya.
"Baik buk, sekali lagi terima kasih banyak", Candra bicara disela tawa bahagianya.
"Oh... Bagaimana keadaan Wulan...? Apa dia baik-baik saja...?", Erfly berbalik sebelum melangkah pergi.
"Sudah lama sejak terakhir kali saya melihat Wulan", Candra bicara getir, sangat terlihat raut wajah kehilangan dari wajah Candra.
"Kalian bercerai...?", Erfly spontan bertanya.
Candra tersenyum getir, "Kita bahkan belum sempat menikah", Candra menelan pahit air liurnya. Kenangan kelam dalam hidupnya bersama Wulan kembali bergelayut di benaknya.
"Ah... Maksudnya...?", Erfly mengerutkan keningnya.
"Ceritanya panjang buk", Candra bicara pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Erfly hanya mengangguk pelan, kemudian berlalu pergi bersama Nadhira.
Erfly memilih untuk kembali kerumah, mengurung diri di dalam ruang kerjanya.
***
Nadhira menyapu tatapannya keseluruh penjuru rumah, Erfly kecil masih sibuk membuat makanan dibantu pembantu rumah tangga.
"Bunda dimana sayang...?", Nadhira bertanya saat Erfly baru selesai meletakkan makanan terakhirnya.
"Begitu pulang, bunda langsung masuk ke ruang kerjanya tante", Erfly kecil menjawab pelan.
"Tante ke bunda dulu", Nadhira segera pamit, dan masuk menuju ruang kerja Erfly.
Erfly masih sibuk dengan laptop yang ada di hadapannya.
"Len...", Nadhira bicara lirih.
"Ada apa teh...?", Erfly bertanya pelan, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop.
"Kamu baik-baik saja...?", Nadhira bertanya lembut, begitu telah duduk di hadapan Erfly.
Erfly spontan menghentikan jemarinya dari kyboard laptop, sesaat kemudian langsung fokus kembali pada pekerjaannya.
"Hem...", Erfly hanya bergumam pelan.
"Kamu dan Satia...", Nadhira tidak bisa menyelesaikan ucapannya, karena HP Erfly berteriak nyaring.
"Maaf teh, ada telfon dari Mayang", Erfly segera meraih HPnya, menerima telfon masuk.
"Assalamu'alaikum kak Mayang, apa kabar...?", Erfly memulai candaannya.
"Wa'alaikumsalam, kamu apaan sih", Mayang menghardik Erfly, dibalas dengan tawa renyah dari Erfly.
"Ada apa ini...? Tiba-tiba dapat panggilan dari orang spesial, paling sibuk seantero bumi", Erfly kembali melemparkan candaannya.
"Apaan sih", Mayang kembali kesal. "Kamu udah dengar kejadian musibah longsor di perbatasan Padang dan Kerinci...?", Mayang langsung bertanya to the point.
"Iya udah, ada apa...?", Erfly mulai memasang muka serius kali ini.
"Mayang sekarang di lokasi, kamu ingat bu Molly...?", Mayang bertanya pelan.
"Bu Molly...? Wali kelas Xd...?", Erfly berusaha menggali ingatannya.
"Iya, bu Molly yang itu", Mayang bicara antusias.
"Iya, kenapa...?", Erfly bertanya bingung.
"Mayang ketemu bu Molly disini. Ternyata bu Molly menjadi salah satu korban longsor. Dan... Suaminya bu Molly malah sekarang harus operasi, kakinya patah", Mayang menjelaskan panjang lebar.
Tidak ada tanggapan dari Erfly.
"Erfly...? Kamu dengar Mayangkan...?", Mayang berusaha menarik Erfly dari lamunannya.
"Iya, maaf Erfly masih ada kerjaan", Erfly bicara pelan.
"Oh... Assalamu'alaikum", Mayang mengakhiri hubungan telfon.
"Wa'alaikumsalam", Erfly bicara lirih.
Terdengar suara ketukan pintu, "Masuk", Erfly bicara setengah berteriak.
Dirga muncul dari balik daun pintu.
"Duduk", Erfly mempersilakan Dirga untuk duduk disamping Nadhira.
"Terima kasih buk", Dirga tersenyum sopan sebelum duduk.
"Masih kaku saja, hanya ada Erfly dan teh Nadhira di sini", Erfly bicara pelan, berusaha mencairkan suasana.
Dirga tersenyum kaku, kemudian menyerahkan map yang dia bawa sedari tadi ke hadapan Erfly.
Erfly tidak mengeluarkan suara lagi, membuka lembar perlembar kertas yang ada di hadapannya.
"Bagaimana perkembangan proyeknya...?", Erfly bertanya tanpa melihat ke arah Dirga.
"Minggu depan sudah selesai, hanya tinggal memasukkan furnitur saja", Dirga bicara sopan.
"Lebih cepat dari perjanjian awal", Erfly bertanya bingung.
"Alhamdulillah", Dirga menjawab santun.
"Proposal kerjasama dengan Candra bagaimana perkembangannya...?", Erfly bertanya pelan.
"Dirga sudah menghubungi pengacara dan beberapa orang yang akan langsung survei ke lokasi", Dirga menjelaskan perlahan.
"Dirga... Saya bisa minta tolong", Erfly bertanya lirih.
"Ada apa...?", Dirga bertanya bingung.