webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Cakya harus apa...?

Sudah hampir 30 menit Cakya menunggu dengan gelisah, akhirnya istri lelaki setengah baya yang ada dihadapannya keluar dengan sebuah amplop putih ditangannya.

Perempuan setengah baya itu menyerahkan dengan sopan amplop putih tersebut ketangan Cakya. Tidak membutuhkan aba-aba lagi, Cakya dengan hati-hati merobek amplop putih yang kini berada ditangannya. Hanya sekali lihat saja, Cakya bisa tahu kalau itu benar tulisan Erfly.

'Assalamu'alaikum...

Erfly minta maaf, Erfly menghilang begitu saja dari Cakya. Tanpa memberikan kabar.

Selama ini, Erfly sudah berusaha untuk mencintai Cakya. Berusaha untuk menjalani dengan Cakya.

Awalnya Erfly pikir, Erfly beneran sayang sama Cakya, Erfly g'ak bisa jauh dari Cakya.

Sampai akhirnya Erfly sadar akan satu hal, ternyata Erfly g'ak sesayang itu sama Cakya. Erfly g'ak bisa lepas dari Cakya, semata-mata hanya karena Jantung dan Mata milik Asri.

Terima kasih atas semua waktu yang telah Cakya coba bagi bersama Erfly.

Erfly minta maaf harus pamit dengan cara seperti ini. Cakya, "Kamu harus bahagia".

Wassalam

Butterfly'

Seolah disiram seember balok es, tubuh Cakya kaku setelah membaca surat dari Erfly. Selama ini dia mati-matian berjuang untuk mencari Erfly. Berjuang mati-matian untuk hubungan ini. Akan tetapi dia ditinggalkan hanya dengan sepucuk surat.

"Nak... Kamu tidak apa-apa...?", lelaki setengah baya yang ada di hadapan Cakya bertanya bingung.

Wajah Cakya tiba-tiba berubah pucat pasi seperti mayat hidup setelah membaca surat pemberian istrinya.

Cakya hanya menggeleng pelan, "Pak, Cakya bisa minta tolong pesankan tiket untuk Cakya pulang", Cakya bicara dengan suara paling rendah.

"Iya nak, nanti bapak coba telfon anak bapak. Semoga saja masih ada bangku yang kosong", lelaki setengah baya itu bicara pelan.

"Terima kasih pak", Cakya bicara lirih.

Langkah Cakya terhuyung masuk kedalam rumah, seperti orang yang habis mabuk karena minum minuman keras saja.

***

Gama masih terdiam didepan layar HPnya yang masih melakukan Vidio call. Berkali-kali Mayang memanggil nama Gama, akan tetapi Gama tetap tidak merespon.

Gama kembali ditarik ke alam nyata, saat salah satu teman sekamarnya menepuk pundak Gama.

"Astagfirullah... Ada apa...?", Gama mengusap kasar mukanya.

"Kita mau turun sarapan, abang mau ikut tidak...?", lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya.

"Ah... Duluan saja, ini...", Gama menunjuk ke layar HPnya yang masih ada wajah Mayang.

"Oh... Maaf bang, saya kira tadi abang sudah selesai Vidio call nya. Soalnya dari tadi saya perhatikan abang hanya bengong saja", lelaki itu merasa tidak enak karena sudah mengganggu Gama yang sedang menelfon pacarnya.

Gama tidak menjawab, hanya mengacungkan jempol tangan kanannya.

"Saya turun dulu kalau begitu bang", lelaki itu bicara lagi, kemudian detik berikutnya sudah berlalu dari hadapan Gama.

Gama kembali fokus kepada layar HPnya.

"Ada apa...?", Mayang bertanya lembut.

"Hah... Apanya...?", Gama malah balik bertanya.

"Gama yang kenapa...? Mayang bicara panjang lebar, tapi... Gama malah ngelamun. Mayang panggil-panggil juga, malah bengong aja", Mayang mulai sewot, dari nada suaranya sangat jelas terbaca kalau dia sedang kesal.

"Ada yang ganggu pikiran saja, sedikit", Gama mulai bicara jujur.

Kemudian Gama memilih untuk pindah duduk di balkon kamar, agar bisa dengan nyaman menghisap rokoknya.

Mayang sengaja tidak mau menyela ucapan Gama, Mayang sudah khatam sikap Gama. Kalau mau cerita, Gama dengan senang hati akan langsung jujur. Akan tetapi kalau dia memilih diam, berarti Gama sudah punya solusi untuk masalah yang sedang dia hadapi.

Gama menghisap dalam rokoknya, kemudian meniup kasar asapnya keudara.

"Gama ketemu Erfly...", Gama bicara dengan nada suara paling pelan.

"Dimana...?", Mayang merubah posisinya agar lebih nyaman, tubuhnya spontan duduk dengan posisi siaga begitu mendengar nama Erfly disebut.

Gama tidak heran dengan respon yang diberikan oleh Mayang, Gama tahu betul seberapa besar Mayang menyanjung Erfly. Bagi Mayang dan keluarganya, Erfly bukan hanya sebatas teman atau keluarga, akan tetapi Erfly sudah seperti malaikat untuk mereka.

Erfly yang berhasil menarik mereka dari terjebak kedalam jurang yang dalam, saat Mayang dipaksa putus sekolah dan menikah dengan rentenir bau tanah. Bahan Erfly juga yang sudah merubah kehidupan mereka yang berada dibawah garis kemiskinan, sehingga Mayang dan saudara-saudaranya bisa mengenyam pendidikan tinggi.

"Kemarin saat mendarat dibandara", Gama menjawab santai.

"Lalu...? Kok mukanya Gama kasut begitu...? Bukankah harusnya Gama senang, akhirnya bisa membantu Cakya yang hampir setengah gila mencari keberadaan Erfly", Mayang malah protes dengan reaksi yang diberikan oleh Gama.

"Erfly terlihat jauh", Gama bicara ragu.

"Maksudnya...?!", Mayang kali ini mengejar jawaban.

"Kita g'ak sempat cerita banyak, dari yang Gama tangkap. Erfly seolah menghindar setiap kali diajak bicara soal Cakya", Gama menjelaskan maksud ucapan sebelumnya, Gama kemudian kembali menghisap dalam rokoknya.

"Terus... Kita bisa apa...?", Mayang bertanya dengan nada frustrasi.

"Gama diantar oleh sekretaris pribadinya Erfly ke hotel, setelah Erfly pergi, sesuai perintah Erfly.

Anehnya... Setelah Gama turun dari mobil. Sekretarisnya Erfly ngomong aneh menurut Gama", Gama kembali memutar ingatannya pada kejadian malam itu.

"Aneh gimana...?", Mayang semakin dibuat penasaran dengan cerita Gama.

"Dia menyampaikan pesan dari Erfly 'Titip Cakya, jagain Cakya'...", Gama bicara lirih.

"Maksudnya...?", Mayang kembali bertanya bingung, keningnya berkerut karena tidak mengerti dengan ucapan Gama barusan.

Gama menaikkan kedua bahunya, menandakan dia sendiri tidak mengerti dengan ucapan Nadhira malam itu.

"Dia langsung pergi setelah mengucapkan itu", Gama bicara apa adanya.

Sesuai rencana, Gama pulang setelah acara penutupan dilaksanakan. Gama dan rekan-rekannya mengambil tiket pesawat yang langsung ke Sungai Penuh. Sehingga mereka harus menunggu agak lama transit di Jambi.

HP Gama berbunyi begitu dia mendarat di Bandara Hiang.

"Assalamu'alaikum...", Gama menjawab pelan, begitu tahu telfon yang masuk dari Adam.

"Wa'alaikumsalam... Abang dimana...?", terdengar suara Adam yang ketakutan.

"Ini sudah di Bandara Hiang, ada apa...?", Gama langsung mengejar jawaban.

"Bang Cakya... Di kosan...", hanya dua kalimat, Gama sudah tahu ucapan selanjutnya yang akan disampaikan oleh Adam.

"Abang langsung kesana", Gama memberikan janji, kemudian menutup hubungan telfon.

Beruntung salah satu rekan kerja Gama dijemput oleh keluarganya menggunakan mobil, mereka dengan senang hati mengantarkan Gama pulang.

Begitu turun dari mobil setelah berbasa-basi sebentar, Gama berlari dengan menarik asal tas yang dia bawa. Adam langsung mengambil tas yang dibawa Gama, sedangkan Gama menuju kamar yang berada dipojokan rumah.

Begitu pintu dibuka, Gama langsung dihadapkan dengan pemandangan Cakya yang duduk dilantai dengan kantung matanya. Sangat terlihat kalau dia kurang tidur.

Gama duduk disamping Cakya, "Kamu kenapa...?", Gama bertanya pelan.

Cakya tidak menjawab, hanya memberikan kertas yang sudah keriting diatas tempat tidur ketangan Gama.

Gama membaca isi kertas yang disodorkan oleh Cakya, detik berikutnya Gama menatap sayu kepada Cakya. Hatinya terasa terhiris melihat keadaan Cakya saat ini.

"Cakya harus apa...?", Cakya bicara dengan nada suara paling rendah, sangat terdengar nada suara putus asa Cakya.

"Lupakan Erfly, kamu akan semakin sakit setiap kali harus mengingat dia", Gama menjawab dengan suara penuh harap.

"Mau seribu orangpun yang bilang ke Cakya saat ini, Cakya harus melupakan Erfly. Cakya g'ak bisa Om. G'ak semudah itu buat Cakya menghapus rasa ini.

Ini masalah hati Om, Cakya g'ak bisa ngusir Erfly gitu aja dari hati Cakya. Bilang Cakya harus ngapain, agar Cakya bisa ngeluarin dia dari pikiran Cakya. Bilang ke Cakya harus ngapain, biar Cakya bisa melupakan gadis sialan itu.

Bilang ke Cakya Om, Cakya harus ngapain...? Bantu Cakya Om, ini sakit banget...", Cakya menangis tidak berdaya, sembari memukul-mukul dadanya yang terasa sesak.

Gama tidak bisa berkata apa-apa lagi melihat keadaan Cakya yang semakin terpuruk, Gama menarik Cakya kedalam pelukannya.

"Lepasin aja, biar kamu lega", Gama bicara lirih disamping daun telinga kanan Cakya.

Cakya memeluk Gama dengan erat, kemudian menangis sejadi-jadinya. Berharap semua beban didadanya akan ikut mengalir deras bersama air matanya yang jatuh seperti air terjun.