webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
251 Chs

Cakya g'ak bisa menjanjikan apa-apa untuk saat ini

Erfly menyelesaikan kontrak kerjasamanya tanpa ada halangan yang berarti. Erfly puas dengan kesepakatan yang baru saja dia buat, setelah rekan kerja Erfly mohon diri. Erfly langsung memanggil Salwa untuk duduk dihadapannya.

Salwa duduk dengan sopan dihadapan Erfly. Kepalanya tertunduk menatap lantai, tempat kakinya menapak.

"Mbak libur sampai kapan...?", Erfly memulai ucapannya.

"Seminggu...", Salwa menjawab dengan ragu, dia tidak yakin kemana arah pertanyaan Erfly. Terkadang Erfly selalu bisa memberikan kejutan-kejutan diluar pikiran Salwa, kejutan apa lagi kali ini yang akan muncul ke permukaan.

Erfly meraih HPnya, menekan salah satu nomor yang ada. Kemudian setelah bicara beberapa kata dia diam sejenak menunggu jawaban. Menit berikutnya, Erfly kembali meletakkan HPnya keatas meja.

"Nanti jam 3 mbak ke bandara", Erfly bicara pelan.

"Ada apa Len...?", Erfly bertanya bingung.

"Nanti mbak akan tahu kalau sudah di bandara", Erfly menjawab penuh misteri.

"Iya", Salwa mengangguk patuh.

HP Erfly kembali berteriak minta diangkat, Erfly segera menempelkan HPnya kedaun telinga.

"Assalamu'alaikum neng...", terdengar suara lelaki dari ujung lain telfon.

"Wa'alaikumsalam, ada apa pak...?", Erfly bertanya lembut.

"Alhamdulillah anak saya sudah lahir, dia laki-laki", lelaki di ujung lain telfon bicara dengan suara yang demikian girang.

Erfly tersenyum lembut sebelum bicara lagi, "Alhamdulillah, bapak saya kasih cuti selama 3 hari mulai besok", Erfly bicara diluar dugaan lelaki di ujung lain telfon.

"Neng... Bapak...", lelaki di ujung lain telfon tidak melanjutkan ucapannya karena Erfly sudah kembali menyela.

"Salam sama istrinya, Assalamu'alaikum", Erfly bicara tegas.

"Terima kasih neng. Wa'alaikumsalam...", lelaki diujung lain telfon menjawab lirih, sudah bisa ditebak kalau dia menangis menerima perlakuan istimewa dari Erfly.

Erfly kembali memasukkan HPnya kedalam kantong roknya. Kemudian meraih kruknya, melangkah menuju pintu yang ada di hadapannya, pintu yang langsung menyambungkan kafe miliknya dengan klinik Alfa.

"Koko masih ada kerjaan...?", Erfly bertanya lembut.

"G'ak, kenapa dek...?", Alfa malah balik bertanya, Alfa menghentikan pekerjaannya melihat laporan data pasiennya.

"Erfly mau pulang", Erfly bicara pelan.

Alfa sudah mengerti maksud tujuan Erfly, Alfa segera meraih kunci mobilnya. "Suster, kalau ada apa-apa telfon saya", Alfa memberi perintah sebelum meninggalkan kliniknya.

Alfa membantu Erfly masuk kedalam mobil, Salwa segera mengambil alih kruk dari tangan Alfa, kemudian duduk manis di bangku penumpang belakang supir.

Mobil Alfa meluncur dengan kecepatan sangat pelan. Tidak banyak suara yang keluar selama dalam perjalanan, hingga akhirnya Alfa berhenti tepat di teras rumah Erfly.

"Dek...", Alfa menoleh ke arah Erfly karena tidak ada tanggapan, Alfa hanya geleng-geleng kepala melihat Erfly yang sudah terlelap tidur.

Alfa turun dengan hati-hati, kemudian mengangkat tubuh Erfly yang mungil dilengannya. Salwa segera membuka pintu rumah, setelah menutup pintu mobil. Alfa membaringkan Erfly dengan lembut diatas tempat tidurnya.

Alfa menatap lembut wajah Erfly, kemudian mengusap pelan kepala Erfly yang tertutup Jelbab dengan rapi. "Kapan kamu akan sadar dek, kalau Koko sayang sama kamu lebih dari seorang sahabat atau hanya seorang kakak", Alfa bicara lirih.

Salwa menggetuk pelan pintu kamar Erfly.

Alfa segera menoleh, karena tidak mau tidur Erfly terganggu. Alfa melangkah menghampiri Salwa, kemudian menutup pintu kamar Erfly dengan hati-hati.

"Ada apa...?", Alfa bertanya pelan.

"Saya... Permisi mau ke bandara, diminta oleh Erfly...", Salwa bicara dengan kepala tertunduk.

"Ya sudah", Alfa bicara pelan, dengan tangannya memberikan isyarat agar Salwa segera pergi.

***

Tepat jam 19.00 Wib, semua orang sudah berkumpul mengelilingi meja makan. Tidak banyak suara yang keluar dalam proses makan malam.

Setelah makan, Cakya sengaja mengajak Candra duduk di teras. Cakya menyelipkan sebatang rokok di bibirnya, Candra dengan sopan membakar ujung rokok Cakya.

Cakya menghisap dalam rokok yang ada di bibirnya, kemudian menghembuskan asapnya ke udara. Tatapan Cakya lurus kedepan, sedikitpun Cakya tidak perduli ada Candra disampingnya saat ini.

"Cakya g'ak bisa menjanjikan apa-apa untuk saat ini", Cakya bicara jujur.

Cakya bukan tipe orang yang suka banyak berbasa-basi. Bahkan dimasalalu, Cakya bukanlah tipe orang yang suka banyak bicara. Sikapnya selalu dingin terhadap siapa saja, tidak jarang Cakya hanya seperti mayat hidup yang tidak mengeluarkan suara.

Candra mengalihkan tatapannya dari lantai, menatap lekat wajah Cakya. Terlihat raut muka tegas dan demikian dingin dari wajah Cakya. Kalau mau jujur, sosok yang ada dihadapannya saat ini, lebih menakutkan dari sosok almarhum ayahnya yang telah meninggal.

"Cakya bukan orang yang suka basa-basi. Dan pintar berbicara manis", Cakya kembali melanjutkan ucapannya. Kemudian menghisap dalam rokoknya.

"Wulan adik perempuan Cakya satu-satunya, Cakya dan keluarga hanya ingin yang terbaik untuk Wulan", Cakya bicara dingin. Wajahnya demikian datar tanpa ekspresi sedikitpun.

"Kemarin, sekretaris kamu datang menemui Cakya", Cakya memberikan informasi yang membuat Candra jadi semakin takut.

"Mbak... Sinta...?", Candra bertanya bingung, karena Sinta tidak bicara apa-apa sebelumnya.

Nada suara dingin Cakya langsung menembus ketulang-belulang Candra, membuat Candra tidak bisa berfikir dengan benar.

Cakya mengangguk pelan.

"Cakya... Candra...", Candra tidak melanjutkan ucapannya karena Cakya sudah kembali menyela.

Cakya mengalihkan tatapannya menatap lurus kebola mata Candra, "Cakya titip Wulan. Jangan sampai kamu menyalahgunakan kepercayaan Cakya. Cakya bukan tipe orang pemaaf, jangan pernah kecewakan Cakya", Cakya bicara diluar dugaan Candra.

Candra masih diam membisu, tidak mampu merespon ucapan Cakya. Hingga akhirnya Cakya beranjak dari kursinya, dan mengulurkan jemari tangan kanannya kehadapan Candra.

Candra dengan sopan menyambut jemari tangan Cakya dengan menggenggam dengan kedua jemari tangannya.

"Selamat datang dikeluarga Utama", Cakya memberikan penekanan disetiap ucapannya.

"Terima kasih Cakya...", Candra bicara dalam satu nafas, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

Cakya berlalu pergi meninggalkan Candra diteras sendirian, Cakya melangkah masuk kedalam kamarnya.

"Nak... Kamu temani Candra diteras", ibu Cakya bicara lembut, meminta putrinya menyusul Candra diteras rumah.

Setelah Wulan berlalu menuju teras, ibu Cakya mengetuk pelan pintu kamar Cakya. "Boleh mama masuk bang...?!", ibu Cakya bertanya pelan.

Cakya merubah posisinya, dari berbaring jadi duduk dengan kaki menjuntai kelantai. Ibu Cakya duduk disamping putra sulungnya, kemudian menggosok pelan paha Cakya dengan jemari tangan kanannya.

"Terima kasih bang...", ibu Cakya bicara tercekat karena menahan tangis bahagia.

***

HP Erfly berbunyi, dengan gerakan malas Erfly meraih HPnya. Kemudian menempelkannya di daun telinganya.

"Assalamu'alaikum Len...", terdengar suara perempuan yang menahan tangis bahagia di ujung lain telfon.

"Wa'alaikumsalam, kenapa mbak...?", Erfly menjawab suara khas orang baru bangun tidur.

"Terima kasih untuk paket liburannya, ibuk bapak dan adik-adik senang sekali. Apa ini tidak berlebihan Len, kamu sampai membayar paket liburan di Bali untuk Salwa sekeluarga...?", Salwa bicara panjang lebar.

"Mbak nikmati saja liburannya, jangan mikirin apa-apa. Itu Vila pribadi milik Erfly, kalau butuh apa-apa ngomong saja sama Bli yang menjemput mbak di Bandara. Erfly juga sudah transfer sedikit uang ke rekeningnya mbak", Erfly memberikan penjelasan, persis seperti operator telfon.

Salwa tidak merespon, tangisnya pecah karena menerima kebaikan Erfly. "Len...", Salwa bicara tercekat, suaranya hilang ditelan oleh tangisnya.

"Males ah, pake acara nangis segala. Selamat liburan mbak. Salam sama keluarganya, Erfly tutup, assalamu'alaikum...", Erfly segera mengakhiri hubungan telfon.

"Wa'alaikumsalam...", Salwa menjawab lirih dari ujung lain telfon.

Erfly tersenyum sembari meletakkan HPnya kembali keatas meja yang ada disamping tempat tidurnya.

Erfly beranjak dari tempat tidur berniat ke toilet untuk wudhu, akan tetapi langkahnya terhenti karena mendengar ada suara orang dari arah dapur.

Jantung Erfly serasa berhenti, kemudian Erfly meraih kruknya. Dengan langkah perlahan dan tanpa suara Erfly melangkah keluar dari dalam kamar menuju sumber suara. Tidak mungkin Alfa pikirnya, karena Alfa tadi pamit pulang ada operasi ba'da magrib.