Alfa terbangun dari tidurnya. Perutnya langsung bereaksi begitu hidungnya mencium aroma yang lezat.
Alfa melangkah perlahan keluar kamar, menuju meja makan. Diatas meja makan sudah tertata dengan rapi beberapa makanan yang masih mengepulkan asap.
Nazwa muncul dari arah dapur membawa mangkuk berisi sayur. "Dokter sudah bangun...?", Nazwa bertanya disela senyumnya. Kemudian meletakkan mangkuk sayur keatas meja makan.
"Ini semua... Suster Nazwa yang masak sendiri...?", Alfa bertanya heran. Jarang-jarang ada perempuan di zaman sekarang yang masih suka masak. Mereka lebih suka beli dengan berbagai alasan. Ribet, sibuk, g'ak ada waktu, dan bla bla bla.
"Boleh... Dicoba bukan...?", Alfa bertanya pelan, kemudian duduk disalah satu kursi didepan meja makan.
"Boleh dok", Nazwa bicara antusias. Nazwa segera memasukkan nasi kedalam piring, kemudian menyerahkan ketangan Alfa.
"Suster Nazwa sekalian makan", Alfa menawarkan.
"Iya dok", Nazwa duduk dihadapan Alfa.
***
Erfly tiba di sekolah tepat setelah Mayang turun dari motor Gama.
"Em... Dek...", Gama kaget karena melihat Gama.
"Em... May.... Mayang duluan kalau gitu", Mayang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Em... Duluan", Mayang nyengir g'ak jelas. Kemudian secepat kilat berlari meninggalkan Erfly dan Gama.
Gama segera melangkah pergi, setelah memarkirkan motornya. Erfly segera menyusul Gama yang masuk kedalam kelas.
Erfly meletakkan tasnya ke mejanya, kemudian duduk tepat dihadapan Gama. Erfly menatap Gama dengan memasang wajah serius. Akan tetapi tidak ada separah katapun yang keluar dari mulutnya.
"Apa sih dek...? Ngeliatnya gitu amat", Gama bertanya risih karena ditatap oleh Erfly.
"Bentar, ada yang aneh ini", Erfly mencubit pelan bibirnya.
"Apaan sih...?", Gama berusaha menghindar.
Erfly langsung mencubit perut Gama, "Cerita g'ak...?", Erfly mulai mengancam.
"Aauuu... Sakit dek", Gama mengaduh kesakitan.
Erfly bukannya melepaskan cubitannya malah semakin mengencangkan cubitannya.
"Iya... Iya... Gama cerita. Lepas dulu", Gama memohon.
Erfly segera melepaskan cubitannya.
Gama bersandar di punggung kursi, agar menghindar dari cubitan Erfly lagi.
"Gama... Udah jadian sama Mayang", Gama bicara pelan.
"Hah...?!", Erfly berteriak karena kaget.
Gama spontan membekap mulut Erfly dari belakang, Erfly menarik kasar tangan Gama. "Sesak tahu", Erfly bicara kesal.
"Lagian kamu, berisik tahu. Didengar orang ntar", Gama merengut karena kesal, kemudian duduk dihadapan Erfly.
"Jadi kapan jadiannya...?", Erfly bertanya pelan.
"Di... Rumah sakit", Gama bicara terbata-bata.
"Hem... Jadi cinta bersemi di rumah sakit. Hahahaha", Erfly tertawa terbahak-bahak.
"Mulai, ngeledek", Gama bicara kesal, pura-pura ngambek.
"Ya maaf. Hahahaha...", Erfly kembali tertawa.
***
Alfa melangkah perlahan menghampiri meja Rima. Alfa tetap diam melihat Rima yang masih sibuk dengan kertas laporan yang menumpuk dihadapannya. Rima memijit keningnya perlahan karena tiba-tiba terasa berat.
Alfa menempelkan minuman dingin ke pipi Rima. "Aaauu...", Rima spontan meraih kaleng minuman yang ada dipipinya. "Dokter...", Rima tersenyum salah tingkah.
"Sibuk bener kayaknya...", Alfa mulai dengan basa-basinya.
"G'ak juga dok, hanya lagi... Nyelesain laporan perkembangan pasien", Rima bicara pelan, kemudian merapikan kertas yang ada dihadapannya.
"Masih banyak...?", Alfa bertanya santai, sembari meneguk minumannya.
"Udah kelar kok dok, barusan aja", Rima bicara disela senyumnya.
"Em... Bisa temani saya makan siang...?", Alfa bertanya pelan.
"Boleh... Dok...", Rima bicara dengan tergagap.
Alfa memilih untuk makan kearah kafe yang ada di puncak. Dengan suasana yang sepi, sehingga Alfa bisa merasa lebih leluasa berbicara dengan Rima. Agar tidak terjadi salah faham, atau bahkan malah lebih parah lagi Rima mengindarinya.
Saat pesanan mereka disajikan, Alfa memutuskan untuk langsung makan. Setelah makanan mereka tidak lagi tersisa diatas meja, Alfa baru mengajak Rima bicara serius.
"Sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan dengan suster Rima...", Alfa menggaruk pelan dagunya dengan jari telunjuknya.
"Iya dok...", Rima menatap wajah Alfa lekat.
"Ehem...", Alfa berdehem pelan, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada Rima. Alfa menarik nafas panjang agar bisa jauh lebih tenang. "Sebelumnya saya mau mengucapkan terima kasih suster Rima sudah menyukai saya. Kalau mau jujur, saya merasa tersanjung bisa disukai oleh suster Rima. Sebelumnya... Saya minta maaf, kesannya saya mengabaikan perasaan suster Rima. Karena saya tiba-tiba harus ke Bali kemarin", Alfa kembali menghentikan ucapannya, untuk membaca ekspresi wajah Rima.
"I... Iya... Dok...", Rima menjawab terbata-bata. Dia tidak sabar menunggu kelanjutan ucapan Alfa.
"Suster Rima itu perempuan. Untuk kedepannya, sebagai sahabat saya sangat berharap suster Rima bisa menjaga harga diri suster Rima sebagai perempuan. Sesuka apapun seorang perempuan dengan seorang pria, seharusnya dia tetap menjaga sikapnya, karena menurut saya, kodratnya perempuan itu dikejar, bukan mengejar", Alfa menarik nafas panjang untuk mengatur kembali nafasnya, sebelum melanjutkan ucapannya.
"Saya sangat menghargai perasaan suster Rima kepada saya, terima kasih atas itu. Akan tetapi... Maaf... Suster tahu sendiri saya non muslim. Dan... Saya rasa saya bukan orang yang tepat untuk mendampingi suster Rima", Alfa akhirnya menyelesaikan ucapannya.
Langit Rima serasa runtuh, tulang belulangnya terasa tidak mampu untuk menyangga tubuhnya lagi. Akan tetapi, Rima tetap berusaha keras untuk menahan tangisnya.
Alfa menggenggam jemari tangan kanan Rima. "Saya tidak berani berharap banyak setelah ini, hanya saja... Kalau boleh jujur. Suster Rima rekan kerja, sekaligus sahabat terbaik saya setelah Kahfi. Saya sangat berharap, setelah ini... Kita akan tetap baik-baik saja", Alfa mengusap pelan punggung tangan kanan Rima dengan lembut.
"Boleh... Saya bertanya satu hal dok...?", Rima bertanya ragu-ragu.
"Silakan", Alfa mempersilakan Rima dengan sepenuh hati. Berharap tidak ada lagi yang mengganjal setelah hari ini.
"Apa... Dokter menolak saya... Ada hubungannya dengan.... Erfly...?", Rima bertanya terbata-bata.
Alfa tersenyum geli mendengar pertanyaan Rima. Kemudian Alfa menggeleng pelan, "Erfly... Adik angkat saya. Sejak kecil, kita sudah sama-sama", Alfa tidak menjelaskan dirinya lebih jauh, karena Alfa merasa itu tidak akan ada gunanya.
Rima menarik jemari tangannya dari tangan Alfa. "Em... Dok, bisa kita kembali ke... Rumah sakit sekarang...", Rima bertanya dengan suara berat, karena menahan tangis. Rima menenggelamkan tatapannya menembus lantai.
"Oke, suster duluan. Saya ke kasir dulu", Alfa sengaja memberikan waktu untuk Rima menenangkan diri di dalam mobilnya.
Alfa melangkah perlahan menuju kasir, membayar makanan yang mereka makan. Alfa membawa makanan yang telah di pesan sebelumnya untuk dibungkus, Alfa sengaja membungkus makan untuk Erfly ayah dan ibunya Erfly.
Sesampainya dirumah sakit, Alfa meninggalkan Rima di meja depan ruang UGD. Sedangkan Alfa langsung menuju kamar inap ayah Erfly.
Alfa membuka pintu perlahan. Terlihat Erfly sedang tidur di atas sofa. Alfa meletakkan makanan bawaannya, keatas meja, kemudian duduk di bangku disamping Erfly. Kemudian mengusap pelan kepala Erfly.
"Fa... Sudah lama...?", ibu Erfly bertanya saat keluar dari toilet.
"Baru nyampe Bunda", Alfa bicara disela senyumnya.
"Erfly... Baru saja tidur, disuruh pulang malah tidak mau", ibu Erfly menatap lembut putrinya yang tertidur lelap di sofa.