Pak Wiratama memutuskan kembali kerumah sakit DKT melihat keadaan Candra. Tidak seperti sebelumnya, sudah tidak ada lagi polisi dan Tentara yang berjaga.
Pak Wiratama melangkah perlahan ke ruang isolasi, saat melihat dari kaca jendela, tidak ada siapa-siapa didalam ruangan. Pak Wiratama menghampiri suster jaga yang berada di dekat pintu.
"Dimana pasien yang di dalam...?", pak Wiratama bertanya cemas.
"Sudah kembali ke rutan pak", suster tersebut menjawab pelan.
"Kapan...?", pak Wiratama mengejar jawaban.
"Saya tidak tahu pasti, saya baru ganti sift. Bapak silakan langsung bertanya dengan dokter Firman yang bertanggung jawab penuh terhadap pasien", suster muda itu memberi saran.
Pak Wiratama segera menuju ruang dokter Firman. Setelah mendapatkan izin untuk masuk pak Wiratama langsung masuk.
"Dimana Candra...?"
"Sudah kembali ke rutan"
"Bagaimana bisa...? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Candra...?"
"Dia baik-baik saja"
"Kalau dia baik-baik saja, mengapa saya tidak boleh menjenguk Candra...?"
"Sepertinya anda salah paham. Saya bilang, Candra tidak bisa di temui, sebelum tahu hasil lab Candra"
"Lalu...?"
"Hasil tesnya sudah keluar", dokter Firman bicara santai, kemudian melemparkan map kehadapan pak Wiratama.
Pak Wiratama membaca hasil tes laboratorium Candra. "Lalu mengapa tidak menunggu saya kembali kesini untuk membawa Candra kembali ke rumah tahanan...?", pak Wiratama mulai kesal.
"Tugas saya mendiaknosa keadaan Candra. Kalau untuk keputusan mengembalikan Candra ke rutan, itu sepenuhnya keputusan pihak kepolisian. Saya dokter, bukan polisi, seharusnya anda sudah paham itu", dokter Firman bicara acuh tak acuh.
Pak Wiratama kehabisan kata-kata, dia langsung pergi meninggalkan ruangan dokter Firman.
***
Ardi masuk keruangan pak Lukman setelah mendapat izin dari pak Lukman.
"Ada apa...?", pak Lukman bertanya tanpa meninggalkan pekerjaannya.
"Candra sudah kembali ke rutan sesuai perintah", Ardi bicara pelan.
"Iya, terima kasih"
"Iya Om, saya permisi"
Ardi kembali meninggalkan Pak Lukman dengan pekerjaannya.
***
Erfly menyeruput minumnya, kemudian menatap Alfa yang masih tetap tidak mengalihkan tatapannya dari Erfly.
Erfly langsung tertawa terbahak-bahak, Alfa memasang muka bingung melihat tingkah Erfly.
Erfly kembali kedapur dan menambahkan makanannya lagi, kemudian kembali lagi duduk disamping Alfa.
"Makasih lho ko, seharian ini Erfly baru bisa tertawa sekarang. Candaan koko lucu. Hahahaha", Erfly kembali tertawa, kemudian kembali memasukkan makanan kedalam mulutnya. "Koko memang kakak paling top, hahahaha", Erfly kembali tertawa hingga airmatanya keluar.
'Bagi kamu mungkin aku akan selalu hanya menjadi seorang kakak', Alfa membatin merasa hatinya tercubit.
Alfa merebut makanan Erfly, kemudian menghabiskannya.
"Lha...katanya sudah makan tadi", Erfly bertanya bingung.
"Mendadak laper lagi", Alfa bicara dengan mulut penuh makanan.
Setelah menghabiskan makanan Erfly, Alfa pamit pulang. Yang ada diotaknya saat ini bagaimana, pergi dari gadis kecil sialan ini.
Setelah melepaskan kepergian Alfa, Erfly kembali mengambil sisa makanan yang masih ada di panci. Kemudian kembali duduk didepan TV, "Maaf ko, Erfly g'ak mau merusak persahabatan kita dari kecil. Koko udah Erfly anggap kakak sendiri selama ini, Erfly mau kita tetap seperti itu selamanya", Erfly bergumam pelan.
***
Sinta membuka pintu rumahnya, kemudian melemparkan dirinya keatas sofa ruang tamu.
"Mbak udah pulang...?", seorang perempuan muda dengan tinggi 175cm, muka oval, kulit putih bersih, mata coklat dengan bulu mata lentik menghampiri Sinta.
Sinta hanya mengangguk lemah.
"Mbak mau mandi dulu, atau mau langsung makan...?", perempuan muda itu kembali bertanya.
Sinta meraih tangan wanita muda yang ada dihadapannya saat ini, "Kamu g'ak perlu repot-repot, kamu mesti ingat kondisi kamu sekarang sedang hamil. Jangan capek-capek", Sinta memberi nasehat.
"Tasya g'ak enak mbak, Tasya udah banyak ngerepotin mbak, seg'aknya Tasya bisa bantu mbak", perempuan itu tertunduk, tidak berani menatap wajah Sinta dewi penolongnya.
Satu-satunya orang yang mengulurkan tangan saat dia kehilangan arah malam itu, setelah keluar dari rumah dinas Walikota. Dan diusir oleh ayah biologis si jabang bayi yang ada diperutnya.
"Mbak g'ak mau kamu nanti ada apa-apa dek"
"Mbak... "
" Yah..."
"Kenapa mbak mau bantu Tasya...? Padahal Tasya bukan siapa-siapa mbak...?"
"Kalau boleh jujur mbak g'ak suka dengan pekerjaan mbak yang sekarang"
"Terus... Kenapa mbak bertahan...?"
"Cari kerja di zaman sekarang g'ak gampang dek, sarjana aja nganggur. Mbak merasa beruntung, hanya lulusan SMA bisa kerja jadi sekretaris kepercayaan konglomeret kaya raya"
"Terus... Kok mbak g'ak terlihat bahagia dengan pilihan mbak...?"
"Pak Wiratama itu bukan sebaik yang kamu suka lihat didepan umum. Saat dia marah, dia bahkan tidak segan-segan buat nampar mbak, malah mbak pernah dilempar gelas hingga kening mbak harus menerima 3 jahitan. Rasanya mbak mau buka topeng palsunya didepan semua orang"
"Mbak... "
" Mbak masih punya adik yang harus mbak sekolahkan, sejak ayah meninggal mbak yang menggantikan peran ayah. Kalau mbak berhenti, mbak harus biayai mereka dari mana dek...?"
"Sekarang Tasya malah menambah beban mbak"
"Saat melihat kamu, mbak ingat adik mbak dikampung. Mbak marah saat tahu kamu dihamili Dirga, dan... Mbak lebih marah lagi saat tahu Dirga bukannya bertanggung jawab malah mengusir kamu dari kehidupannya"
"Sejak awal, Tasya udah tahu resikonya mbak"
"Oh ya, kamu belum cerita bagaimana kamu bisa ketemu sama Dirga...?"
"Tasya daftar situs online untuk ikut lomba fidio pendek, yang ceritanya mengisahkan kegiatan sehari-hari. Dan... Tasya terpilih, sebagai hadiahnya, Tasya dapat liburan gratis ke korea selama seminggu"
"Kamu sendiri...?"
"G'ak mbak, kita ada bertiga. Dan yang berangkat ada tim yang mengaku panitia lomba. Termasuk Dirga, sebagai sponsor utama lomba. Sampai akhirnya kita dibawa ke clab mewah gitu di korea, Tasya g'ak minum alkohol, Dirga memesankan jus jeruk. Setelah itu Tasya g'ak sadar apa-apa selain ngerasa badan Tasya sempat terasa panas, jantung berdebar kencang"
"Terus...?"
"Saat Tasya bangun pagi, Tasya udah telanjang dikamar hotel. Tidak ada siapa-siapa, dan... "
"Kenapa...?"
"Di HP Tasya ada kiriman Vidio, Tasya berhubungan intim sama Dirga"
"Kamu diperkosa...?"
"Kalau dari Vidio, justru seolah Tasya yang memperkosa Dirga. Tasya sama sekali g'ak ngerti mbak. Tasya bingung. Tasya takut. Dirga mengancam kalau Tasya macam-macam Vidio itu akan disebar sama dia"
"Sepertinya kamu dikasih obat perangsang oleh Dirga. Dasar setan...!!!", Sinta bicara geram dan mengepal tangannya kesal. "Terus apa yang akan kamu lakukan kedepan...?"
"Untuk saat ini, Tasya hanya ingin melahirkan anak ini. Dan membesarkannya, dia tidak punya salah apa-apa Tasya g'ak mau menghilangkan nyawanya"
"Kamu g'ak mau ngasih tau keluarga kamu...?"
"Tasya g'ak mau mereka khawatir mbak, Tasya hanya punya nenek. Nenek taunya Tasya kerja di kota, untuk sementara biar seperti itu saja mbak"
"Kamu yang kuat sayang, ada mbak disini. Kita lewati semua ini bersama-sama"
Sinta langsung memeluk Tasya sebagai penguat untuk Tasya, mengingatkannya kalau dia tidak sendiri diatas dunia ini.