webnovel

S2-2 THE BROKEN ANGEL

"Semua adalah tentang pilihan. Maka jika kau telah memilih, pastikan siap apapun yang akan terjadi."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

**

MILE Phakphum tidak pernah tahu sejak kapan jarak antara dirinya dan Apo begitu jauh. Dia paham hubungan mereka baik-baik saja, tapi melihat sang istri berjalan ke arah meja, hatinya kosong. Apalagi saat Apo bicara akrab dengan Paing seolah tak ada dirinya. Mile benar-benar tersisihkan karena mereka punya dunianya sendiri.

"Tuan Romsaithong?" panggil seorang butler tiba-tiba. Mile pun tersentak dari lamunan, lalu mengambil gelas wine yang dipersiapkan untuknya.

"Ah, ya. Terima kasih," kata Mile. Lelaki Alpha itu pun menyapa wanita yang memiliki tempat duduk bersamanya. Mereka berkenalan sebagaimana harusnya berbasa-basi. "Salam kenal juga, Nona Luhiang. Maaf baru berkesempatan bicara dengan Anda sekarang."

Luhiang, wanita Alpha yang sempat memperhatikan arah mata Mile pun tersenyum anggun. "Santai saja, Tuan Mile. Kakakmu denganku itu juga teman baik," katanya. "Turut berduka cita atas insiden yang menimpanya beberapa bulan lalu."

Mile pun mengangguk dan melanjutkan obrolan itu dengan sewajarnya saja. Dia cukup lega karena Luhiang tipe wanita yang bermartabat, walau sensitivitasnya bisa meraba perasaan Mile begitu jauh.

"Oh, iya. Yang bersama rekanku itu istrimu kan," kata Luhiang tiba-tiba. "Namanya Apo Nattawin. Atau biasa dipanggil Tuan Natta? Jujur, aku senang dengan tempramennya saat berbicara, tapi agak sulit memenangkan obrolan kalau kami sudah berdiskusi bersama."

DEG

Meski paham sifat istrinya, Mile tetap terkejut karena Apo memperlakukan orang sekitar dengan dinding-dinding tinggi. "Ya, dia memang sedikit pemilih," katanya. "Tapi, sejauh ini semuanya baik-baik saja. Anda mungkin hanya belum mengenalnya."

Luhiang mengerling dengan anggunnya. "Ya, paham kok," katanya. "Aku bicara begini hanya karena menyayangkan. Bahwa niat baikku untuk bekerja sama dengannya, selalu sulit karena kami berbeda pandangan."

Mile tidak menanggapi perkataan itu. Sebab kesopanan tidak menjadi alasan, jika istrinya sendiri disudutkan di depan muka. Luhiang mungkin hanya sedang menilai dirinya, apalagi saat ada pengumuman besar.

"Sekali lagi, kita beri selamat kepada Best CEO of The Year 2015/2016: Presiden Direktur Rachrood Mark Dynamics Thailand Paing Takhon!!!"

Seketika tepuk tangan meriah pun berkumandang. Panggung awards disinari dengan lampu-lampu sorot, tapi yang terbesar tetap di atas Paing. Spotlight putih. Sangat bersinar. Membuat Alpha gagah itu makin tampak hebat. Apalagi senyum sopannya menghias muka.

Paing pun berdiri setelah menunduk hormat. Dia dipeluk Apo sebagai rekan lama dan support system. Tak peduli sebenarnya rival dalam ranah yang sama.

Mereka menuai senyum, sebagaimana lawan dengan jiwa ksatria. Menerima kekalahan merupakan kelonggaran jiwa. Dan Paing menunjukkan kemenangan tanpa pamrih. Dia berterima kasih dan meminta maaf kepada semua undangan. Sebagaimana sosok pantas yang berdiri di depan mimbar, Alpha itu berpidato dengan intonasi luar biasa. Apapun yang dia katakan. Semua orang langsung paham betapa berkualitasnya etos kerja dia, padahal Paing sudah terbiasa.

Sebagai role model. Sebagai mentor dan guru. Sebagai senior yang menguasai lapangan kerja, bahkan meski ini tahun pertamanya terbang di jajaran eksekutif bisnis.

"Aku jelas-jelas tidak bisa dibandingkan dengan dia," kata Mile dalam hati. Karena makin tidak mengakui, bohong besar lah yang dituai oleh jiwa. Dia paham sejak awal pondasi Paing lebih kokoh. Maka tidak heran ini semua terjadi.

Alpha itu seperti permata di tengah emas, sementara dirinya batu mulia pendatang. Ya, mungkin bisa dikatakan Mile punya kekuatan. Namun, dia baru diasah serius bertepatan saat terjun ke kursi sang kakak. Dia pun kesal, walau tak bisa menuntut. Karena memang begitulah faktanya. "Apo, apa semua baik-baik saja?" tanyanya setelah acara berakhir. Sang Alpha sangat cemas kepada istrinya, karena Apo memang tampak kecewa.

Bukan pada Mile, tentu saja. Tapi kepada dirinya yang mendadak krisis identitas. "Jujur saja agak mengejutkan," kata Apo. Dalam mobil di dalam parkiran, mereka duduk untuk memenangkan isi hati dan pikiran. "Kacau sekali, Mile. Kenapa bisa sampai sejauh itu." Dia pun menghela napas, karena kabar perusahaan yang turun begitu drastis.

Coba bayangkan. Apo tidak pernah keluar dari 10 besar terbaik, tapi kini dia di urutan 13. Keluarga Romsaithong sendiri di urutan 9. Yang artinya memang sama-sama turun.

Rasanya--arrgh. Ingin sekali Apo marah-marah, tapi dia tahu ini resikonya. Memang berapa banyak sih Omega yang memegang tampuk perusahaan? Hanya dia, diantara seluruh pesaing. Dan sekarang Apo sudah berkeluarga. Dia pun menahan panas di dada, tapi berakhir menyakiti perasaannya sendiri.

"Aku benar-benar minta maaf."

Apo pun mengatur napas, lantas segera menggeleng. "Tidak, Mile. Jangan khawatir ini bukan salahmu," katanya. "Aku kan sudah memilihmu. Anggap saja memang harusnya begini. Lagipula, jika pasanganku orang lain. Belum tentu juga kondisi kita seperti sekarang. Aku tak boleh kurang bersyukur."

Namun, melihat Omega-nya emosional? Mile mana tega karena manik Apo mulai dihias bening. "Mau memelukku sebentar?" tawarnya. Tapi tidak menggebuk dada seperti dulu saat menawarkan privillege. Di situ keberadaan Mike murni hanya sebagai seorang pasangan. Dia tidak membanggakan apapun, sehingga Apo memandangnya dari samping.

Sosok itu, Mile Phakphum Romsaithong. Lelaki Alpha dengan perawakan tinggi menawan. Apo mencoba flashback ke waktu dia mengidamkan Mile, dan sekarang sosok itu ada di depan matanya. Apo pun melirik ke cincin yang Mile kenakan, lalu menggenggam jemarinya perlahan.

"Mile ...." kata Apo. Dia yang menolak cengeng saat duduk di ranah profesi, tetap saja akhirnya terisak. Getar bahunya membuat Mile mengaktifkan kaca hitam, sehingga orang-orang luar takkan tahu rasa sakit yang ditanggung sang Omega. "Aku benar-benar berterima kasih."

Mile pun memeluk Apo, meski sang Omega menolak datang sendiri. Dia menyelimuti sosok itu dengan aroma khas darinya, sehingga perasaan Apo lebih lepas. Dia mencucurkan banyak air mata, tapi berusaha tenang. Bagaimana pun baby triplets menunggu di rumah, maka jangan sampai mereka ikut sedih karena dirinya.

"Aku yang harusnya berterima kasih," bisik Mile. Dia mengelus punggung Apo. Merasakan betapa erat sang Omega mendekap balik tubuhnya. "Terima kasih sudah memilihku dengan yakin. Terima kasih juga telah melangkah begitu jauh, dan bersedia melahirkan bayi-bayi kita."

"Umnnn," kata Apo yang sudah tak tahan lagi. Dia gemetar hingga jas Mile Phakphum basah, tapi juga nyaman di saat yang sama.

Tidak banyak kata-kata lagi yang mereka ucapkan di malam itu. Keduanya pun langsung berpisah setelah tenang. Lalu menyetir mobil masing-masing untuk menyendiri.

Kata Apo, "Aku janji takkan pulang larut-larut. Mungkin paling lama jam 11? Hanya ingin ke kantor sebentar."

Mile pun paham sang Omega seperti ingin menebus kesalahannya. Ibarat baru merusakkan patung, dia mau berpikir dalam ruang seni untuk membuat yang baru. Mungkin ada suatu hal yang terlewat? Bagaimana pun si memegang kursi adalah kedua orangtua Apo yang sudah tua. Dia pun tak mau melimpahkan kekesalan pada siapa pun, karena tatanan mereka sudah benar hingga kini.

Dukungan, effort, harta, waktu ... semua dicurahkan selama Apo mengandung, bahkan melahirkan hingga hari pernikahan juga.

"Oke, tapi tetap telepon aku jika mau pulang," kata Mile. "Akan kujemput, hm? Jangan mabuk-mabukan juga seperti dulu. Kutemani, meski nanti kau menyetir sendiri."

"Hm." Apo pun mengangguk lalu benar-benar pergi. Audi putihnya melaju pelan ke jalan raya, barulah Mile menyusul dengan rasa yang bercampur-campur.

Oh, jadi begini rasanya sungguh terjatuh. Mile tidak pernah menyangka dampaknya begitu besar, sebab reputasi merupakan segalanya. Nama meraka berdua kini tercatat di bawah orang. Mereka-mereka yang dulu segan menghadap, kini mungkin pesta pora sambil menggosipkan banyak hal.

Ah, sialan.

BRAKHHH!

Mile pun meninju setir hingga tangannya membiru, lalu keluar mobil untuk menenangkan diri. "Hahhh ... hahh ... hahh ...."

Tepat di sisi jembatan gantung. Lelaki itu memandang lampu kota yang temaram, tapi anginnya tetap bisa memburamkan air mata.

"Benar-benar sangat bodoh," batinnya memaki pada diri sendiri. "Kenapa bisa begini? Aku belum cukup keras melakukan semuanya."

Sayang, Mile tak mau berteriak atau menangis karena dia pondasinya. Lelaki Alpha itu hanya mengepalkan tangan, mengingat betapa cantik ocehan ketiga baby, atau tawa mereka saat dalam gendongannya.

Apa mereka juga kecewa? Mile tak mau berpikir sejauh itu. Dia hanya terus mengecek arloji, kapan Apo akan menelponnya seperti janji.

"Masih tiga puluh menit lagi, tak apa," gumam Mile. Mencoba tenang, meski dalam kecemasan batin. "Semua pasti baik-baik saja."

Deg ... deg ... deg ... deg ...

Sayang makin lama Mile meyakinkan diri sendiri, firasat buruk justru terasa semakin jelas. Kini, dadanya bahkan berdebar-debar tanpa alasan. Hal yang membuat telapak Mile berkeringat, hingga sebuah kabar masuk ke dalam ponselnya.

DEG

[Nak, bisa kau pulang sekarang? Cucu-cucuku menangis semua. Mereka benar-benar sangat rewel, tapi Apo sepertinya langsung ke RS. Kau tahu? Ayah mertuamu sekarang masuk UGD]

[Mae]