webnovel

Bab 17. Encounter With You (II)

[Kenapa akar pohon ini sulit sekali terlepas?] pikir Ana kebingungan.

Ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan akar-akar yang melilit di kakinya. Napasnya mulai habis tetapi belum berhasil melepaskan akar itu. Dicobanya sekali lagi tetapi sia-sia. Akar-akar itu seperti membuat simpul tali untuk mengunci kakinya. Ketakutan mulai memenuhi benaknya. Kekuatannya mulai habis. Napasnya mulai habis. Kesadarannya mulai menghilang.

[Apa aku akan berakhir di sini? Tidak! Aku tidak mau!] teriaknya dalam hati.

Di sela-sela kesadarannya yang mulai menghilang dan keputusasaan yang sempat hinggap di hatinya. Tiba-tiba sebuah cahaya terang melingkupi sekelilingnya. Sesosok pemuda menghampiri dan meraih tubuh dan ia pun tak sadarkan diri.

Ana membuka matanya perlahan-lahan. Ia duduk dan melihat ke sekelilingnya. Tas ransel berada di sampingnya sedangkan Tobias sudah berada di tepian danau basah kuyup. Pasukan penjaga kota sudah ada di sekitar danau dan menangkap gerombolan orang-orang itu. Mereka membawanya dengan paksa, tak menghiraukan protes dan umpatan yang diucapkan olah gerombolan itu. Saat pandangan Tobias melihat Ana tersadar, ia langsung berdiri dan memeluk Ana dengan erat.

"Ana!"

Tubuhnya bergetar ketakutan dengan hebat dan tangisannya pun pecah. Ana hanya tersenyum lemah membalas pelukannya.

"Aku baik-baik saja, Tobias, dan kau?"

Tobias menggelengkan kepala lalu membenamkan kepalanya di pundak Ana.

"Ana, aku takut sekali. Tadinya aku pikir akan tenggelam, tapi seperti ada kekuatan yang membuatku berenang sampai tepi danau," ujar Tobias di sela-sela isakan tangisnya. Tangan Ana mengelus-elus kepala anak itu untuk menenangkannya.

"Kau sudah aman sekarang. Tapi jangan mencuri lagi mulai sekarang, oke?"

Tobias masih terisak perlahan.

"Apa kau dengar apa yang kukatakan?"

Ana melepaskan pelukan Tobias dan menatapnya lekat-lekat. Tobias menghapus air mata dan ingus di hidungnya kemudian mengangguk-angguk berkali-kali. Ana menghela napas lega. Ia juga mengatur pernapasannya. Tubuhnya masih terasa lemah dan tidak bisa berdiri. Membayangkan dirinya hampir tenggelam jika tidak ada seseorang yang menolongnya, membuat hatinya menciut. Wajahnya terangkat dan matanya menatap ke sekeliling kemudian berhenti pada sosok pemuda yang berdiri tak jauh dari tempatnya.

Pemuda itu menggunakan baju dengan penutup kepala berwarna hitam. Benang-benang berwarna emas tersemat di setiap tepian baju yang digunakan. Wajah pemuda itu tampan dengan rambut pendek yang berwarna kuning keemasan. Rambut dan baju yang dikenakan pemuda itu masih basah. Ia sedang berbicara pada salah seorang pasukan keamanan kota.

Karena merasakan tatapan Ana, pemuda itu berpaling melihatnya. Segera pemuda itu berjalan menghampiri Ana. Ana yang masih terduduk di tepi danau mendongak ke atas. Wajah tampan pemuda itu terlihat dengan jelas. Rambutnya yang keemasan dan masih basah terkena air terlihat menyilaukan seperti matahari. Ana tertegun melihatnya. Akan sangat indah jika pemuda tampan yang menolongnya itu tersenyum lembut padanya sambil menanyakan keadaannya. Namun, pemuda itu mengerutkan alisnya, memandangnya dengan tatapan mata kesal.

"Kau bodoh!"

"Maaf?"

"Ck, kalau tidak bisa berenang, tidak usah masuk dalam air."

Pemuda itu berkecak pinggang dengan kesa. Ana mengernyitkan alisnya merasa terganggu dengan ucapannya. Ia pun berdiri di hadapan pemuda itu.

"Aku bisa berenang, hanya saja kakiku tersangkut… "

"Siapa yang peduli dengan hal itu."

Sebelum Ana dapat berkata lebih lanjut sang pemuda sudah memotong pembicaraannya dengan acuh tak acuh.

"Apa?" tanya Ana kebingungan.

Tobias ikut berdiri di samping Ana dan menunduk.

"Tuan, terima kasih banyak," seru Tobias pada pemuda itu. Pemuda itu memandangnya sejenak dan hanya melambaikan tangannya dengan angkuh.

"Kalau kalian sudah baik-baik saja seharusnya kalian kembali. Pasukan keamanan kota sudah membawa para gerombolan tadi."

Tepat saat pemuda itu selesai berkata-kata seorang lelaki tua berjalan ke arahnya dan mengangguk hormat padanya.

"Tuan, keretanya sudah siap."

"Tepat waktu."

Pemuda itu tersenyum sambil menangkupkan tangannya. "Hei, kau," ujar pemuda itu memandang Ana dan Tobias, "Kau akan pergi kemana? Aku antarkan!"

"Benarkah, Tuan? Aku akan kembali ke toko tempat ayahku bekerja. Toko senjata di sudut gang simpang lima." Tobias berteriak kegirangan. Pemuda itu menatap Ana.

"Ah, ke penginapan saja."

Pemuda itu mengangguk kemudian berjalan menuju kereta kuda yang sudah disiapkan lelaki tadi. Ana mengambil tas ransel yang berada di tanah kemudian bersama dengan Tobias mengikutinya dari belakang. Sang kusir membantu Ana dan Tobias naik ke dalam kereta. Kereta kuda itu pun berpacu. Pemuda itu duduk di kursi sendiri sedangkan Ana dan Tobis duduk di depannya. Dalam perjalanan, kesunyian menyelimuti kereta kuda itu. Sang pemuda hanya terdiam sambil membuka sebuah buku yang berada di sampingnya. Tidak ada inisiatif membuka pembicaraan. Ana memperhatikannya sejenak kemudan membuka mulutnya.

"Em, terima kasih sudah menolong kami."

Sang pemuda mengernyitkan alisnya terlihat terganggu. Ia menjawab dengan ketus tanpa memalingkan wajahnya melihat Ana.

"Aku hanya kebetulan lewat."

[Ah, dia punya temperamen yang buruk,] pikir Ana.

Namun, meskipun pemuda itu memiliki temperamen yang buruk tetapi Ana tetap bersyukur karena pemuda itu sudah menolongnya. Kembali keheningan menyelimuti kereta itu. Tobias menggigil. Ana berpaling melihatnya.

"Langsung ganti pakaian hangat saat sampai di tempat ayahmu nanti supaya tidak demam," ujar Ana pada Tobias. Tobias mengangguk dan merapatkan tubuhnya pada Ana.

Mereka sampai di sebuah toko pedang tempat ayah Tobias bekerja. Kereta itu berhenti. Tobias memandang Ana dengan pandangan yang tidak mau berpisah denganya.

"Ana, maaf aku tidak mengantarmu ke penginapan,"

Ana tersenyum. "Aku bisa mencari sendiri. Kau cepatlah masuk."

"Selamat tinggal, Ana. Aku berharap kita bisa bertemu lagi."

"Aku harap juga begitu."

Tobias memeluk Ana dengan erat kemudian mengucapkan terima kasih pada pemuda berambut emas itu. Sang pemuda itu hanya mengangguk. Tobias turun dari kereta kudanya. Tak lupa mengucapkan terima kasih pada kusir kereta dan melangkah masuk ke dalam toko. Ana melihat Tobias menghilang masuk ke dalam toko. Kereta kuda pun kembali berjalan. Pemuda di depannya meletakkan bukunya dan menatap Ana dalam-dalam.

"Jadi, aku mengantarmu di penginapan mana?"

Ana menatapnya dengan wajahnya yang terlihat ragu-ragu.

"Sebenarnya aku sedang mencari penginapan untuk bermalam. Apa Tuan tahu penginapan yang murah?"

"Apa aku terlihat seperti orang yang akan menginap di penginapan murah?"

Sang pemuda mengangkat alis matanya heran membalas pertanyaan Ana.

"Lupakan. Tuan bisa mengantarku di pusat kota saja, aku akan mencarinya dari sana," sergah Ana santai. Ia sudah menduga akan mendapatkan jawaban yang tidak menyenangkan. Dilihat dari penampilan pemuda itu, Ana dapat menduga bahwa Dia mungkin keturunan bangsawan. Diluar dugaan, sang pemuda menyahut, "Aku tahu tempatnya. Penginapannya tidak terlalu murah tapi harganya masih terjangkau. Aku akan mengantarmu ke sana."

Ana tersenyum padanya dan mengangguk. Namun, pemuda itu melihat ke arah jendela di luar. Kereta pun masih melaju. Beberapa saat kemudian, kereta pun berhenti.

"Sudah sampai, kau bisa turun," ujar pemuda itu.

Ana menundukkan kepala mengucapkan terima kasih kemudian keluar dari kereta kuda itu. Ana melihat sebuah rumah bertingkat dengan pagar batu bata merah mengelilinginya. Halaman penginapan itu dihiasi bunga lavender berwarna unggu, sebuah tiang dengan bendera berwarna warni di tengah taman. Senyuman merekah diwajahnya dan kakinya melangkah masuk ke dalam penginapan itu.

Pemuda itu membuka jendela di keretanya. Tanganya terangkat dan seketika sang kusir terdiam. Sebuah cahaya tak kasat mata menyelimuti kereta kuda itu supaya orang luar tidak dapat mendengar maupun mengetahui hal terjadi di dalam kereta. Seekor burung elang melayang-layang di atas kereta kuda dan masuk melalui jendela yang terbuka. Sesampai di dalam kereta, elang itu berubah menjadi Nazriel, bawahan Arlan.

"Yang Mulia, akhirnya aku menemukanmu. Kenapa Yang Mulia pergi tiba-tiba?"

"Jangan tanya!" serunya kesal.

"Aku sudah cukup kesal sekarang. Setelah aku menemui pengikut sihir hitam yang sudah meninggal dan kembali ke Magic Tower, aku tiba-tiba harus berada di dalam dasar sebuah danau. Aku harus menyelematkan seorang gadis, menggunakan kekuatanku untuk mendorong anak kecil ke tepian danau, menggiring pasukan kemanan kota datang, dan memanggil kereta! Sekarang aku lapar, dingin, dan basah!!"

"Tapi, Yang Mulia dapat mengeringkannya sendiri,"

"Tentu saja aku bisa!" serunya menjentikkan jarinya dan seketika itu juga dari rambut hingga kakinya kering.

"Sebenarnya apa yang dilakukan gadis itu di luar Kota Wayshire?"

"Dari mana aku bisa tahu, Yang Mulia?"

"Aku tidak bertanya padamu!"

"Jadi, dimana gadis itu sekarang?"

"Di dalam penginapan."

"Apa Yang Mulia akan menginap juga di sana?"

"Aku? Di penginapan itu? Kenapa harus?" ujarnya dengan angkuh. Namun, ia tertegun dengan apa yang dilakukannya kemudian.