webnovel

Passion VS Opportunity

ITB, Bandung, 1999

"Wih! Gimana sidangnya?" tanya Andi.

"Alhamdulillah aman," sahut Uge.

"Pertanyaan basa-basi aja, hidup elu mah emang selalu mulus. Kamana wae, Ga? Lama bener ngilangnya," sambut Andi.

"Mulus naon? Justru ngilang karena lagi pontang-panting nyari modal nikah, Kang," sahut Uge.

"Nikah sarua embe, Ga? Perempuannya aja ada di masa depan," ledek Andi.

Uge terkejut. Ia memandangi Andi dengan wajah sebal.

Andi tertawa. "Gue baca dikit doang kok."

"Dikit atau banyak, sama aja, blegug! privasi orang itu."

"Halah, privasi, privasi! Lupa?"

Uge pun tertawa. "Itu mah beda kasus! Lagian udah memasuki zaman internet, masih ada aja yang bikin surat cinta, terus naronya sembarangan lagi. Wajarlah! Sebagai insan yang imannya masih lemah, siapa yang sanggup ngeliat amplop cihuy bertuliskan nama cewek di pengajian yang gue kenal? Terus aya gambar lope-na! hahaha!"

"Hahaha! Udah itu ditolak."

"Iyalah! Secara estetika aja, lu udah bikin aib di FSRD, Ndi!"

Keduanya tertawa terpingkal-pingkal.

"Score jadi satu sama, ya," ujar Andi.

"Ya udah, karena lu udah baca, sekalian aja gue minta pendapat elu," ujar Uge.

"Oke, dengerin pendapat gue ya." Andi menarik nafas dalam-dalam. "Hahaha!"

Andi tertawa terpingkal-pingkal sendirian, setelah tawanya reda ia kembali bicara, "Katanya kalo titik itu jauh dari kerumunan, pasti kelihatan. Kenyataannya, saking enggak ada yang ngelirik, lu harus nyebrang waktu buat nyari jodoh, kasihan banget! Hahaha!"

"Temen macam naon iyeu? Lagi butuh pendapat malah dinistakan sebegini rupa."

"Oke gue serius, hehe. Jujur nih! Gua emang cuma baca dikit dan gua enggak percaya soal lintas waktu itu. Tapi, anggap aja itu bener. Artinya, 5 tahun lagi lu baru bisa ketemu. Mau buang waktu selama itu?" tanya Andi.

"Kita juga kuliah 4 atau 5 tahun supaya bisa kerja. Kenyataannya banyak kok yang di tengah jalan udah bisa punya penghasilan. Seandainya pun baru punya penghasilan setelah lulus, kalo kuliahnya bener, 5 tahun itu adalah investasi waktu, bukan buang waktu. Kita wajib ikhtiar, soal hasil mah bukan kuasa kita," jawab Uge.

"Emang repot ngomong sama orang ribet. Gini aja deh, kita ngomong tentang tingkat peluang aja. Kenapa lu enggak cari perempuan yang punya peluang besar atau masuk akal untuk lu nikahin secepatnya?" tanya Andi.

"Wah, ini sih mirip perdebatan gue sama Ali Tanjung. Dia penganut aliran opportunity, gue penganut aliran passion. Al akan ambil bidang apapun yang punya peluang besar, walau mungkin dia enggak cinta. Sementara, gue dari dulu setia sama bidang arsitektur yang gue cintai, walau di depan mata ada peluang besar di bidang lain. Perempuan dari masa depan itu udah jadi passion gue, tugas gue adalah memperbesar tingkat opportunitynya yang sekarang masih kecil," sahut Uge.

"Hahaha, soal konsistensi, lu memang sulit tertandingi. Oke, lu pilih passion ketimbang opportunity, tapi belum tentu bidang lain yang belum lu coba, langsung lu simpulin kalo enggak punya passion di sana," tangkis Andi.

"Bener. Tapi posisi gue sekarang kan udah ketemu. Buat apa nyari-nyari lagi? Mendingan gue perkuat."

"Cuma lewat teks! Ketemu naon? Gini deh, sebagai teman yang baik, gua emang sengaja nemuin lu sekarang buat ngebantu satu-satunya urusanlu yang masih macet."

"Pasti mau ngenalin ke Dewi," tebak Uge.

"Nah, alam bawah sadarlu aja tahu! Dewi itu memang passion elu yang sebenarnya, tapi jiwa ribetlu nutupin kejernihanlu dalam mencari jodoh."

"Ndi, kenapa enggak elu aja sih yang deketin dia?"

"Astaghfirullah. Angga! Dari gue kecil, bokap gue udah kerja jadi tukang kebun di rumah Dewi, gue udah kaya adek kakak, yang bayarin sekolah gue aja bokapnya Dewi." Andi melihat Dewi yang terlihat mencari seseorang. "Eh, itu Dewi. Gue emang dia kesini buat ketemu elu."

"Hah? Buat apa?"

"Ssst! Dewi!" panggil Andi sambil melambaikan tangan.

Dewi membalas, kemudian berjalan menuju ke arah mereka. Andi terlihat senang, akhirnya ia berhasil mempertemukan Uge dengan Dewi.

"Angga, kenalin ini Dewi," ujar Andi.

Uge menyatukan kedua telapak tangannya tanpa bersalaman. "Angga,"

"Dewi," sahut Dewi sambil mengikuti cara Uge bersalaman.

"Oke, gue emang sengaja mempertemukan kalian di sini. Jadi gini ceritanya, Dewi ini lagi nyari orang untuk ngebantu urusan dia, detailnya biar Dewi aja yang jelasin nanti. Menurut gue, orang yang paling tepat untuk Dewi adalah Angga. Karena kalian itu punya passion yang sama … "

Andi melirik Uge yang sedang menatapnya dengan wajah datar.

"Kalian ini sama-sama tergila-gila dengan dunia arsitektur. Lu begitu enggak sih, Ga?" tanya Andi sambil cengengesan.

"Gitu deh," sahut Uge sambil cengar-cengir tak berdaya.

"Nah! Kalo udah ketemu orang yang tepat, ngapain nyari-nyari lagi? Apalagi sampe harus nyebrang ke dunia lain. Tugas kalian itu hanya memperbesar tingkat opportunitynya aja," ujar Andi.

"Lagi ngomong apaan sih, Ndi? Bingung aku," sahut Dewi.

"Sama!" dukung Uge.

"Tuh, banyak kesamaan ternyata, hehe. Oke, tugas gue udah kelar. Maaf, gua tinggal dulu, kalian lanjut aja," ujar Andi.

"Mau kemana lu? Enak banget ninggalin kita gitu aja" tanya Uge.

"Mau balikin buku-buku dosen kita, Pak Deni Willy Marpaung. Lu yakin, gue lebih baik di sini?" tanya Andi sambil menunjukkan wajah jahat.

"Mending lu cabut aja deh," usir Uge sambil mendorong Andi.

Andi tertawa. "Gue tinggal ya."

"Makasih ya, Ndi!" ucap Dewi.

"Sama-sama, Wi," sahut Andi.

Andi kembali mendekati Uge sambil berbisik. "Sok lah, langsung lamar! Kalo berhasil, jangan lupa bilang terima kasih sama gua."

Uge hanya bisa membalas dengan senyum pasrah. Andi pun meninggalkan mereka.

"Jadi, apa yang bisa aku bantu?" tanya Uge ramah.

"Aku mau bikin kegiatan sosial pengenalan software 3D arsitektur untuk anak-anak SMA. Kamu mau bantu ikut ngajar enggak?"

"Oh, gitu. Mau aja, tapi aku lagi sering bolak-balik ke Jakarta. Aku bantu sebisanya ya, boleh?"

"Boleh."

"Menurutku, biar efektif harus ada kurikulumnya."

"Kamu bersedia bantu bikin kurikulum juga?"

"Kita langsung bikin aja hari ini, mumpung lagi di Kampus. "

"Ayo."

Tiba-tiba terdengar suara adzan dari Masjid Salman.

"Alhamdulillah, udah masuk waktu sholat, nanti kita bikin setelah sholat. Kalo kamu muslim, kita bisa barengan ke masjid," ajak Uge.

"Aku muslim, tapi aku enggak sholat," sahut Dewi.

"Oh lagi enggak sholat, maaf. Ya udah, kamu kasih tahu aja mau nunggu di mana? Nanti aku ke situ."

"Aku sholat aja deh," ujar Dewi berubah pikiran.

Uge tampak bingung. "Ya udah. Yuk!"

"Oh iya, aku enggak bawa mukena, enggak jadi deh."

"Biasanya ada di masjid. Nanti aku bantu tanyain deh sama temen cewek yang aku kenal."

*****

"Angga, cari apa?" tanya Nisa melihat Uge yang kebingungan di depan pintu khusus perempuan.

Uge tampak lega. "Nisa, ada mukena yang bisa dipinjam?"

"Pasti buat Dewi. Kenapa enggak dia aja yang ke sini nanya, orangnya dimana?" tanya Nisa pelan.

"Iya, ya. Dewi nunggu di halaman."

"Kamu jadian sama Dewi ya?"

"Di masjid kok malah gosip."

"Kalo sama orangnya langsung, itu namanya tabayyun. Kamu jadian?" tanya Nisa lagi.

"Kenal aja baru. Ngajak orang ke masjid, malah gini jadinya," jawab Uge.

"Ih Angga, alhamdulillah, kamu bisa bawa Dewi kesini, kamu bimbing terus ya, biar istiqomah."

"Aku bimbing kamu aja, gimana?"

"Nawarinnya telat! Sekarang mending bimbing yang belum punya calon imam. Kasih tahu Dewi, mukena ada di rak lemari deket shaf paling belakang," ujar Nisa.

"Makasih infonya, Nisa, " sahut Uge sambil tertawa.

Nisa itu memang cantik dan pakai hijab pula, tidak heran Andi khilaf menulis surat cinta untuknya. Sayangnya Andi juga telat, dia tidak tahu Nisa sudah dilamar oleh seorang mualaf berdarah keturunan china yang ilmu agamanya justru sangat dalam, namanya Hussein. Kata Uge, sebenarnya Nissa punya kembaran. Informasi ini tidak begitu jelas, tetapi mampu menenangkan Andi yang patah hati.

Uge segera mencari Dewi, setelah itu mereka berpisah untuk menjalankan sholat.

*****

Siguiente capítulo