webnovel

Hari itu

Fajar menyingsing, mengiringi langkah kaki seseorang dengan tudung hitam di kepalanya. Dia menyusuri ramainya ibu kota Nan yang penuh kebisingan.

Tak berapa lama langkahnya terhenti tatkala seorang gadis kecil menabraknya kemudian terjatuh.

"Aduh!" Gadis kecil dengan rambut dikepang dua itu meringis kesakitan.

Dia menunduk. Perlahan dia membungkukkan badannya sampai akhirnya berjongkok di hadapan gadis itu. Dengan suara lembut dia berkata, "apa kau baik-baik saja?"

Alih-alih menjawab, gadis itu malah menangis. Mungkin luka di lututnya menjadi penyebab. Tetiba dia mengulurkan tangannya. Sambil menyentuh lembut luka itu dia kembali berkata, "sudah hilang, Dewi sudah menyembuhkannya."

Betapa terkejutnya mereka, saat dia membuka tangannya dan luka di lutut gadis itu benar-benar sembuh.

Ditengah rasa tak percayanya, gadis itu bangkit. Dia menggerakkan kakinya, rasa sakit tak dirasanya lagi. "Kakak, terima kasih," ucapnya dengan raut wajah gembira.

"Y-ya. Lain kali hati-hatilah saat berjalan, apalagi ditengah keramaian kota seperti ini," ucapnya.

Gadis itu mengangguk patuh. Setelahnya, dia pergi. Ditelan kerumunan, dan hilang dalam pandangan.

Seseorang bertudung hitam itu kembali berdiri. Namun, belum sempat ia melangkahkan kaki, sesuatu terjadi tepat di depan matanya.

Duar!

Sebuah kilatan berwarna hitam disertai suara gemuruh tiba-tiba muncul tak jauh dari tempatnya berdiri. Disusul dengan datangnya goncangan ringan yang membuat keadaan kota menjadi kacau dan orang-orang berlari ketakutan.

Dia berdiri tegap sambil menatap dimana arah kilat itu muncul. "Bukankah di sana ... adalah Istana?" bantinnya.

Dia melangkahkan kakinya pelan, semakin lama semakin cepat lalu berlari. Membelah kerumunan yang mana berlawanan arah dengannya. Entah mengapa, firasat buruk merengkuh hatinya saat ini.

Beberapa saat kemudian dia tiba di gerbang Istana. Beberapa bangunan kecil yang berada tak jauh dari gerbang turut hancur akibat guncangan misterius itu.

"Dari mana kilat itu berasal?" Tak sengaja dia mendengar sekelompok pelayan berbincang.

"Entahlah. Aku dengar, kilat itu berasal dari kamar tuan putri Jinzi," timbal seorang pelayan.

"Benar! Setelah itu aku melihat tabib Istana memasuki kamar tuan putri Jinzi. Mungkinkah ... mungkinkan tuan putri kita tersambar----"

"Sttttt! Jangan sembarangan berbicara, apa kau sudah tidak sayang nyawamu lagi?" Seseorang lainnya menyerobot.

Dia mendengus kesal, kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya. Dalam hati dia berkata, "Jinzi, tunggu aku. Kau harus baik-baik saja."

Tak butuh waktu lama, tibalah di depan sebuah pintu kamar yang dijaga ketat oleh beberapa penjaga. Baru saja hendak melangkahkan kakinya mendekat, beberapa penjaga menghadangnya dengan sebuah pedang.

"Maaf, Nona Yin, Yang Mulia tidak mengijinkan siapapun masuk untuk saat ini," ucap salah satu penjaga.

Wanita bernama Yin itu melepas tudung di kepalanya. "Biarkan aku masuk, jangan menghalangiku!" tegasnya sambil melempar tatapan tajam pada beberapa penjaga itu.

"I-ini perintah Yang Mulia, mohon Nona Yin tidak mempersulit kami!"

"Tch!" Sayang sekali, jika itu perintah Yang Mulia maka Yin tidak bisa melanggarnya. Berdiri menunggu di sana pun percuma.

Rasa khawatir dan amarah bercampur aduk, akan tetapi Yin mencoba untuk menahannya. Dia menatap dalam ke arah pintu, sampai akhirnya membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kaki pergi.

Namun tak berselang lama, terdengar pintu kamar terbuka. Yin yang mendengarnya lantas menghentikan langkah kemudian membalikkan tubuhnya. Di ambang pintu, terlihat beberapa pria keluar.

"Asisten Min Yu, aku ingat pernah membaca sebuah buku berjudul Bunga Dari Surga. Buku itu berisi bermacam-macam tanaman yang bisa dijadikan obat. Akan tetapi, aku lupa dimana terakhir kali menyimpannya. Pergilah ke perpustakaan Istana dan cari di sana," ucap seorang pria muda berambut panjang.

"Baik, Tuan Zhang," balas pria berambut pendek. Setelah itu dia pergi.

Pria muda bernama tuan Zhang itu terdengar menghela napas kasar sambil memejamkan matanya. Seperginya asistennya itu, ia kembali melangkahkan kaki.

"Tuan Zhang." Tiba-tiba di hadapannya berdiri Yin.

"N-nona Yin, mengejutkan saja," ujarnya yang memang cukup terkejut dengan kemunculan Yin.

"Tuan Zhang, apa yang terjadi pada Jinzi? Bagaimana kondisinya sekarang? Dia baik-baik saja, kan? Kilat yang tadi itu sebenarnya apa?" tanya Yin yang memberondong membuat tuan Zhang bingung harus menjawab dari mana.

"N-nona Yin jangan khawatir, tuan putri Jinzi pasti baik-baik saja," balasnya terbata.

Yin mengatur napas dan berusaha bersikap tenang. Tak lama dia menoleh kembali ke arah pintu sambil berkata, "sebenarnya apa yang terjadi?" Sorot matanya menunjukkan kekhawatiran.

Tuan Zhang menghela napas kasar sembari mengedipkan matanya perlahan. Alih-alih menjawab, dia malah melangkahkan kaki.

"Aku dengar pagi ini tuan putri pergi ke taman untuk melihat bunga. Namun sebuah petir misterius muncul dan menyambar tuan putri. Dia tidak sadarkan diri hingga sekarang," tutur tuan Zhang sambil menaruh tangan di dagunya.

Yin mendengarkan secara seksama sambil membuntuti tuan Zhang.

Tetiba tuan Zhang membalikkan tubuhnya, berhadapan dengan Yin. "Ah! Nona Yin jangan khawatir, putri Jinzi pasti baik-baik saja. Anda baru saja tiba dan harus pergi menemui Yang Mulia, kan, pergilah."

Sambil tersenyum ia menepuk pundak Yin, seolah memberitahunya bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

Yin membalas senyuman tuan Zhang. Dia lupa bahwa ada yang harus dia lakukan juga. "Terima kasih, Tuan Zhang. Kalau begitu aku pergi dulu, aku akan kembali jika urusanku sudah selesai," ucap Yin.

Tuan Zhang membalikkan tubuhnya dengan cepat, setelah itu dia melangkah pergi meninggalkan Yin. Yin masih berdiri mematung, meratapi kepergian tuan Zhang. Tak lama seorang pria menghampiri tuan Zhang, terbesit tanya di benak Yin.

"Siapa dia?" batin Yin

"Tabib Zhang, seseorang yang kita utus untuk mengundang tabib kuil sudah kembali. Dia mengatakan, tabib kuil Tian Xi akan tiba di Istana sore nanti," ucap pria itu pada tuan Zhang.

"Begitu kah? Syukurlah beliau bersedia datang."

Yin tak mendengar lebih banyak lagi, dia memiliki urusannya sendiri.

Di ruang baca milik Yang Mulia. Di sampingnya berdiri menteri keamanan, tuan Ji Lin. "Begitu yang Kepala Desa Chang Su katakan mengenai misi itu di kota Xinxian," ucapnya pada Yang Mulia.

Mendengar hal itu Yang Mulia mengepalkan tangannya, dia menggertakkan giginya dengan mata melotot. "Panggil dia kemari!" titahnya.

"B-baik, Yang Mulia."

Namun, baru saja menteri Ji Lin melangkahkan kaki, suara ketukan pintu terdengar.

"Yang Mulia, Nona Yin sudah datang."

"Bawa dia masuk!" ucapnya dengan suara bariton.

Dibukalah pintu itu oleh penjaga, perlahan terlihat Yin melangkahkan kaki dan masuk. Saat tiba di hadapan Yang Mulia, dia segera berlutut.

"Hamba memberi salam, semoga Yang Mulia panjang umur," ucap Yin penuh hormat.

Yang Mulia beranjak dari tempat duduknya kemudian berkata, "bangun!"

Mendengar perintah itu Yin lantas bangkit secara perlahan. Akan tetapi, belum sempat dia mengatakan sepatah katapun, sebuah buku tebal dilempar padanya dengan sangat kasar. Ujung tajam buku itu mengenai wajah Yin dan meninggalkan luka.

"Apa maksudnya ini ... Qin Yin?"

Siguiente capítulo