webnovel

Keluarga yang Hancur

Aku berdiri memandang pemandangan yang tampak dari jendela kamar hotelku yang mewah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam, jalan-jalan di Kawasan bisnis dimana hotelku berada sudah tampak sepi hanya segelintir mobil yang masih terlihat berada di jalanan. Gedung-gedung tinggi yang megah yang lampu-lampunya beberapa masih menyala seolah-olah menatapku yang baru saja selesai membersihkan badanku dan menangis selama kurang lebih 1 jam lebih di kamar mandi.

Luar biasa bagaimana roda kehidupan bisa berputar secepat ini. Beberapa jam lalu aku berada di pusat dunia, dengan suksesnya tur buku memoarku dan para penggemar yang mengelu-elukan namaku di panggung, sekarang aku berada di tingkatan terbawah dalam hidupku gara-gara wanita penyiram cat itu. Semua hormon dopamin dan serotonin yang sempat mengalir di seluruh tubuhku kini berganti dengan entah hormon apa yang bertanggung jawab atas kondisi yang pernah kualami bahkan bertahun-tahun tahun setelah insiden Surya terjadi. Frustasi dan depresi.

Mina memang tadi sempat mengantarku ke kamar, namun dia pamit lagi ke bawah dan meninggalkanku sendiri di kamar dengan alasan melakukan damage control atas kejadian sebelumnya.

"Saya harus kembali ke bawah Mbak. Saya harus mengecek apakah tadi ada yang sempat merekam kejadian itu apa tidak." Ujar Mina tegas ketika aku memohon-mohon agar dia tidak meinggalkanku.

"Aku ingin pulang saja…" tangisku terisak-isak.

"Lebih baik tetap berada di kamar hotel ini, Mbak. Kita tidak tahu jangan-jangan si ibu tadi membawa teman atau jangan dia kiriman wartawan atau entah apa! Saya harus ke bawah!" aku menangkap nada kesal darinya, yang cukup membuatku terkejut karena biasanya Mina jarang sekali menunjukkan emosi.

"Tutup pintunya, tidur duluan saja Mbak. Kemungkinan saya sampai malam di bawah." Dengan agak kasar dia melepaskan pegangan tanganku di lengannya dan kembali berjalan menuju area elevator.

Aku duduk di kursi yang berada di dekat jendela, memeriksa ponselku yang kutinggal di luar sementara aku berada di dalam kamar mandi. Ada 23 panggilan tidak terjawab, 20 dari Mentari dan sisanya dari Satria yang tampaknya sudah mendarat. Rupanya Mina sudah memberitahu mereka tentang insiden ini. Aku berniat langsung menelepon adikku tapi sebelumnya aku akan mengecek dulu kabar terbaru dari Mina.

Aman, Mbak. Kebanyakan orang tidak sempat merekam kejadian tadi, ada segelintir yang sempat tapi pihak hotel sudah membantu mengatasinya. tulisnya di aplikasi pesan.

Tentu saja pihak hotel tidak akan membiarkan apapun merusak reputasinya, apa yang akan dikatakan orang-orang bila mengetahui bahwa salah satu hotel terkenal berbintang membiarkan orang gila masuk?

Aku menelepon Mina, aku sedikit berharap dia sudah tidak kesal dan moodnya sudah baikan. Entah kenapa melihat Mina marah tadi membuatku takut, mungkin salah satu penyebab aku menangis gara-gara dibentak olehnya.

"Semua sudah beres. Pihak hotel tadi menahan sementara semua orang yang ada di lobi, petugas sekuriti sampai memeriksa semua ponsel mereka dan memastikan rekaman apapun yang berhubungan dengan kejadian itu dihapus." Begitu kata Mina ketika mengangkat teleponku bahkan sebelum aku sempat bilang 'Halo'.

"Wanita itu ternyata sudah 2 hari menjadi tamu disini, dia tahu hotel tempat kita menginap gara-gara ada salah satu tim kita yang posting toko kue terkenal yang ada di hotel ini." Lapornya lagi, "tapi semua sudah beres. Mbak tidur saja, ya." Dan dia menutup telepon.

Aku membaringkan diri di ranjang, tidak ada gunanya berpikir tentang itu sekarang karena semua sudah terjadi. Kulihat ponselku, aku berniat menelepon Mentari, tapi aku takut dia sudah tidur.

Sambil melihat nama adik perempuanku itu, pikiranku kembali berkelana ke 10 tahun yang lalu.

Ketika itu aku salah besar mengira penembakan itu sendiri adalah kejadian terburuk yang pernah kualami selama aku hidup, karena justru aftermath nya yang jauh lebih mengerikan.

Banyak orang-orang yang menghujat, mencela, bahkan mengirim ancaman pembunuhan kepada keluargaku. Mereka menyalahkan orangtuaku yahg dianggap tidak bisa mengawasi dan gagal mendidik anaknya. Berbagai macam media juga tidak henti-hentinya memberitakan peristiwa ini dari pagi sampai malam, sampai-sampai keluargaku tidak berani lagi menyalakan televisi dan browsing Internet.

Ayahku hanya bisa bertahan beberapa bulan di rumah sakit tempatnya bekerja, karena tidak tahan dengan pandangan menghakimi dari kolega-koleganya. Meskipun dia adalah salah satu dokter terbaik dan favorit para pasien, tetap saja kejadian ini membuat dia tidak lagi sehebat dulu karena tidak bisa fokus terhadap pekerjaannya.

Bahkan Pak Rudy langsung memutus total komunikasi dengan Ayah padahal sebelum kejadian ini mereka adalah teman baik. Kudengar dari Amanda yang pamannya juga seorang dokter di rumah sakit tersebut, Rudy menekan semua pihak untuk mendorong agar Ayahku mengundurkan diri karena keberadaannya dianggap sudah mengganggu kegiatan bahkan menghancurkan imej rumah sakit.

Alex dipindahkan ke SMU lain beberapa hari setelah kejadian itu dan menghilang total dari hidupku tanpa pesan perpisahan apapun. Kudengar setelah lulus dia dikirim ke keluarga Ibunya di Amerika Serikat untuk melanjutkan kuliah.

Ibuku langsung berhenti dari pekerjaannya di bimbingan belajar, dan menarik Mentari dari kelompok bermain, karena takut terjadi apa-apa dengannya di luar rumah. SMP Surya ditutup selama hampir sebulan dan selama itu pula murid-muridnya belajar melalui email.

Aku? Akulah yang bernasib paling malang di keluarga ini. Karena aku sudah di tingkat akhir SMU, jadi aku harus tetap pergi ke sekolah dan tetap mengikuti ujian akhir. Beberapa bulan sebelum kelulusan inilah yang membuat hidupku terasa seperti di neraka dan akhirnya aku mengalami depresi. Nilai-nilaiku hancur lebur, bahkan aku sampai mengundurkan niatku untuk berkuliah sampai setahun. Semua akun sosial mediaku dinonaktifkan karena terlalu banyak caci maki dan doa semoga seluruh keluargaku menerima pembalasan yang setimpal.

Teman-teman sekolahku terbagi menjadi dua, satu golongan yang terang-terangan menghujat dan golongan selanjutnya adalah yang berpura-pura simpati tapi aku tahu mereka hanya ingin mengasihani diriku dan membuat diri mereka merasa lebih superior dariku. Tentu saja kedua golongan tersebut sama-sama berbicara jelek di belakang sambil berbisik-bisik setiap kali mereka melihatku.

Nilaimu jelek? Hei, setidaknya adikmu bukan orang sinting yang mengeksekusi teman-temannya sendiri.

Hati-hati, lho guys… biasanya psikopat itu penyakit genetik, jadi kemungkinan si Aya juga bisa kumat mendadak dan membantai kita semua!

Ih, kalau aku jadi mereka mendingan aku pindah ke ujung dunia deh, katanya ini sampai disiarkan ke saluran berita seluruh negara asing!

Untungnya Amanda dan segelintir teman-teman yang lain masih bersikap normal di sekitarku. Amanda juga dengan jujur bercerita bahwa orangtuanya sebenarnya melarang keras dia bergaul denganku, namun dia tidak begitu memperdulikan mereka. Aku sempat sebal mendengarnya, tapi pada akhirnya merasa maklum juga, karena siapa yang mau anaknya bergaul dengan keluarga kriminal? Aku sudah tidak bisa bergaul lagi dengannya selain di dalam rumahku dan aku dilarang pergi ke rumahnya. Masalahnya tidak ada seorang teman dekatku yang betah lagi setiap berkunjung ke rumahku sekarang.

Suasana rumah yang tadinya penuh canda tawa dan kebahagiaan, kini dipenuhi dengan suara pertengkaran Ayah dan Ibuku yang berlangsung hampir setiap hari, saling menyalahkan tentang insiden ini. Tari yang tadinya adalah anak yang periang dan menggemaskan kini menjadi super pendiam dan selalu menangis apabila orangtua kami mulai bertengkar. Ibuku bahkan sudah tidak perduli dengan kami, dia hanya banyak berdiam di dalam kamar tidur sementara Ayahku tidur di ruang tengah. Sudah tidak ada lagi komunikasi antara kami sekeluarga saat ini, semua lebih sibuk mengurus dirinya masing-masing.

Seisi rumah sudah seperti kapal pecah, dipenuhi dengan setumpuk piring kotor dan juga cucian kotor. Pihak keluarga besar sebenarnya masih menerima kami dengan tangan terbuka, namun sepertinya orangtuaku malah menutup diri menolak kedatangan dan hanya mengizinkan segelintir dari mereka datang untuk membantu mengurus keluarga kami. Salah satunya adalah kakak perempuan dari Ibuku, Bibi Tiara dan suaminya Oom Bimo yang juga merupakan seorang jurnalis senior.

Bi Tiara bagaikan sebuah pelangi bagiku di tengah semua badai yang kacau ini. Dia membantu memasak, mencuci, dan membersihkan rumah, sampai mengajak aku dan Tari berjalan-jalan keluar dari rumah hanya untuk penyegeran dari semua kegilaan ini. Bibiku sebenarnya tinggal di Ibukota, namun setelah kejadian ini dia sering pulang pergi bergantian antara tinggal ditempatku atau tempatnya sendiri. Dia juga yang menjagaku dan Tari ketika Ayah dan Ibuku pergi menjenguk Surya di penjara yang berada jauh sekali dari tempatku tinggal dan harus menginap. Ayahku tidak pernah mengizinkan aku ikut untuk menjenguk Surya, dan aku malah bersyukur akan hal itu karena tidak ada perasaan lain selain benci dan dendam untuknya dariku saat ini, dan sepertinya itu tidak akan berubah sampai kapanpun. Keegoisannya sudah membuat keluargaku dan keluarga orang lain hancur, dan aku tidak akan memaafkannya sampai aku mati.

Akhirnya segera setelah aku lulus dari SMU, seluruh keluargaku pindah dari kota ini ke Ibukota yang juga merupakan tempat tinggal bibi dan pamanku, untuk memulai hidup baru. Oom Bimo membantu Ayah mencari pekerjaan baru di sebuah rumah sakit yang tidak terlalu besar, sementara Ibuku mencoba menjalani bisnis kuliner Bersama dengan Bi Tiara yang sudah terlebih dahulu berada di bidang ini. Aku yang kebetulan memang sengaja menunda kuliah membantunya mengurus Tari yang masih kecil dan mengurus rumah yang kini tanpa asisten karena kondisi keuangan kami yang jauh berkurang. Rumah lama kami dan semua aset yang kami punya di kota S dijual dan uangnya sebagian dibelikan untuk rumah yang sekarang dan sebagian lainnya diberikan untuk keluarga korban sebagai uang ganti rugi. Kami tidak punya apa-apa lagi sekarang selain satu sama lain dan rumah baru yang jauh lebih kecil dari yang kami punya sebelumnya.

Untungnya, setahun pertama pindah keadaan kami menjadi jauh lebih baik. Ayah yang tadinya menganggur lama dan selalu marah-marah, kini tampak jauh lebih bahagia ketika bekerja kembali di rumah sakit sebagai seorang dokter. Bukannya aku sombong, tapi ayahku memang seorang dokter yang sangat ahli sehingga pihak rumah sakit yang sekarang tidak terlalu keberatan dengan keberadaannya, meski dia sekarang tidak punya banyak teman karena semua orang masih merasa enggan dan takut. Untungnya dia juga tidak memperdulikan hal itu dan tidak lagi merasa depresi dan menjadi lebih fokus, bahkan mulai berkomunikasi lagi dengan Ibuku.

Aku sering melihat dia berdiskusi panjang lebar dengan Oom Bimo di rumah kami dan sepertinya aku pernah mencuri dengar nama Surya sekali dua kali disebut. Ayah tampak bersemangat sekali setiap mendiskusikan itu, namun aku tidak pernah tahu persis apa yang mereka bicarakan karena aku hanya mendengar ketika Ibu menyuruhku menyuguhkan minuman untuk mereka berdua dan segera pergi setelahnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi tetapi ini membuat kualitas hidup kami mengingkat jauh.

Aku sebenarnya ingin tahu apa yang mereka bicarakan, tapi tidak terlalu karena yang paling penting adalah tidak ada lagi suara pertengkaran orangtuaku, Tari kembali mulai menjadi anak yang ceria, dan seisi rumah sudah mulai dipenuhi tawa dan gurauan lagi. Keadaan yang mulai normal ini membuatku mengutarakan niatku kepada orangtuaku untuk mendaftar kuliah setelah cuti setahun, dan mereka setuju.

Seolah-olah dewi Fortuna masih terus berpihak kepadaku, secara mengejutkan setelah berbulan-bulan akhirnya pihak media online dan televisi tiba-tiba berhenti total membicarakan insiden Surya. Cukup aneh karena kejadian naas itu adalah sesuatu yang sangat luar biasa dan mungkin pertama kalinya terjadi di negara ini. Jujur saja, kondisi ini sempat membuatku bahagia dan optimis dan berpikir mungkin saja keluargaku akan bisa mengatasi badai ini dan kembali diterima di masyarakat. Aku bahkan berniat mendaftar ke universitas yang sama dengan Amanda yang telah duluan berkuliah disana. Kami tetap berteman baik dan terus berkomunikasi meski hanya lewat ponsel, karena sudah hidup di lain kota.

Aku sudah yakin sekali idupku mulai berubah kearah yang lebih baik. Namun tentu saja aku salah.

Baru saja memasuki bulan Maret di tahun kedua setelah insiden, dimana aku sedang bersiap-siap untuk kembali kuliah, kami menerima sebuah berita mengejutkan sekaligus meremukkan hati, Ayahku dikabarkan meninggal karena kecelakaan di jalan tol. Kami diberitahu bahwa mobil yang dikendarainya sepulang dari seminar menabrak pembatas jalan beton begitu kencangnya sehingga bagian depan badan mobil sampai hancur, diduga Ayah terlalu lelah untuk menyupir mobil tapi memaksa karena dia ingin cepat sampai di rumah.

Kematian Ayah membuat kesehatan Ibuku kembali menurun drastis sehingga harus bolak-balik dirawat di rumah sakit dan akhirnya dia menyusul Ayahku kurang dari enam bulan setelahnya.

Bibi Tiara dan Oom Bimo akhirnya menjadi waliku dengan Tari, dan memperbolehkan kami tinggal bersama mereka karena anak mereka satu-satunya, Timo, sudah berkuliah di kota lain saat itu. Atas desakan Oom Bimo aku mendaftar kuliah setelah aku kembali cuti demi merawat Ibuku yang kini telah tiada. Dia menganggapku sudah terlalu banyak berkorban demi orang lain dan saatnya mengejar cita-citaku sendiri.

Aku merasa tidak enak terus menyusahkan paman dan bibiku karena kondisi keuangan mereka sebenarnya tidak lebih bagus dari mendiang Ayahku. Semua uang warisan dan asuransi jiwa Ayahku memang cukup untuk biaya pendidikan dan operasional aku dan Tari, namun selebihnya pamanku yang menanggung. Apalagi Tari masih kelas 1 SD saat itu dan harus menghadapi gelombang demi gelombang tragedi yang terjadi pada kami. Bibiku sampai harus mempercayai bisnisnya kepada keluarga yang lain karena fokus membesarkan Mentari dan membawanya ke psikiater anak untuk menangangi pasca trauma yang dialaminya dua.

Lamunanku buyar ketika kudengar nada dering di ponselku, rupanya Mentari yang menelepon. Pasti dia akan panik dengan apa yang baru saja terjadi denganku di hotel. Benar saja, 10 menit pertama percakapan kita didominasi dengan Tari yang menanyakan secara membabi-buta tentang detail insiden cat itu dan bagaimana keadaanku sekarang, dan aku malah yang berusaha menenangkan dia.

"Dasar wanita gila! Mestinya kita lapor polisi!" ujarnya dengan nada emosi.

"Sebenarnya setelah kupikir-pikir ulang kita juga sih yang salah sudah mengkomersialkan kematian anaknya." Balasku sambil rebahan di tempat tidur.

"Ya ampun, tapi sudah 10 tahun! Padahal sebagian besar uang hasil penjualan aset ayah sudah dibagi-bagikan ke keluarga yang anaknya menjadi korban meninggal dan luka. Belum cukup juga?!" lanjutnya emosi, "Kurang apa bagi dia melihat keluarga hancur dan orangtua kita meninggal?"

Aku menghela nafas, tidak ada gunanya memberikan sanggahan apapun kalau adikku yang sekarang sudah duduk di bangku SMU itu sedang marah-marah, aku harus membiarkannya tenang dulu.

Anehnya, semua perasaan marah yang tadi kupendam di dalam hati hilang ketika aku mendengar Tari meluapkan emosinya kepadaku seolah-olah adikku itu meresap semua kemarahan yang ada di hatiku. Entahlah, mungkin ini semacam tipuan psikologi.

"Pokoknya Mbak nggak kenapa kenapa kan?" akhirnya dia bertanya hal yang penting setelah berkoar-koar panjang lebar.

"Bekas catnya masih ada meski sudah sangat memudar, tapi untung saja enggak kena rambut. Kebayang nggak membersihkannya serepot apa?"

"Iya sih, tapi benar nggak mau lapor polisi?"

"Ah, sepertinya tidak akan sebanding dengan repotnya dan takutnya juga nanti malah jadi bad publication. Kupikir kasihan juga dengan ibu itu, anak satu-satunya meninggal gara-gara saudara kita yang tidak waras."

Mentari terdiam selama beberapa detik dan saat itulah aku menyesali perkataanku. Mestinya aku jangan bawa-bawa nama si Surya.

Adikku itu memang salah satu orang yang tidak percaya kalau Surya bisa melakukan perbuatan setega itu, dia berkali-kali meyakinkanku bahwa kakak laki-lakinya itu terlalu baik untuk bisa berbuat hal jahat seperti itu. Aku yang sudah muak dengan apapun yang berhubungan dengan Surya selalu menyuruhnya berhenti berbicara kalau sudah memasuki topik keramat tersebut.

"Apapun yang mau kamu katakan Tari, STOP. Aku minta maaf sudah menyebut Surya tidak waras, aku tarik kembali kata-kataku." Aku terpaksa berbohong demi menyudahi percakapan ini sesegera mungkin.

Aku sudah lama sekali tidak bertemu dengan Surya, dua kali pertemuan terakhirku dengan dia adalah ketika pemakaman Ayah dan Ibuku dan kami tidak berbicara sama sekali meski aku sempat merasa kasihan melihat dia yang sekarang sangat kurus dan diapit dua orang polisi.

Sedang Tari selalu menjenguk Surya bersama paman dan bibiku menggantikan kedua orangtua kami setelah mereka tiada. Mungkin dari situlah dia dipengaruhi oleh Surya sehingga bisa mengembangkan teori-teori konspirasi konyol ini.

Surya diadili setelah Ibuku meninggal, dan hanya paman dan bibiku yang menghadirinya. Dia divonis bersalah dan dihukum seumur hidup.

"Oke, aku minta maaf juga sudah membawa namanya. Memang sudah saatnya aku move on, kok." Jawab Tari. Tumben dia mengalah secepat ini, mungkin dia juga merasa lama-kelamaan teorinya tidak masuk akal juga.

"Baguslah kalau begitu. Ini sudah lewat tengah malam, sebaiknya kamu tidur."

"Oh iya," lanjut Mentari, "Mbak sudah tahu?"

"Apa lagi?"

"Si Alex ternyata sudah setahun terakhir ada kota ini. Barusan saja Oom Bimo memberitahu kalau dia beberapa hari lalu ditangkap polisi karena membawa kendaraan sambil mabuk dan menabrak beberapa orang yang sedang makan di pinggir jalan."

"Apa? Kok tidak terdengar gaung-gaung beritanya?" balasku kaget.

"Yah, dia kan anak bos! Pasti ditutup tutupi lah. Coba saja tanya ke Mas Timo, dia kan polisi, pasti tahu sesuatu." Ujarnya, "katanya selama di USA dia lepas kendali konsumsi obat-obatan dan alkohol sampai bolak balik masuk rehab. Biarin saja! Akibat jahat sama Mbak, tuh…"

Dia berceloteh lagi selama beberapa menit, akhirnya kami menghentikan pembicaraan karena aku memaksa dia untuk tidur.

Setelah meutup telepon dengan Tari aku merenung beberapa menit, sampai detik ini aku tidak pernah memikirkan Alex dan tiba-tiba saja mendapatkan kabar mengejutkan tentangnya membuatku tidak bisa berpikir. Lelaki sependiam itu bisa melakukan hal-hal liar seperti ini?

Tentu saja dalam lubuk hatiku sempat ada rasa senang mendengar dia menderita setelah meninggalkanku, tapi juga ada rasa sedih karena orang ini pernah dekat denganku.

Ah, sudah lupakan sajalah lelaki tidak berguna itu! Fokus kepada yang kupunya. Aku kembali melihat layar ponselku, menuju ke nama Satria, apa aku harus meneleponnya sekarang? Kejadian ini membuatku bingung harus berkata apa pada dia. Fakta bahwa ternyata seorang ibu masih menyimpan dendam pada keluargaku setelah 10 tahun berlalu cukup membuka mataku tentang tunanganku itu.

Ayah dari Satria yang juga Ketua Yayasan dari SMP dimana Surya bersekolah, merupakan salah satu dari korban tewas ketika insiden terjadi. Ini yang membuatku jadi takut untuk menikahinya sekarang.

Bagaimana kalau ternyata dia sengaja mendekatiku untuk membalas dendam?