Dua hari setelah ulang tahun Hei Xian, hari itu pun tiba. Di dalam pondok kecilnya, Hei Xian berdiri di depan cermin tua yang menggantung di dinding. Matanya memancarkan semangat yang gelap dan misterius, dengan tubuh mudanya yang lebih enerjik dan kuat.
"Teknikku kembali… sedikit lebih baik kondisi tuaku. Walau belum sekuat saat primaku. Tapi siapa yang butuh sempurna kalau kegilaan sudah cukup untuk membuat mereka ketakutan?
Ia menarik napas dalam, mengepalkan tangannya untuk merasakan aliran Qi yang hanya sedikit kemajuan. Satu-satunya hal yang mengecewakan di sini. Meski tubuh barunya masih memiliki batasan, tapi itu tidak mengurangi senyum di wajahnya.
"Hari perebutan pewaris... Awalnya aku cukup bersemangat, tapi setelah apa yang saudara atau saudari lakukan di hari ulang tahunku, aku menjadi semakin bersemangat. Betapa menarik dan bikin deg-degan membayangkan wajah mereka saat aku menghancurkan mereka nanti." Senyum Hei Xian melebar.
Kediaman utama keluarga Hei hari ini dipenuhi oleh tamu-tamu penting. Para sekutu dan rival keluarga Hei datang untuk menyaksikan momen ini, di mana anak-anak kepala keluarga akan bersaing memperebutkan hak waris dan pengakuan sebagai pewaris utama.
"Betapa konyolnya mereka… berkumpul untuk menyaksikan kekuatan yang mereka pikir mereka miliki. Aku hanya perlu memainkan kartuku dengan tepat." ia melihat dari kejauhan.
Di halaman besar keluarga Hei, arena terbuka telah disiapkan. Lapangan itu dikelilingi oleh para tamu dan anggota keluarga lain, semuanya duduk di tempat yang telah ditentukan sesuai status mereka. Di tengah-tengah, kepala keluarga Hei duduk dengan angkuh, memandang anak-anaknya dengan tatapan tajam.
Ketika orang-orang penting sudah tiba, kepala keluarga bangkit dari kursinya. Ia meraih sebuah gelas dan mengetuknya dengan sendok untuk menarik perhatian orang di tempat itu. Seketika suasana langsung menjadi sunyi. Semua mata mengarah kepada kepala keluarga.
"Hari ini adalah awal dari babak baru bagi keluarga Hei. Siapa yang akan menjadi pewaris harus membuktikan dirinya, baik dalam kekuatan, kecerdasan, maupun keberanian. Tidak ada belas kasihan. Yang terbaik akan menang."
Kata-katanya diiringi oleh sorakan dan tepuk tangan dari para tamu. Mereka yang menjadi bagian sekutu keluarga Hei, langsung menyambut dan berbincang-bincang dengan kepala keluarga. Disisi lain ada utusan dari keluarga saingan yang hanya diam di tempatnya saja. .
Ketika semua peserta—saudara-saudara Hei Xian—mulai melangkah ke tengah arena, perhatian mereka segera beralih ke pintu masuk.Hei Xian berjalan perlahan, dengan langkah penuh percaya diri, meski tubuhnya masih terlihat kurang jika dibanding saudara-saudaranya. Matanya penuh dengan keyakinan dan kilatan kegilaan yang sulit disembunyikan.
"Mereka pasti berpikir aku hanya akan jadi boneka untuk mereka injak. Tunggu saja." ucap Hei Xian pelan namun tidak sabar.
Tawa kecil terdengar dari beberapa saudara laki-laki Hei Xian, termasuk kakak tertuanya yang tampak paling dominan.
"Jadi, si bungsu akhirnya muncul? Aku pikir kau akan bersembunyi di pondokmu sampai semua ini selesai. Tapi tidak apa-apa, aku akan memastikan kau keluar dari arena ini dalam satu bagian… atau mungkin dua." ucap Hei Bao, kakak tertua.
Sorakan dari para tamu bergema, menambah tekanan di sekitar Hei Xian. Tapi dia hanya tersenyum tipis, tidak terpengaruh sedikitpun oleh ejekan itu.
"Bersoraklah selagi bisa. Aku sudah lama menunggu hari ini."
Saat tawa dan sorakan para tamu masih menggema di sekitar arena, Hei Xian berjalan lebih dekat ke tengah lapangan. Ia tidak tergesa-gesa, langkahnya santai namun penuh kepastian, seperti seseorang yang tahu bahwa semua mata tertuju padanya.
Ketika kakak tertuanya selesai berbicara, Hei Xian mengangkat tangan sedikit, memberi isyarat agar semua diam. Tindakan itu, yang terlihat sederhana namun penuh percaya diri, berhasil membuat arena perlahan-lahan hening. Semua orang menunggu apa yang akan ia katakan.
"Kakakku yang terhormat, para tamu yang mulia, dan kalian semua yang bersedia duduk di sini untuk menyaksikan… apa ya sebutannya? Oh, ya—sebuah pertunjukan."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kalimatnya menggantung di udara. Matanya menyapu seluruh kerumunan, menikmati ekspresi wajah yang mulai bingung.
"Pertunjukan yang, bagi sebagian besar dari kalian, adalah tempat para singa berlomba menunjukkan taring mereka. Tapi untukku… ini hanyalah taman bermain kecil. Tidak, tunggu. Bukan taman bermain. Ini lebih seperti panggung. Ya, panggung di mana aku adalah aktornya, dan kalian semua adalah… penontonnya."
Beberapa saudara-saudaranya mulai melirik satu sama lain, wajah mereka mencerminkan rasa bingung dan tertawa kecil. Sementara tamu-tamu mulai berbisik, tidak yakin apakah Hei Xian sedang bercanda, serius, atau hanya benar-benar kehilangan akalnya.
"Aku datang bukan untuk menjadi singa seperti kalian. Aku datang untuk menjadi bulan di malam yang gelap. Tenang, tapi menghancurkan. Kau tahu apa yang menarik dari bulan? Kau tidak pernah tahu kapan ia penuh, dan kapan ia hilang." lanjut Hei Xian dengan nada menyindir
Hei Xian tertawa kecil, menatap langsung ke kakak tertuanya dengan pandangan yang membuat pria itu berhenti tersenyum.
"Jadi, kau ingin aku keluar dari arena ini dalam satu bagian? Oh, kakak tersayang, aku sudah keluar dari neraka dalam ribuan bagian. Hari ini, aku hanya datang untuk mengumpulkan kepingan yang kau tinggalkan."
Kerumunan mulai berisik. Beberapa tamu terkejut mendengar ucapan Hei Xian, sementara yang lain tampak kebingungan, tidak tahu apakah dia sedang bersikap sarkastis atau benar-benar serius.
"Dia benar-benar aneh. Apa maksud dari semua ini?"
"Aku merasa ada yang berbeda dari tuan muda sekarang. Kurasa kurasa ia kehilangan sekrup di kepalanya."
Bahkan kepala keluarga Hei tampak mengangkat alis, sedikit terkejut dengan keberanian putra bungsunya ini. Sosok pengecut dan payah yang selama ini menjadi darah dagingnya. Di sisi lain, kakak tertua, yang biasanya sangat tenang, mulai menunjukkan sedikit rasa kesal.
"Ah, betapa indahnya wajah-wajah mereka. Bingung, takut, terkejut, dan beberapa bahkan mencoba terlihat percaya diri. Aku bisa melakukan ini sepanjang hari." ucapnya sembari menatap langit malam.
Tapi Hei Xian tahu ini baru permulaan. Kata-katanya hanyalah langkah awal untuk menanamkan kegelisahan di hati mereka. Ia ingin menikmati permainan ini lebih lama sebelum akhirnya menunjukkan giginya.
Setelah melihat wajah-wajah bingung dan penuh keraguan dari saudara dan pengunjung, Hei Xian mengalihkan pandangannya ke arah kepala keluarga Hei yang duduk di kursi kehormatan. Sosoknya terlihat tenang dan angkuh, namun tatapan matanya menunjukkan sedikit tanda penasaran terhadap tingkah putra bungsunya.
Hei Xian menyeringai kecil, lalu membungkukkan sedikit tubuhnya seolah ingin menghormati, tapi caranya yang berlebihan justru membuat gestur itu terasa sarkastis.
"Ayah yang terhormat, betapa senangnya aku melihatmu dalam keadaan sehat dan masih penuh semangat… memerintah rumah ini dari kursi yang begitu nyaman." Hei Xian terhenti sejenak, membiarkan kalimat itu tenggelam di udara.
Suara bisikan dari para tamu mulai terdengar lagi, sementara kepala keluarga Hei tetap diam, hanya menatap Hei Xian dengan mata yang tajam.
"Kau tahu, aku sering bertanya-tanya… bagaimana rasanya duduk di tempat itu, memandang rendah semua orang di sekitarmu. Betapa menariknya menjadi pusat dari kekacauan kecil ini. Tapi kau tahu apa yang lebih menarik? Menjadi orang yang menciptakan kekacauan itu." Wajahnya menunjukan senyum kecil yang terkesan mengejek.
"Berani sekali dia berbicara seperti itu kepada kepala keluarga."
"Dia benar-benar tidak tahu tempatnya, atau mungkin… dia tahu terlalu banyak."
Kerumunan menjadi berbincang mendengar ucapan Hei Xian itu. Kepala keluarga Hei akhirnya mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. Suara bisikan segera mereda, dan ia menatap Hei Xian dengan tatapan tajam yang sulit diartikan.
"Xian, putraku… Aku tidak tahu apakah ini keberanian atau kebodohan yang kau tunjukkan hari ini. Tapi aku menghargai semangatmu untuk membuat suasana ini lebih… menarik." balasnya dengan nada tajam
"Tentu saja, Ayah. Aku hanya ingin memastikan semua orang mendapatkan hiburan yang layak. Lagi pula, apa gunanya sebuah kompetisi tanpa sedikit drama?" Hei Xian berbicara pada para kerumunan.
Hei Bao mulai terlihat semakin tidak nyaman dan kesal. Ejekannya sebelumnya kini terasa hambar, terutama setelah melihat bagaimana Hei Xian berani berbicara langsung dengan kepala keluarga. Saudara-saudara lainnya mulai saling melirik, bingung dengan apa yang sebenarnya direncanakan oleh si bungsu ini.
"Ah, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Lihat bagaimana mereka bingung. Aku bisa merasakannya dari sini."
Setelah ucapan terakhirnya, Hei Xian memutuskan untuk berhenti berbicara. Ia berdiri tegak di tengah arena, dengan ekspresi yang santai dan senyum tipis yang penuh arti. Pandangannya menyapu kerumunan, seolah-olah dia menikmati setiap detik ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh kehadirannya.
"Cukup untuk sekarang. Biarkan mereka berpikir dan bingung. Pertunjukan sebenarnya belum dimulai."