Setelah lebih dari tiga bulan berlatih di kedalaman hutan terlarang, Lian Chen merasakan perubahan yang mendalam pada tubuhnya. Ia merasa seolah-olah tubuhnya telah menyatu dengan energi liar di sekitarnya, mengalir dengan bebas dan penuh kekuatan. Setiap jurus yang ia latih terasa semakin hidup, seolah bukan hanya teknik, melainkan bagian dari dirinya. Setiap gerakan, setiap langkah, setiap serangan, semua terasa sempurna dan alami, berbaur dengan alam sekitar. Meditasi mendalamnya mengungkapkan pemahaman baru tentang kultivasi. Semakin tinggi tingkatan kultivasi, semakin besar kekuatan yang bisa ia hasilkan. Kekuatan itu bukan hanya terbatas pada teknik, tetapi juga pada pemahaman energi yang mengalir di dalam dirinya.
Dua jurus baru yang muncul dari batu pusaka langit kini mulai ia pahami lebih dalam. Jurus pertama adalah Sentilan Kehampaan (Void Flick), sebuah teknik yang memanfaatkan kekuatan energi yang sangat halus dan mematikan. Sebuah sentilan kecil yang tampaknya tak berbahaya mampu menghasilkan gelombang energi yang menghancurkan objek-objek di sekitar, bahkan dari jarak jauh. Gelombang energi ini tidak hanya menghancurkan fisik lawan, tetapi juga bisa menembus batas ruang dan waktu, menyelimuti musuh dalam kehampaan yang mengerikan.
Jurus kedua adalah Auman Langit Menggelegar (Heavenly Roar), sebuah teknik suara yang memanfaatkan kekuatan energi jiwa. Ketika Lian Chen memusatkan energi jiwa dan melepaskannya dalam bentuk auman, gelombang suara itu bergema dengan kekuatan yang luar biasa. Suara yang dihasilkan bukan hanya sekedar bunyi, tetapi juga mampu menghancurkan konsentrasi lawan, melumpuhkan mereka, bahkan membuat jiwa mereka berguncang hebat. Auman tersebut mampu merobek keheningan, menciptakan kekacauan dan rasa takut yang mendalam bagi siapa pun yang mendengarnya.
Lian Chen tidak hanya berlatih kedua jurus ini, namun juga terus menyempurnakan Langkah Tanpa Jejak dan Pukulan Energi Tanpa Batas. Kedua jurus ini sudah menjadi bagian dari dirinya, dan ia merasa setiap kali menggunakannya, ia seolah-olah menyatu dengan alam. Langkahnya semakin tak terdeteksi, gerakannya semakin cepat dan ringan. Pukulan Energi Tanpa Batas pun semakin mematikan, memanfaatkan energi murni yang tak terbatas untuk menghancurkan segala hal yang menghalanginya. Semua teknik itu kini seolah mengalir dalam darahnya, tak lagi terasa seperti latihan, melainkan sebuah kebutuhan alami.
Namun, meskipun ia semakin kuat, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang terasa seperti panggilan, sebuah getaran halus yang datang dari kedalaman hutan. Di tengah malam, saat ia duduk dalam meditasi untuk memperdalam pemahamannya tentang jurus-jurus baru yang telah ia pelajari, getaran itu datang dengan begitu kuat. Bukan hanya tubuhnya yang merasakannya, namun jiwa dan pikirannya ikut diguncang. Rasanya seperti ada sesuatu yang memanggilnya, memintanya untuk melangkah lebih jauh ke dalam hutan.
Lian Chen tidak ragu. Ia segera membuka matanya, menahan sejenak kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya, dan mulai berjalan ke arah sumber getaran itu. Semakin dalam ia melangkah, semakin pekat kabut yang mengelilinginya. Suara-suara aneh terdengar mengalun dari kejauhan, seolah-olah hutan itu sendiri hidup dan mengamati setiap gerakan yang ia lakukan. Udara semakin dingin, dan pohon-pohon besar di sekelilingnya seolah merunduk, menutupi jalan yang akan ia lalui.
Selama satu hari penuh ia berjalan, melintasi daerah-daerah yang semakin asing. Setiap langkahnya terasa seperti menguji tekad dan ketahanan tubuhnya. Tumbuhan yang tumbuh di sekitarnya tampak berbahaya, dengan duri-duri yang menjulang tinggi dan akar-akar yang bisa bergerak. Namun, Lian Chen tidak gentar. Ia terus melangkah, dipandu oleh getaran energi yang semakin kuat.
Akhirnya, setelah perjalanan yang panjang, ia tiba di sebuah tempat yang sunyi. Di tengah kegelapan yang menyelimuti hutan, sebuah kuil kuno muncul di hadapannya, seolah-olah baru saja muncul dari kabut itu sendiri. Kuil tersebut berdiri megah, dikelilingi oleh medan energi pembatas yang memancarkan cahaya keemasan. Dinding kuil penuh dengan ukiran simbol-simbol yang tampak seperti mantra dan formasi energi yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Namun, meskipun begitu, ada rasa misteri yang sangat kuat di tempat ini, sesuatu yang mengundang rasa ingin tahu yang tak bisa diabaikan.
Lian Chen mendekat, mencoba merasakan lebih dalam energi yang ada di sekitarnya. Namun, begitu ia menyentuh pembatas energi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pembatas energi itu berkilauan dengan cahaya emas yang memantul, menolak keberadaannya. Setiap kali Lian Chen mencoba menembusnya dengan kekuatannya, tubuhnya merasa terhimpit, seolah-olah ada tekanan luar biasa yang menahannya.
"Apakah ini ujian lain dari Pusaka Langit?" pikir Lian Chen dalam hati, memandang pembatas itu dengan penuh ketegasan. Ia mencoba menggunakan kekuatan tubuh dan jiwanya untuk menembus pembatas, namun setiap usaha yang ia lakukan hanya membuat energi pembatas itu semakin menekan tubuhnya. Tubuhnya mulai terluka karena tekanan itu, namun ia tetap berdiri dengan penuh tekad. Ia tahu bahwa jika ia menyerah di sini, semua yang telah ia capai akan sia-sia.
Saat itulah batu pusaka langit yang berada di dalam tubuhnya mulai beresonansi. Energi yang mengalir dalam tubuhnya terasa semakin kuat, menjalar melalui setiap pori tubuhnya. Sebuah gelombang energi lembut namun tak terbendung melingkupi tubuhnya. Energi ini menyatu dengan pembatas yang menahan dirinya, menciptakan resonansi yang semakin kuat. Pembatas energi yang tadinya keras dan tak tertembus mulai bergetar, dan dalam sekejap, pembatas itu hancur, lenyap seolah-olah tidak pernah ada.
Dengan hati-hati, Lian Chen melangkah masuk ke dalam kuil kuno itu. Di dalam, udara terasa sangat padat, setiap inci udara dipenuhi dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Energi yang memancar dari dalam kuil itu begitu kuat, seolah-olah setiap sudut tempat itu dipenuhi dengan kekuatan kuno yang menyelimuti seluruh ruang.
Di ujung aula utama, sebuah altar besar berdiri dengan megah, memancarkan cahaya lembut yang menciptakan atmosfer penuh misteri. Namun, sebelum melangkah lebih dekat, Lian Chen memutuskan untuk memeriksa keseluruhan kuil terlebih dahulu. Ia tahu bahwa tempat sebesar ini, dengan medan pembatas yang begitu kuat, pasti menyimpan lebih dari sekadar altar.
Langkah-langkahnya menggema di aula utama yang luas. Udara di dalam ruangan terasa berat, tetapi tidak mengintimidasi. Sebaliknya, ada kehangatan yang aneh, seperti pelukan dari energi kuno yang ramah namun penuh kewaspadaan. Dinding-dinding kuil dipenuhi ukiran yang tampak seperti mantra-mantra kuno, membentuk pola-pola yang rumit. Sebagian besar simbol itu tidak dikenalnya, tetapi ada beberapa yang tampak akrab—seperti simbol yang pernah ia lihat di dalam batu pusaka langit.
"Apakah kuil ini juga bagian dari warisan pusaka langit?" pikir Lian Chen sambil menelusuri ukiran-ukiran tersebut dengan jarinya. Energi yang mengalir dari ukiran terasa seperti denyut jantung hidup, seolah-olah tembok-tembok itu menyimpan memori dari masa lalu.
Di sisi kanan aula, Lian Chen menemukan pintu besar yang terbuat dari batu hitam mengilap. Pintu itu dihiasi dengan ukiran naga dan burung phoenix yang tampak saling melingkar. Ia mendorong pintu tersebut, dan suara gemuruh berat terdengar saat pintu perlahan terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan yang lebih kecil di dalamnya.
Ruangan itu tampak seperti tempat meditasi. Di tengahnya terdapat lima pilar kristal yang memancarkan cahaya redup, masing-masing dalam warna yang berbeda: merah, biru, hijau, kuning, dan putih. Setiap pilar terasa memancarkan energi unik, seperti elemen-elemen alam yang terkonsentrasi. Di dasar masing-masing pilar terdapat prasasti kecil yang tampaknya ditulis dalam bahasa kuno.
Lian Chen mendekati salah satu pilar, pilar biru, dan menyentuhnya dengan hati-hati. Seketika, sebuah getaran lembut menjalar melalui tubuhnya, diikuti oleh kilasan visi. Ia melihat laut yang tak berujung, gelombang besar yang menghantam pantai, dan seorang pria tua yang berdiri di atas air, memanipulasi arus dengan satu gerakan tangannya.
"Apakah ini jejak kekuatan para kultivator zaman kuno?" gumamnya.
Setelah menyentuh pilar-pilar lainnya, ia menyadari bahwa masing-masing pilar mewakili elemen: api, air, angin, tanah, dan cahaya. Namun, energi dari pilar-pilar ini terasa belum lengkap, seperti hanya sisa dari kekuatan yang pernah ada.
Ia meninggalkan ruangan itu dan melanjutkan eksplorasi. Di sisi kiri aula utama, ia menemukan tangga spiral yang menuju ke lantai bawah. Tanpa ragu, ia menuruni tangga itu, yang diterangi oleh cahaya samar dari kristal-kristal kecil yang tertanam di dinding.
Di bawah, ia menemukan sebuah ruangan yang sangat berbeda dari aula utama. Ruangan ini dipenuhi patung-patung kuno, masing-masing menggambarkan sosok yang tampak seperti kultivator. Mereka berdiri dalam berbagai pose, dengan ekspresi wajah yang beragam—dari ketenangan hingga keganasan. Setiap patung memancarkan aura yang berbeda, seolah-olah jiwa para kultivator tersebut masih terikat pada patung-patung ini.
Di tengah ruangan, sebuah patung besar berdiri lebih tinggi dari yang lainnya. Sosoknya memegang pedang panjang yang diangkat ke langit, sementara matanya yang terukir tampak menatap langsung ke arah Lian Chen. Pedang itu memancarkan kilauan samar, meskipun terbuat dari batu.
Lian Chen mendekati patung besar itu. Saat ia berdiri di hadapannya, ia merasakan tekanan besar yang menyelimuti tubuhnya, seperti diuji oleh pandangan patung tersebut. Sebuah suara bergema di dalam pikirannya, suara berat yang dalam:
"Apakah engkau layak untuk melangkah lebih jauh?"
Lian Chen menggertakkan giginya, menguatkan tubuh dan pikirannya untuk menahan tekanan itu. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, tekanan itu menghilang, dan patung tersebut memancarkan cahaya yang lembut.
Dari dasar patung, sebuah bola kecil keluar, melayang ke arah Lian Chen. Bola itu transparan, dengan kilauan emas di dalamnya. Ia meraihnya dengan hati-hati, dan seketika itu juga, bola tersebut larut ke dalam tubuhnya, memancarkan energi yang hangat namun kuat.
"Apa ini? Apakah ini semacam kunci atau warisan?" pikirnya. Namun, sebelum ia sempat merenungkan lebih jauh, sebuah pintu rahasia terbuka di belakang patung besar itu, memperlihatkan lorong lain yang tampaknya menuju ke ruangan berikutnya.
Kembali ke aula utama, ia melihat altar besar yang memancarkan cahaya lembut, seolah-olah menunggu dirinya menyelesaikan eksplorasi. Namun, ia tahu bahwa altar itu tidak akan ke mana-mana. Dengan hati penuh tekad, ia melangkah menuju lorong rahasia di bawah patung besar itu.
Lorong itu lebih panjang dari yang ia duga, dan di ujungnya, ia menemukan sebuah ruang kecil yang dipenuhi oleh buku-buku dan gulungan kuno. Rak-rak tinggi menjulang di sekeliling ruangan, dan di tengahnya, sebuah meja batu sederhana berdiri. Di atas meja itu, terdapat sebuah gulungan yang tampak lebih baru dibandingkan yang lainnya.
Lian Chen membuka gulungan itu dengan hati-hati. Tulisan di dalamnya tampak kuno, namun sebagian dari kata-katanya bersinar, seperti dirancang untuk hanya dapat dibaca oleh seseorang yang memiliki hubungan dengan pusaka langit.
"Warisan Langit hanya terbuka bagi mereka yang memahami harmoni antara tubuh, jiwa, dan alam. Setiap jejak di tempat ini adalah petunjuk menuju kekuatan yang melampaui batas. Namun, kekuatan ini harus disertai kebijaksanaan dan keteguhan hati, atau kehancuran akan menjadi satu-satunya hasil."
Lian Chen membaca kalimat itu dengan serius. Ia memahami bahwa kuil ini bukan hanya tempat untuk meningkatkan kekuatan, tetapi juga ujian untuk dirinya. Apa pun yang menantinya di altar utama, ia harus mempersiapkan diri sepenuhnya.
Ia kembali ke aula utama, berdiri di depan altar besar yang memancarkan cahaya lembut itu. Dengan napas yang teratur dan hati yang penuh tekad, ia melangkah maju, siap untuk menerima rahasia yang akan mengubah hidupnya.