Sejak pertemuannya dengan Naya, Alif merasa dunianya bergetar dengan cara yang tak terduga. Mereka mulai berbagi cerita, saling membongkar lapisan-lapisan yang selama ini tertutup rapat. Naya bukan hanya sekadar teman; dia adalah cermin yang memantulkan ketakutan dan keraguan yang selama ini Alif sembunyikan. Dalam setiap obrolan, Alif menemukan potongan-potongan dirinya yang hilang, dan Naya berfungsi sebagai pemandu dalam perjalanan mengerikan ini.
Di suatu sore, mereka memutuskan untuk duduk di taman klinik setelah sesi terapi. Suara riuh burung dan desiran angin menciptakan latar yang tenang, kontras dengan kerumitan yang ada dalam hati mereka. Alif menatap Naya, melihat betapa mata gadis itu mencerminkan lautan emosi—sedih, marah, dan sekaligus harapan.
"Naya," ucap Alif pelan, "bagaimana kamu bisa sampai di titik ini? Merasa terjebak dalam dirimu sendiri?"
Naya mengalihkan pandangannya ke tanah. "Ada saat-saat ketika aku merasa tidak bisa menjadi diri sendiri. Seakan hidupku terpecah menjadi beberapa bagian, dan aku tidak tahu harus mengikuti siapa. Zeta dalam diriku... dia sering kali lebih kuat. Kadang aku merasa seolah-olah tidak bisa mengendalikannya."
Alif mengangguk. "Aku mengerti. Zeta sering kali datang saat aku paling rentan. Dia muncul untuk melindungi aku, tetapi pada saat yang sama, dia juga menghancurkanku."
"Lalu, bagaimana kamu menghadapinya?" tanya Naya, suara lembutnya membawa kedamaian di tengah kegalauan yang melanda.
"Aku tidak tahu. Aku masih berjuang," jawab Alif dengan suara bergetar. "Tapi setiap kali aku berbicara denganmu, aku merasa seolah aku bisa menghadapinya. Mungkin, kita bisa saling membantu."
Naya tersenyum, tetapi senyumnya mengandung kegetiran. "Mungkin kita bisa. Tapi tidak semua perjalanan itu mudah, Alif. Kadang, untuk menghadapi diri sendiri, kita harus melihat ke dalam kegelapan yang paling dalam."
"Maksudmu?" Alif bertanya, rasa penasaran menyelimuti dirinya.
"Kadang kita harus merasakan sakit untuk menyembuhkan luka. Kita harus mencari tahu apa yang membuat Zeta atau bagian lain dari diri kita begitu kuat, dan apa yang menghalangi kita untuk sembuh."
Alif terdiam, merenungkan kata-kata itu. Ia merasakan gelombang ketakutan melanda dirinya. Apa yang akan terjadi jika ia menghadapi kegelapan itu? Apa yang akan muncul jika ia menggali lebih dalam?
Dalam keheningan itu, Alif merasakan kedekatan yang baru dengan Naya. Dia bukan hanya sekadar teman, tetapi juga rekan dalam perjuangan melawan bayangan yang mengintai. Namun, di balik semua itu, ada ketidakpastian yang menggerogoti.
---
Malam itu, Alif terjaga dari tidurnya, terbangun oleh suara yang mengganggu pikirannya. Di kegelapan kamarnya, ia merasakan keberadaan Zeta mengintai, menunggu saat untuk kembali. Ia mengingat kata-kata Naya dan merasa takut. Zeta adalah bagian dari dirinya, tetapi juga sumber dari banyak rasa sakit. Bagaimana bisa ia menghadapi sesuatu yang sudah menjadi bagian dari jiwanya?
"Alif," suara Zeta menggema di dalam kepalanya. "Mengapa kamu mencoba melawanku? Aku di sini untuk melindungimu."
"Aku tidak butuh perlindungan. Aku butuh kamu untuk pergi!" Alif berteriak, suara frustrasinya membangunkan seisi rumah.
"Pergi?" Zeta menantang. "Kamu tidak akan bisa hidup tanpaku. Tanpa aku, kamu hanya akan menjadi lemah, tanpa arah."
"Apakah kamu benar-benar berpikir begitu? Kamu adalah beban yang menghancurkan aku! Aku ingin bebas dari semua ini!" Alif merasakan energi mengalir di dalam tubuhnya, kombinasi antara ketakutan dan kemarahan yang menguatkannya.
"Kau mungkin bisa mencoba, tapi kamu akan gagal. Aku adalah kekuatanmu, Alif. Tanpa aku, kamu tidak akan pernah menemukan jalanmu."
Dengan napas yang memburu, Alif menggenggam selimutnya erat-erat, berusaha memisahkan antara realitas dan kegelapan yang mencekam. "Aku akan membuktikannya! Aku akan mencari cara untuk mengatasi semua ini!"
Alif memejamkan matanya, mencoba mengalihkan perhatian dari suara Zeta. Ia berpikir tentang Naya—tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung, bagaimana mereka bisa menghadapi bayangan dan trauma bersama-sama.
---
Hari berikutnya, Alif merasa semakin tertekan. Ketika ia memasuki klinik, rasa takut dan ketidakpastian menggerogoti hatinya. Apa yang akan terjadi jika ia gagal? Apa yang akan terjadi jika Zeta mengambil alih sepenuhnya?
Saat ia memasuki ruang konseling, ia tidak melihat Dr. Amira. Sebagai gantinya, Naya sudah menunggu di dalam. "Alif!" serunya, melambaikan tangan dengan semangat.
"Hey," jawab Alif, berusaha tersenyum meskipun rasa cemas menggerogoti dirinya.
"Kita perlu berbicara," kata Naya dengan tegas, dan Alif merasa jantungnya berdebar kencang. Ada keseriusan dalam nada suaranya yang membuatnya tidak bisa mengabaikan.
"Apakah ada yang salah?" tanya Alif, khawatir.
"Aku merasa kita perlu membuat kemajuan dalam perjalanan ini. Aku sudah memikirkan tentang bagaimana kita bisa menggali lebih dalam, mencari tahu apa yang menyakiti kita."
Alif mengangguk. "Aku setuju. Tapi aku tidak tahu apakah aku siap menghadapi semua itu."
Naya meraih tangan Alif, menggenggamnya erat. "Kamu tidak sendirian, Alif. Kita bisa melakukannya bersama. Kita akan menemukan cara untuk membebaskan diri dari semua bayangan ini."
Alif merasakan kehangatan dari genggaman tangan Naya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan. Harapan bahwa ia bisa menghadapi Zeta, menghadapi ketakutan yang selama ini menghantuinya.
"Baiklah, kita bisa melakukannya. Mari kita cari tahu apa yang terjadi," kata Alif, suaranya lebih mantap dibandingkan sebelumnya.
"Pertama, kita perlu menghadapi masa lalu kita. Kita perlu menjelajahi kenangan-kenangan yang menyakitkan itu dan menghadapinya dengan cara yang baru," Naya menjelaskan.
---
Setelah sesi berlangsung, Alif dan Naya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman. Dengan langkah ringan, mereka menjelajahi setiap sudut, merenungi apa yang akan datang. Dalam keheningan, Alif merasa keberanian mulai tumbuh di dalam dirinya, seperti tanaman yang meraih sinar matahari setelah terjebak dalam kegelapan.
"Siap?" tanya Naya, menghentikan langkahnya di depan sebuah bangku yang terletak di bawah pohon rindang.
"Siap," jawab Alif, suaranya mantap meskipun ada rasa cemas yang menggerogoti. Mereka duduk di bangku itu, dan Naya mulai mengajukan pertanyaan tentang masa lalu mereka, tentang kenangan yang mungkin menyakiti, tetapi juga tentang kekuatan yang dapat mereka ambil dari situasi tersebut.
Alif merasakan ketegangan di dalam dirinya saat mulai berbagi kisahnya. "Aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang menghalangi aku untuk benar-benar hidup. Aku tidak bisa mengingat semua, tetapi saat Zeta muncul, rasanya aku bisa merasakan semua itu."
Naya mendengarkan dengan seksama, menatap Alif seolah dia adalah bagian dari kisah yang diceritakannya. "Setiap bagian dari dirimu adalah penting. Kita perlu memberi ruang bagi semua itu—bahkan Zeta."
Alif merasakan hatinya bergetar. "Maksudmu, menerima Zeta?"
"Ya, bukan berarti kita membiarkannya mengendalikan hidup kita. Kita perlu mengajaknya bicara, mencari tahu apa yang membuatnya begitu kuat. Hanya dengan begitu kita bisa memahami diri kita yang sebenarnya," jelas Naya.
Dan dalam ketenangan sore itu, Alif tahu bahwa langkah pertama dalam perjalanan panjang ini telah diambil. Mereka berdua berkomitmen untuk saling mendukung, siap menghadapi masa lalu yang menyakitkan dan menemukan kekuatan di dalam diri mereka sendiri.
Malam itu, Alif terbangun kembali, tapi kali ini Zeta tidak berani menunjukkan diri. Alif merasakan kekuatan baru—satu yang berasal dari pemahaman dan keinginan untuk berjuang.
"Alif," suara Naya menembus pikirannya, "apa yang ingin kamu lakukan sekarang?"
"Saya akan menghadapi masa lalu saya," jawab Alif dengan tegas. "Saya akan menemukan cara untuk menyembuhkan luka ini."
---