Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah berkata dalam Kalam Hikmahnya yang ke-17 sebagai berikut:
"Barangsiapa yang menghendaki bahwa mengadakan (menjadikan) dalam waktu (yang tertentu) akan selain sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah dalam waktu itu, (berarti) tidak meninggalkan ia akan sesuatu berupa ketololan atau kejahilan."
Pengertian Kalam Hikmah ini ialah:
1. Apabila Allah telah menentukan pada seseorang hambaNya suatu ketentuan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Nya, maka wajib atas hambaNya itu memelihara adabnya terhadap Allah. Misalnya Allah s.w.t.
telah memberikan keberkatan kepada kita pada berdagang apakah sifatnya kecil-kecilan atau sifatnya dagang besar. Dalam pekerjaan kita berdagang itu tindak-tanduk kita tidak bertentangan dengan syariat agama, dan usaha kita
itu dikehendaki okhAllah, maka wajib atas kita berusaha agar pekerjaan itu kekal dan selalu dalam keridhaan Allah.
Menjaga dan berusaha ke arah ini berarti kita mengerjakan adab sopan santun kita kepada Allah yang Maha Pemurah. Kita tidak boleh pindah kepada pekerjaan lain atau usaha lain, seperti bertani, menjadi pegawai negeri dan lain-lain sebagainya.
Apabila kita pindah kepada usaha lain padahal usaha kita yang sekarang dikehendaki oleh Allah dalam hidup kita dan agama kita, maka semata-mata berusaha dan betul-betul pindah kepada pekerjaan lain, berarti adab sopan santun kita kepada Allah s.w.t. telah berkurang.
Berkata Abu Usman r.a.: Sejak 40 tahun yang lalu tidak ada sesuatu yang ditentukan oleh Allah s.w.t. padaku yang aku tidak sukai (bahkan aku menerimanya dengan ridha). Dan tidak ada sesuatu di mana Allah s.w.t. telah memindahkan aku dari satu keadaan kepada keadaan yang lain yang aku salahi (dan tidak aku ridhai, bahkan semuanya aku terima dengan baik).
Perkataan Abu Usman r.a. ini menggambarkan pada kita tentang hal keadaan beliau sejak 40 tahun berlalu bahwa apa saja yang diberikan Allah kepadanya tidak bertentangan dengan ajaran agama dan diberkahi pula oleh Allah, maka beliau tidak berpindah kepada pekerjaan lain, kecuali apabila Allah s.w.t. telah memindahkannya.
2. Apabila aqidah kita dan pendirian kita sudah sampai ke taraf ini, yakni selalu menjaga adab sopan santun pada Allah s.w.t., maka berarti kita sudah meningkat atau sudah diangkat oleh Allah pada mengenalNya dan mengetahui
kehendak ketuhanan yang Maha Berkuasa dan Berkehendak. Tetapi apabila keadaan kita dalam hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama kita, maka kita wajib berusaha untuk tidak melakukan hal keadaan itu. Berusaha untuk itu adalah berlaku adab kepada Allah s.w.t. dan jika dia memberikan dirinya terus bergelimang atau berkecimpung dalam hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah, maka orang ini adalah orang tolol dan berlaku kurang ajar kepada Maha Penciptanya yakni Allah s.w.t.
3. Tidak menerima ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah atau yang telah dibcrikanNya kepada kita berarti menentang "Hukum Waktu" yang telah diciptakan oleh Allah s.w.t. Menentang "Hukum Waktu" atau "Hukum Zaman" adalah maknanya tidak mau menerima ketentuan-ketentuan Allah.
Dan hal ini adalah dosa yang paling bcsar di sisi hamba-hambaNya yang telah menghampirkan diri kepadaNya. Atau dengan kata lain, dosa yang paling besar di kalangan ahli Tasawuf. Karena itu, tidak ada jalan lain untuk selamat selain kita wajib menyerah kepada hukum Allah s.w.t. yang tcrjadi dalam waktu dan zamannya masing-masing. Menyerah diri kepada hukum Allah adalah sopan santun kehambaan terhadap Allah dan makna mengenalNya.
Dan apabila kebalikannya, maka kita berlaku biadab kepada Allah di samping bodoh dan jahil yang bersangatan kepada Tuhan Maha Agung dan Suci itu.
4. Ketentuan Allah dalam waktu dan zaman adalah salah satu arti dari perkataan "Al-Waqtu" menurut istilah ahli Tasawuf. Kita jangan sampai salah pengertian seolah-olah pengertian Al-Waqtu di atas artinya menyerah tanpa ikhtiar dan tidak berbuat sesuatu yang dianggap baik olch Agama. Pengertian Al-Waqtu yang begini tidak sejalan dengan ajaran agama kita. Kita wajib menyerah kepada hukum Allah dalam waktunya dan zamannya, tetapi kita harus berusaha pada mengerjakan kebaikan pada ketentuan Allah yang telah ditakdirkannya kepada kita.
Berkata Al-Ustaz Abu) Qasim Al-Qusyairy.7 Sebagian dari perkataan ahli Tasawuf ialah:
"Al-Waqtu Saifun ".
"Waktu itu adalah pedang".
Artinya sebagaimana pedang memutuskan (dalam pandangan sepintas lalu — Pen.). Maka demikian pulalah Al-Waqtu dengan kehendak-kehendak Allah (ketentuan-ketentuanNya) yang berlaku pada waktu (tertentu) adalah merupakan hakim (yang berjalan keputusan dan ketentuanNya). Jadi maksudnya sebagaimana mata pedang dapat memutuskan sesuatu, maka demikian pulalah kehendak dan ketentuan Allah dalam waktu dan zaman adalah menjadi hakim atas segala-galanya.
Karena itu agar diri kita selamat, tidak ada jalan selain kita harus pandai menerima ketentuan-ketentuan Allah dengan ridha dan bijaksana. Apabila kita tidak pandai, maka kita akan digilas oleh perputaran waktu, sehingga ketentuan-ketentuan Allah dalam setiap waktu dan zaman tidak dapat kita ambil manfaatnya untuk kebaikan dan keselamatan diri kita. Atas inilah letaknya kiasan perkataan Hukama:
"Pedang adalah lembut sentuhannya, lagi memutuskan ketajamannya, maka barangsiapa yang berlembut-lembut dengan pedang ia akan selamat, dan barangsiapa yang berlaku kasar pada pedang ia pasti putus (karenanya)."
Pengertian perkataan ini ialah apabila kita menyerah (dengan pengertian di atas) kepada Hukum Al-Waqtu yakni Hukum Allah, maka kita selalu selamat dan lepas dari bahaya, sama seperti pedang, apabila kita mempergunakan dengan baik, kita akan selamat.
Apabila kita menentang Hukum Allah, yakni tidak ridha atasnya, maka kita akan celaka dan usaha kita akan sia-sia belaka. Inilah kiasannya apabila kita tidak pandai mempergunakan pedang yang tajam lagi berbisa, maka kita akan luka kena pedang dan mungkin pula masuk mencekam bisanya ke dalam tubuh kita.
5. Dari penjelasan di atas dapat kita pahami, bahwa siapa saja yang menentang waktu adalah sangat bodoh dan tolol, atau dengan kata lain tidak mau mengerti pada Hukum Allah. Oleh karena telah tertutup pintu ilmu pada orang itu/tetapi jalan ilmu kepadanya sehingga ia tidak tolol dan bodoh lagi.
Pada hukum waktu ada terbagi kepada 3 macam:
[A] Jalan Ilmu yang bersifat 'Aqli (Al-'Aqliyaatu)
Jalan Ilmu dalam sifat ini kita harus mengetahui bahwa sesuatu yang terjadi atau pasti terjadi tidak mungkin diangkat. Dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi pasti tidak akan terjadi. Tetapi apabila kita ingin mengangkat sesuatu yang terjadi atau yang pasti terjadi, atau ingin melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, menunjukkan bahwa kita adalah orang yang paling bodoh dan tolol.
[B] Jalan ilmu yang bersifat Syar'iy (Asy-Syar'iyaatu)
Jalan ilmu dalam sifat ini adalah kita mengetahui bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus diterima dan apa yang telah ditentukan Allah terhadap kita seperti menjadi pedagang, petani, tukang, supir, pegawai dan lain-lain terimalah itu dengan ridha dan peliharalah dengan ikhlas sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran kita. Ini wajib kita ketahui. Tetapi apabila kebalikannya, tidak mau menerima ketentuan-ketentuan Allah dan kehendakNya, menunjukkan bahwa kita adalah seorang yang paling bodoh dan tolol.
[C] Jalan Ilmu yang bersifat adat atau kebiasaan (Al-'Aadiyaatu) Jalan ilmu dalam hal ini yaitu menurut adat kebiasaan, bahwa kejadian yang selalu terjadi adalah di luar kehendak kita, di luar rencana kita, dan kadang-kadang tiba sewaktu-waktu. Ini harus dijadikan ilmu oleh kita bahwa itu adalah sudah tetap pada hamba Nya, bahwa itu adalah hikmah-hikmah Allah yang di luar ilmu hamba-hambaNya.
Inilah arti peribahasa orang kita,
"Rencana di tangan kita, dan keputusan di tangan Tuhan".
Hal keadaan ini banyak contoh-contohnya yang kita jumpai pada ummat manusia. Misalnya seseorang melihat kenyataan tingkat pendidikannya tidak akan mungkin pada adat menjadi seorang Menteri tetapi dengan kehendak Allah dia menjadi Menteri. Seorang yang tidak pernah sekolah ekonomi, pada adatnya tidak akan mungkin menjadi seorang pedagang besar, tetapi kenyataannya menurut kehendak Allah dia menjadi seorang milyoner, dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian yang biasa terjadi di luar ilmu dan dugaan kita sebagai makhlukNya adalah merupakan jalan ilmu pada kita bahwa hukum waktu tidak boleh ditentang. Menentangnya atau melanggarnya berarti tolol dan betul-betul tidak mau mengerti pada kekuasaan Allah s.w.t. dengan kehendakNya yang Maha Agung dan Suci. Menentang dan melanggar hukum demi mengejar kehendak nafsu dan maksud diri adalah sia-sia dan tidak ada faedahnya.
Berkata Hukama:
"Barangsiapa yang mencari sesuatu yang belum diciptakan, berarti meletihkan dirinya sendiri dan tidak mendapat rezeki apa-apa (dari usahanya)."
Kesimpulan:
Kita wajib menerima kejadian-kejadian apa saja yang ditentukan oleh Allah s.w.t. atas kita, apakah sifatnya manis ataukah sifatnya pahit.
Hendaklah kita sambut segala ketentuan Allah itu dengan ridha dan ikhlas dan memelihara ketentuan-ketentuan Allah itu menurut daya kemungkinan diri kita pada menjalankannya, sebab memilih jalan sendiri di luar apa yang dikehendaki Allah adalah tolol dan bodoh di samping melelahkan diri sendiri dalam mengejar sesuatu yang tak ada faedahnya.
Mudah-mudahan kita dijadikan Allah s.w.t. sebagai hamba-hambaNya yang diridhai olehNya. Dan moga-moga pula kita selalu dipimpin Allah, selamat dari marabahaya dan malapetaka, selalu mendapat kurniaNya dan nikmat-nikmatNya untuk kebahagiaan kita dunia dan akhirat. Amin!