webnovel

15. Aromaterapi (2)

Hasan menarik tali jubah mandi Haris dan membuat bagian depannya terbuka. Sebuah senyum tersungging di bibirnya saat dia kembali bisa melihat tubuh wakil direktur yang hampir telanjang sempurna.

Tangan Hasan perlahan bergerak mengelus dada Haris yang rata. Jarinya itu lalu meremas dada Haris, membuat lingkaran hingga dadanya menyembul seperti milik wanita.

Terlihat jelas kalau atasannya itu tidak suka. Namun hal itu hanya membuat Hasan ingin semakin menggodanya. Dia lalu menggigit puting Haris, menyebabkan atasannya memekik kaget kesakitan.

"Padahal pria tapi kenapa tubuh Pak Haris lembut dan empuk seperti wanita?"

"Aku laki-laki," bantah Haris.

"Tentu saja." Hasan lalu memindah tangannya ke kemaluan Haris yang berdiri. "Aku tidak akan lupa kalau milik Pak Haris pernah memasuki saya."

Hasan lalu mendorong tubuh Haris ke atas kasur sambil mulai mengocok bagian vitalnya. "Apa enak?"

Sclep! Sclep! Sclep!

"Hmm," Haris mengangguk. Kedua kelopak matanya tertutup sebagian. Sementara suara kulit yang basah dan bergesekan memenuhi ruangan.

Sclep! Sclep!

"Bagus." Hasan melanjutkan sambil bereksperimen.

Saat tangannya bergerak cepat, Haris merintih, meminta agar lebih pelan. Ketika Hasan memperlambat temponya, mata Haris tertutup sempurna.

Sclep! Sclep!

Waktu dia menekan bagian pinggir kepala, tanpa disangka, Haris menggigit bibir sambil mengejankan kedua kakinya.

Tidak lama kemudian, cairan berwarna keputihan keluar seiring dengan organ di tangan Hasan yang membesar dan berdenyut-denyut. Hasan tidak berhenti, jarinya terus memerah hingga tetes cairan terakhir melumuri tangannya.

Nafas Haris masih terengah-engah, dengan titik-titik keringat di sekitar dahinya. Tanpa membuang waktu, Hasan langsung mengangkat kaki Haris dan menekuk tubuhnya, hingga pantatnya berada di udara. Hasan pun segera memasukkan semen Haris ke lubangnya sendiri.

"Apa-apaan, Hasan! Lepaskan!" Haris memberontak tapi kalah oleh tubuh Hasan yg lebih besar dan tenaganya yang lebih kuat.

"Saya ingin memberi kenikmatan yang sama seperti saat Pak Haris memasuki saya," Hasan tersenyum lebar.

"Jangan bercanda! Punyamu terlalu besar! Tidak akan cukup!" Haris mulai dihinggapi rasa takut. Bagaimana jika dirinya celaka? Dia mulai menyesal sudah mengabulkan permintaan Hasan.

Penis Hasan berdenyut mendengar pujian yang keluar dari mulut pria itu."Wah, terimakasih, Pak."

Haris yang tidak nyaman karena ada jari Hasan yang bukan hanya masuk ke dalam dirinya, tapi juga berusaha agar lubang bagian bawahnya melebar. Antara takut dan merasa harus memenuhi permintaan pemuda itu meski terpaksa.

"Biar aku gunakan mulutku sampai kamu puas. Jangan yang situ," tawar Haris.

"Maaf, saya benar-benar ingin bagian yang ini." Hasan bahkan menggigit pantat Haris.

"Aku janji akan memuaskanmu. Kalau mulutku tidak cukup, akan aku gunakan tanganku juga."

"Kenapa Pak Haris menolak? Padahal saya tidak keberatan waktu Pak Haris menggenjot saya."

Hasan menarik laci dan mengeluarkan lube, melumuri tongkatnya yang sudah mengeras sejak memijat tadi. "Shh, tenanglah, Pak. Aku akan segera selesai. Lubang Bapak juga sudah lembut."

Seolah membuktikan kata-katanya, Hasan memasukkan ketiga jarinya sekaligus. Dia memastikan Haris bisa melihat semuanya dengan jelas. "Lihat, jari saya sudah keluar masuk dengan lancar."

Wajah Haris memerah karena malu. Bukan hanya karena keadaannya yang tidak berdaya, tapi juga bagaimana Hasan bisa menikmati semua ini. Mata tajamnya itu memandang kemaluan dan pantat Haris dengan atensi penuh. Seakan tidak ada hal lain yang lebih penting.

"Aku akan mulai." Peringatan itu membuat tubuh Haris kembali menegang dalam penolakan.

Hasan lalu menggeser-geser penisnya di sekitar lubang Haris sebelum memasukkan kepalanya perlahan-lahan.

"Rileks, Pak. Lemaskan otot Bapak, jangan tegang, oke," pinta Hasan sambil mengusap-usap paha Haris. "Saya tidak mau kalau lubang Bapak sampai sobek."

Kalau begitu jangan dimasukkan!! teriak Haris dalam hati, tapi dia tidak mampu berkata-kata saat tubuhnya serasa dikoyak di bawah sana.

Dengan penuh kehati-hatian, Hasan mengeluar-masukkan organnya. Beberapa kali dia mengambil nafas dan berhenti saat otot Haris mencengkram erat-erat. Dan kehangatan yang menyelubunginya di bawah sana, membuat Hasan menghentakkan tongkatnya yang masih di luar, jauh ke dalam.

"Rasanya sangat luar biasa, Pak..." bisik Hasan di sebelah telinga Haris.

"Luar Biasa Kepalamu Pitak!" teriak Haris, menjebol gendang telinga Hasan yang tengah memeluknya erat-erat.

"Sudah Nggak Pakai Kondom! Tiba-Tiba Nusuk! Kalau Beneran Sobek Gimana?! Bilang Apa Sama Dokternya?!?!" omel Haris tanpa putus.

Hasan menatap mata atasannya yang berair. Mungkin karena rasa sakitnya beneran, pikir Hasan.

Tapi sekali lagi, wajah berang pria yang lebih berumur itu malah terlihat menggemaskan. Bukan hanya karena matanya yang basah, tapi juga pipi dan ujung hidungnya sampai memerah.

Pria itu juga tidak marah karena Hasan memaksanya, meskipun awalnya Haris bersikeras untuk memakai mulut.

"Nanti biar saya yang jelaskan ke dokternya." Hasan mengecup pipi Haris sambil menarik dan memasukkan organnya dalam tempo lambat. Dalam jarak dekat begini, dia bisa mencium dengan jelas aroma tubuh pria di bawahnya itu.

"Uugh.." gumam Haris. Kini, saat tongkat Hasan bergerak di dalam tubuhnya, dia bisa merasakan dengan jelas. Bukan hanya panjangnya, tapi juga tiap lekukan, ketebalan, bahkan kedutan benda itu.

Dan hanya rasa sakit yang bisa Haris rasakan.

Duda itu mengira, setelah beberapa tusukan, dia akan lebih terbiasa dan mulai menikmatinya. Posisinya yang memalukan dengan penis yang bergoyang di depan wajahnya, sensasi aneh di dalam perut, dan saat ujung tongkat Hasan menekan-nekan dengan ganas, membuat Haris tidak bisa menahan air mata yang keluar.

"Maaf, Pak. Tapi, di dalam sini rasanya sangat enak," bisik Hasan. Tangannya lalu mulai menyentuh milik Haris dan memompanya dengan irama yang disukai duda itu.

Haris mulai berfokus pada sensasi nikmat saat Hasan mengocok miliknya. Tidak mau berdiam diri dan pasrah pada keadaan, Haris meletakkan tangannya di sekitar telapak Hasan yang sedang memompa.

Hingga Haris merasa dia sudah hampir keluar lagi, tongkat Hasan mendadak menyundul titik sensitifnya di dalam sana.

Cairan yang lebih bening pun seketika muncrat mengenai dada dan wajah Haris, bersamaan dengan seluruh badannya yang seperti dialiri listrik.

Untuk sesaat, Haris hanya melihat warna putih di balik kelopak matanya. Kenikmatan yang memenuhi setiap molekul tubuhnya.

Dia tidak peduli saat kemaluan Hasan membesar dan menyemburkan cairan yang sama di dalam salurannya. Atau ketika Hasan menarik tongkatnya dan tersenyum saat melihat anus Haris yang terbuka.

Hasan akhirnya membiarkan pinggul dan kaki Haris mendarat di kasur.

"Hmmm.. Bapak kelihatan sangat seksi," bisik Hasan sambil mengusap pinggir lubang yang isinya mulai meluber, mengenai jubah handuk yang masih terpakai.

"...dan sangat nakal," lanjut Hasan. Kali ini, dia memasukkan kedua jarinya ke lubang yang sama.

Pemuda itu merasa puas saat menemukan di dalam sana masih terasa licin dan hangat. Dia mencoba memasukkan cairan yang terus meluber, kembali ke dalam lubang, berkali-kali. Hasan terkejut saat organ pribadi milik Haris kembali berdiri dan bergerak-gerak, merespon jarinya yang di belakang sana.

"Bagaimana kalau kita lanjut ronde kedua?" tanya Hasan dengan senyum manis yang selalu berhasil menaklukkan hati wanita di mana saja.

.

.

Siguiente capítulo