Hospital
Author POV
Pertahanan Hara langsung runtuh. Air matanya mengalir. Sultan berusaha menghapus air mata Hara dengan tangannya.
"Beri aku kesempatan," katanya sambil menggenggam tangan Hara. "Untuk mencintaimu. Menjagamu. Kalau kau tidak bisa mengatakan apa pun sekarang, tidak apa-apa. Aku akan menunggumu. Sampai kau siap. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak akan meninggalkanmu, Hara. Aku tidak akan menyerah untuk mengejarmu. Sampai kapan pun."
Hara membalas genggaman tangan Sultan. " Kau bisa berhenti mengejarku mulai sekarang."
Sultan tersenyum bahagia. Dia memeluk Hara spontan. Dari balik pintu kamar, Anika mendengar seluruh percakapan mereka. Akhirnya dia bisa memberikan kebahagiaan untuk ibunya.
Sultan melepaskan pelukannya. Tubuhnya tetap condong ke arah Hara. Dia menatap wajah Hara lekat-lekat dan mulai menanyakan apa yang Hara inginkan.
"Ceritakan padaku tentang kehidupanmu setelah lulus. Dimana saja kau selama itu. Aku ingin mengetahui semuanya." Pinta Hara.
Saat Sultan menceritakan masa-masa kuliahnya di Hamburg saat dia bertemu Anika, kemudian masa kerjanya di Paris. Hara tersenyum. Ia menatap pria yang dicintainya dengan lembut. Tidak ada lagi dinding tebal yang memagari hatinya. Yang ada kini hanyalah cinta.
***
Flashback ON
Bandung
Sultan POV
Hanya ada satu alasan mengapa aku datang ke upacara pernikahan Hara. Aku ingin melihat seperti apa lelaki yang merampas kekasihku. Dan ketika melihat lelaki itu, seketika aku menyadari betapa mewah pesta pernikahannya, tiba-tiba saja aku merasa kerdil.
Aku mengharapkan melihat seorang lelaki tua renta yang buruk rupa, bungkuk dan lemah. Tetapi yang kulihat tegak di sisi Hara malam itu benar-benar berbeda.
Dalam usia yang masih muda, Bayu Maheswari tampak tegap dan gagah. Penampilannya tampak mantap dan matang. Rasa percaya dirinya yang demikian besar tersirat dalam setiap gerak-geriknya.
Kebanggan karena berhasil mempersunting seorang wanita secantik Hara Irawan memang tidak disembunyikannya. Tetapi selebihnya, emosinya tampak terjaga dengan sempurna. Dan itu membuat penampilannya tambah prima. Sekaligus tambah menyudutkanku. Membuatku semakin terpuruk dalam perasaan rendah diri,
Kekayaan Bayu Maheswari pun terbayang dalam mewahnya pesta pernikahan yang diselenggarakannya sesudah upacara adat. Tidak sengaja pikiran itu melintas ke benakku ketika menyaksikan megahnya ruang pesta yang menyambut mereka.
Seandainya Hara jadi istriku, pikirku getir, mampukan aku menyelenggarakan pesta seperti itu? Akan menyesalkan dia menjadi istriku?
Tentu saja aku melihat betapa sedihnya wajah Hara. Betapa murungnya paras yang ayu itu di tengah-tengah gemerlap emas berlian yang menghiasi dirinya.
Tetapi aku tidak pernah dapat mengakui, kesedihan Hara tidak kurang dari kesedihanku sendiri. Sampai kapanpun, aku tetap beranggapan, penderitaanku jauh lebih berat.
Aku memang sedih harus berpisah dengan kekasihku. Tetapi dia memperoleh ganti yang lebih baik. Dia mendapat seorang suami yang luar biasa. Gagah. kaya. Punya segalanya.
Dan ketika perasaan cemburu berubah menjadi dendam, cinta pun berpaling sisi ke arah benci.
Aku pulang tanpa menyalami kedua mempelai.
Aku tidak mau munafik. Aku tidak bahagia. Dan berharap pernikahan mereka juga tidak pernah bahagia!
Malam itu aku pulang ke Jakarta dan mengurung diri di kamar. Bermabuk-mabukan sambil membayangkan apa yang terjadi di dalam kamar pengantin kekasihku. Dan ketika membayangkan lelaki itu mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, aku menggeram gusar sambil meninju dinding kamar.
***
Hara POV
Aku tidak dapat menahan tangisku lagi. Begitu pintu kamar tertuutp di belakang tubuhku, aku menghambur ke tempat tidur. Di sanalah tangisku meledak.
Sudah sejak tadi aku tahan air mata ini. Ketika melihat Sarah datang bersama suaminya. Dan melihat mereka, tiba-tiba saja aku teringat kepada cinta kasih mereka berdua.
Sarah dan Aslan telah berpacaran sejak SMA kelas 3. Kisah cinta mereka hampir sama umurnya dengan kisah cintaku sendiri.
Kalau Sarah boleh menikah dengan Aslan, mengapa aku tidak dapat menjadi istri Sultan? Kalau wanita lain dapat memilih lelaki yang dikasihinya, mengapa aku tidak?
***
Bayu Maheswari membawaku berbulan madu ke Bali. Kami tinggal di sebuah hotel di Pantai Kuta.
Udara yang bersih, suasana yang belum terlalu ramai, pemandangan yang indah, membuah betah pasangan yang sedang berbulan madu itu.
Tidak ada yang kami kerjakan selain tidur, makan dan berenang. Kadang-kadang aku membaca buku sambil menunggui suamiku berjemur di pantai.
Bayu memperlakukanku dengan sebaik mungkin. Dia tidak pernah menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan.
Dia tidak pernah memaksaku memakai baju yang tidak kusenangi. Jika Bayu ingin aku membeli pakaian baru, dia hanya memberikan uangnya.
"Pilihlah pakaian yang kausuka," katanya santai. "Aku terlalu kuno dalam selera."
Dalam hal makanan pun Bayu tidak cerewet. Dia menyantap apa saja makanan yang aku hidangkan.
Kelakuannya benar-benar tidak menyebalkan. Dan itu membuatku tidak dapat membencinya, sifatnya tidak jauh berbeda dengan suami keduaku. Arya Hilmar diawal pernikahan kami.
Arya membawaku menempati sebuah rumah baru yang besar dan mewah di kawasan elite Bali. Dia sudah memilih perabotannya. Tetapi jika aku tidak suka, dia menyilakan aku menukarnya.
"Pilihlah yang sesuai dengan seleramu," katanya sabar. "Kau boleh menyingkirkan barang apa saja yang tidak kau kehendaki di rumah ini."
Tetapi aku tidak menyingkirkan satu-satunya foto Arya bersama istri dan anaknya, di atas perahu yang sedang berlayar. Aku menaruh foto itu di samping foto pernikahan kami di atas meja di kamar Arya.
"Jika kau ingin menyimpanya, aku tidak keberatan," kata Arya sambil memandangi foto itu. "Jika kau merasa tidak enak..."
"Mereka adalah bagian dari hidupmu juga, Mas." sahutku tenang. "Aku tidak ingin menyingkirkannya. Biarlah mereka tetap hidup dalam kenanganmu."
Aku tidak pernah protes jika Arya pulang sampai larut malam. Tidak pernah menegur jika dia terlalu sibuk dalam pekerjaannya. Tidak pernah mengeluh dinomorduakan suami.
Aku mengisi waktu luangku dengan mengikuti kursus memasak sambil mengurus Anika, Mika dan Adena. Kalau tidak, aku bisa mati karena stress. Arya selalu tidak ada di rumah. Dia pergi dari pagi sampai malam. Kalau ada di rumah pun, dia selalu sibuk. Teleponnya tidak pernah berhenti berdering. Komputernya tidak pernah dimatikan. Hidupnya hanya berputar di poros pekerjaan.
Kami mempunyai empat orang pembantu. Seorang tukang kebun. Dan dua orang sopir. Apapun pekerjaan di rumah itu kecuali mengurus anak-anak, aku tidak pernah kebagian mengerjakannya. Semua sudah beres sebelum aku sempat melakukannya.
Arya melengkapi semuanya. Dia menyediakan sebuah mobil dan seorang sopir khusus untukku. Singkatnya, aku tidak kurang suatu apapun. Tetapi aku tetap merasa jemu. Dan kesepian.
Sering aku memimpikan hidupku yang dulu. Naik bus bersama Sultan ke sekolah. Makan berdua di warung di pinggir jalan. Kencan dengan motornya. Ke bioskop. Ke pantai.
Rasnya kebebasan seperti itu tak mungkin lagi aku raih. Dan perasaan itu melahirkan nostalgia yang nyeri di hatiku. Lebih-lebih jika aku terkenang kepada Sultan. Kepada cintaku. Belaian jiwaku.
Sultan begitu romantis. Begitu pandai menyatakan kasih sayangnya. Amat berbeda dengan kedua suamiku. Bayu dan Arya memang baik. Tetapi mereka lebih mirip seorang ayah daripada kekasih. Memenuhi semua kebutuhan materiku. Tetapi tidak mampu memenuhi kepuasaan batinku.
Sebenarnya aku punya banyak waktu untuk menjumpai Sultan. Kadang-kadang kalau rinduku sudah tidak tertahankan lagi, sering aku pergi ke Jakarta untuk mencari rumahnya tapi hasilnya nihil.
Sering aku mengharapkan Sultan lewat dijalan yang aku pijak. Dan aku dapat melihat wajahnya walaupun hanya sebentar.
Tetapi harapanku tetap tinggal harapan. Aku tidak pernah lagi melihat Sultan. Dan kerinduan di hatiku semakin menyiksa.
Mudah sebenarnya untuk menyusulnya keluar negeri. Mudah bagiku untuk menjumpai Sultan. Anak-anak sudah sudah besar dan Arya terlalu sibuk. Urusan cinta masa muda tidak ada dalam agendanya.
Tetapi setiap kali aku hendak pergi, setiap kali itu juga aku membatalkannya. Aku merasa berdosa kepada suamiku. Dan merasa tidak pantas lagi menemui mantan kekasihku.
Bagaimana kalau Sultan masih menginginkanku? Masih mampukah aku menolak? Dan kalau aku menolak, bukankah hanya menambah sakit hatinya?
Untuk apa membuka luka lama? Untuk apa menambah pedih penderitaannya?
Biarlah kutanggung rindu ini sebagai hukuman yang harus kuderita, pikirku sedih. Karena aku telah meninggalkannya.
To Be Continued