Wardana's House
Rangga POV
"Apa definisi keren bagi pria zaman sekarang adalah babak belur? Kalau benar begitu maka kau adalah lelaki paling keren di Indonesia," ujar Papa sengaja menyindir begitu melihat luka-luka yang bertebaran di wajahku.
Aku melengos malas mendengarkannya. Kuangkat sebelah kakiku ke paha. Papa tercekat melihatku, mulutku terbuka dengan emosi. Namun, belum sempat aku mengatakan apapun, mulutku terkatup rapat kembali.
"Kau tahu? Umurmu sekarang sudah dua puluh enam tahun. Dan kau sudah menikah. Tapi kelakuanmu masih sama seperti anak sekolah dasar. Apa kau tidak ingin mengubah sikapmu sama sekali?"
Tak ada respons dariku. Aku mendelik dari bangku. Papa menarik napas dalam-dalam seakan khawatir akan kehabisan udara dan ingin menyimpannya banyak-banyak di paru-paru. Aku masih menatapnya sinis, Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku, karena aku tak ingin obrolan ini makin panjang. Papa mendesah putus asa saat melihatku dan berkata lirih, "Kembali ke kamarmu."
"Papa bisa berkata seperti ini karena Papa tidak tahu bagaimana rasanya," ujarku pelan.
Papa mengangkat wajah dan menatapku penuh tanda tanya. Aku memberanikan diri menatap kedua mata Papa tanpa berkedip. "Setiap bulan, Papa selalu kembali ke Jakarta dengan wajah berseri. Sepertinya, Papa sangat senang dapat bertemu Mommy Anita untuk mengisi energi Papa. Tapi, apa Papa pernah memikirkan aku? Papa terlalu sibuk dengan diri sendiri hingga tak pernah berbagi tentang pekerjaan Papa padaku. Papa selalu tidak waktu. Aku hanya bisa bertanya-tanya tentang mereka sambil melihat wajah Papa yang cerah itu. Sementara aku dan Lukas di sini merasa kosong dan kehilangan pegangan kalau bukan Om Sultan yang menyelamatkan kami. Apa Papa tahu itu?" ucapku dengan emosi tertahan.
Papa menatapku dengan rahang yang mengeras. Aku masih menatapnya tanpa berkedip, tak ingin terlihat lemah di hadapannya. Papa mulai menyerah dan mengembuskan napasnya. "Cepat masuk ke kamar," ujarnya mengulang perintah.
Dengan gesit, aku beranjak dari bangku. Sebelum aku resmi menghilang dari ruang kerja ini, aku menoleh dengan wajah dingin. "Perlu Anda tahu," ucapku datar, "Aku tidak pernah ingin dianggap keren." Dan aku akhiri pertemuan langka itu dengan bantingan pintu yang keras, cukup membuat Papa terlonjak.
***
Bogor
Author POV
Anika menghela napas berat. Pagi menyapa, sementara sejak malam dia belum juga berhasil memejamkan mata. Dia tak bisa tidur karena kejadian semalam.
Semalaman Anika memikirkan segala hal yang telah terjadi. Satya dan Tina balikan. Lalu dia harus berbuat apa untuk memulihkan perasaannya? Mengemis supaya pemuda itu kembali?
Cih! Anika tak akan melakukan itu.
Anika kecewa saat kebersamaan mereka dipandang Satya sebagai angin lalu, dengan seenaknya dihilangkan tanpa bekas. Padahal jelas-jelas pemuda itu meninggalkan luka yang begitu dalam pada dirinya.
Anika turun dari tempat tidur, kemudian membuka pintu kamar. Ia memasang headset ponsel di salah satu telinganya. Suara Christina Aguillera mengalun indah di telinganya. Saat mendengar liriknya Anika merutuk pelan, kenapa seolah menyindirnya? Anika mengeluarkan ponsel dan memilih repeat this song.
Seems like it was yesterday when I saw your face
You told me how proud you were but I walked away
If only I knew what I know today
Anika memilih keluar dari vila, berjalan-jalan di sekitarnya. Ia menghirup udara dengan pongah, kemudian melepaskannya dengan kasar. Ia terlalu lelah dengan semua ini, ingin segera mengakhirinya. Mengakhiri kepahitan yang membuat hidupnya berantakan.
Saat melihat ada yang menuju arahnya, Anika menghentikan langkah. Tubuhnya menegang, tak mampu bergerak. Detak jantungnya bergemuruh.
Satya tak kalah kaget melihat kehadiran Anika. Ini masih jam enam pagi, untuk apa gadis itu bangun dan berjalan sendirian? Udara di Puncak sangat dingin. Bagaimana jika Anika kedinginan dan masuk angin?
Satya ingin menegur, tapi sadar bahwa dia telah menyakiti Anika. Apalagi ia merasa pandangan tajam yang diberikan Anika seolah menuduh dirinya sebagai makhluk paling hina di dunia.
I would hold you in my arms
I would take the pain away
Thank you for all you've done
Forgive all your mistakes
Anika mengalihkan pandangannya dari wajah pemuda itu. Dia memilih untuk melanjutkan jalan karena semakin lama dia menatap mata Satya, semakin susah melupakan lelaki itu.
Dengan cepat Satya menahan Anika dengan tangannya, menggandeng gadis itu berjalan menjauhi vila, tanpa memedulikan protesnya.
***
Mereka berada di bagian tertinggi bukit perkebunan teh. Terengah-engah, tapi Anika senang. Saat melihat ke bawah, matanya menangkap jalanan masih sangat sepi.
Satya duduk di rumput. Tangannya yang menggandeng Anika memaksa gadis itu melakukan hal yang sama. Kini keduanya duduk bersebelahan.
Anika melepas headset dari telinganya, membiarkan benda itu menggantung di pundaknya. Ia mencoba menstabilkan emosinya dengan menarik napas panjang beberapa kali.
"Maaf," ucap pemuda itu lirih, menatap Anika yang menatap lurus ke depan. Ucapannya terdengar sungguh-sungguh.
Anika menoleh, mendapati tatapan lembut Satya. Sejujurnya Anika tidak tega. Tapi tak ada lagi yang harus dikasihani, baik dirinya maupun Satya. Dia hanya perlu menyelesaikan hubungan mereka.
There's nothing I wouldn't do
To hear your voice again
Sometimes I want to call you but I know you won't be there
"Maaf? Buat apa?" ucap Anika menahan jeritan hati. "Bukannya aku yang mestinya kasih selamat ke kamu?"
Satya mengalihkan pandangan dari mata Anika. Dia tahu betul gadis itu terluka, walaupun berbicara lantang. Ah, mata pelangi itu, aku membuatnya kembali mendung. Masihkah aku berkesempatan melihat senyum tulus gadis itu?
"Akhirnya terbukti bahwa aku memang pelarian kamu, kan?" ucap Anika, tersenyum miring, seakan menertawakan kebodohannya selama ini, sekaligus berusaha menyembunyikan gejolak yang hampir meledak. Termasuk juga menahan keinginannya untuk menampar Satya.
"Kita sama-sama terjebak keadaan. Jadi, mari kita akhiri semuanya," tegas Anika. Namun sedetik kemudian ia tertegun mendengar ucapannya sendiri. Benarkah ia memilih mundur dalam hal asmara?
Tapi, ah, baiklah, toh kedatanganya ke Jakarta memang bukan mencari dambaan hati, bukan?
"Sikapku sama kamu yang menjadikan kamu jahat atas perasaanku… aku minta maaf." Anika terdiam. "Selamat berbahagia ya."
Dia beranjak dari duduk, memasang headset, dan bersiap pergi. Tangan Satya kembali mencengkeram tangannya kuat.
Anika menggerakkan tangannya, mencoba melepas cengkeraman itu, tapi bukannya tangannya yang terlepas bebas, colokan headset di ponselnya yang terbebas.
I'm sorry for blaming you for everything
I just couldn't do
And I've hurt myself by hurting you
Satya terdiam mendengar lagu yang diputar di ponsel Anika. Ingin rasanya dia merengkuh Anika, mengatakan bahwa dia akan mempertahankan Anika, mengatakan bahwa dia tak akan menyakiti gadis itu.
Anika mengambil kesempatan itu untuk kabur dari Satya. Dia melepas genggaman Satya, kemudian berlari menjauhinya. Sejauh mungkin, bahkan kalau bisa mereka tak usah bertemu lagi.
Some days I feel broke inside but I won't admit
Sometimes I just want to hide 'cause it's you I miss
You know it's so hard to say goodbye when it comes to this
Christina Aguillera - Hurt