webnovel

33. Rino Masuk Rumah Sakit

Didekapnya sang Bunda yang tengah menangis sambil mengelus-elus pundaknya juga Dani yang memeluk betisnya dari bawah, Randa mirip seperti orang dewasa saat ini. Padahal batinnya pun tak kalah cemasnya dengan dua orang yang menempel di tubuhnya. Disekitar, ada Lintang dan juga Riko yang berwajah tegang.

Randa, "Berhenti nangisnya Bun, Dani kamu juga berhenti" Ucapnya menenangkan dua orang tersebut.

Rani menjawab di sela-sela tangisnya, "Bunda itu cemas sama Abangmu! Hiks... Kenapa sih anak itu susah di ajak ke sini! Bila hiks... sudah begini Bunda juga yang khawatir!" Marahnya. Randa diam, Lebih baik tadi dia membiarkan wanita itu terus menangis daripada menegurnya.

Sebelumnya Lintang memang membawa Rino ke kamarnya. Tetapi setelah mendudukkan remaja itu diatas tempat tidurnya Rino tiba-tiba oleng ke samping, Untung Lintang cepat menangkapnya.

Barulah kemudian dia menyadari bahwa Rino sudah tidak sadarkan diri. Lantas Remaja itu berteriak panik memanggil Randa dan juga Rani dan akhirnya mereka memutuskan membawanya ke Rumah Sakit terdekat.

Dia juga sempat menelepon Riko agar membawa Dani ke sana. Itulah mengapa bocah tersebut tau-tau sudah berada di Rumah Sakit sembari menangis saat mengetahui Kakak kesayangannya dibawa ke R.S Indah Palu.

Riko, "Rino kenapa Lin? Terus napa Lo bisa bareng mereka?" Ia menuntut penjelasan dari Lintang.

Lintang menarik nafas terlebih dahulu, barulah menjawab, "Tadi di sekolah dia muntah-muntah jadi gue bawa ke UKS, Terus karena dia mau pulang ya udah gue anter ke rumahnya. Nah pas kita udah di rumahnya, Malemnya dia muntah lagi dan gue rencana pengen bawa dia ke kamarnya, Tapi eh malah pingsan anaknya makanya kita bawa dia ke sini" jelasnya panjang lebar.

Tidak satupun dari mereka yang duduk di kursi tunggu, Seluruhnya berdiri bahkan si kecil Dani.

KREEEK...

Pintu ruangan terbuka lalu disusul keluarnya seorang Dokter yang berjalan menghampiri mereka.

Tergesa-gesa Rani melepaskan dekapannya pada Randa kemudian bertanya gusar, "Dok, Bagaimana keadaan anak saya? Sakit apa dia? Penyakitnya tidak parah kan? Dok! Ayo jawab pertanyaan saya!" Desak Rani.

Randa tersenyum canggung kepada Dokter yang tengah tersenyum ramah tersebut, "Bun, Nanyanya satu-satu napa, Itu Dokter bukan robot Bun" Ucapnya sambil garuk-garuk kepala.

Tersadar dengan ucapannya Rani segera meminta maaf, "Maaf Dokter, Saya sangat khawatir dengan kondisinya" Ujarnya dalam rasa bersalah.

Lagi, Si Dokter mengulas senyum maklum, "Ibu tenang saja, Pasien baik-baik saja, Tapi..." Dokter yang bernama Habsah tersebut menggantung kalimatnya.

Rani, "Tapi apa Dok?" Tanyanya tidak sabar. Randa, Lintang dan juga Riko terlihat sama penasarannya.

Helaan nafas keluar dari mulut Habsah sebelum berkata, "Setelah di periksa, Perut anak Ibu jika di tekan akan mengeras, Tapi tenang saja... Itu bukan ciri-ciri tumor atau kanker hanya kami perlu selidiki dulu" Jelasnya hati-hati. Salah kata saja dia bisa menimbulkan panik berlebihan dari keluarga pasien.

Tetapi mendadak Randa memekik keras, "Astaghfirullah Bunda!!" Dengan sigap dia dibantu Lintang serta Riko menahan Rani yang hendak pingsan karena shock mendengar penjelasan Dokter Habsah.

Habsah, "Cepat dudukkan dia di kursi dan segera minumkan Ibumu air putih!" Serunya tak kalah panik. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika anak ibu ini dikabarkannya telah meninggal dunia?

Tangis Dani semakin besar akibat kejadian itu, Randa benar-benar pusing sekarang. Beruntung ada Riko yang menenangkan satu-satunya bocah diantara mereka.

Randa meraih sebotol air putih yang sebelumnya ia beli di luar dan meminumkannya kepada sang Bunda.

Barulah sesudah minum, Kondisi Rani semakin membaik.

Lintang bertanya lagi pada Dokter Habsah, "Apa yang aneh di perut Rino Dok" Katanya Ingin tahu.

Habsah, "Saya belum bisa memastikannya, Kita tunggu saja sampai pasien sadar baru kami akan tindak lanjuti. Kalau begitu saya pamit ke ruangan dulu, Kalian sudah diizinkan masuk hanya jangan membuat keributan yang mengganggunnya, Permisi..." Pamitnya lalu pergi.

Randa menatap Bundanya, "Bunda mampu jalan ke ruangannya Bang Rino?" Rani menjawab anggukan lemah.

Lalu diliriknya Lintang, "Lin, Gendongin Adek gue" Perintahnya. Lintang berdecak kesal, Bila tidak ingat suasana tegang ini mana sudih Lintang menuruti komando remaja sawo matang itu.

Kemudian Lintang berjongkok tepat di depan Dani, "Mas Gendong mau?" Tawarnya pada bocah 4 tahun tersebut. Ragu-ragu sebentar, baru Dani mengangguk sebab dia sebenarnya sedikit takut melihat wajah Lintang yang terkesan galak.

Mereka berjalan pelan menuju pintu kamar dimana Rino dirawat. Randa kagum dengan kemampuan Lintang dalam menangkat Dani, Pasalnya adiknya bisa dibilang tidak kecil juga sedikit gemuk.

Setibanya, Riko yang menganggur bergegas membukakan pintu untuk yang lain barulah dia menyusul dari belakang. Namun yang didapatinya ketiga orang itu malah berhenti sedikit jauh dari ambang pintu, Lantas Riko lewat di samping dan tertegun.

Rani dan Randa tidak bisa menahan kesedihan melihat Rino yang terbaring pucat di brankar rumah sakit sambil menutup mata dengan infus yang terpasang di punggung tangannya.

Dani apalagi, Anak itu sudah menangis sejadi-jadinya di gendongan Lintang. Riko tidak bisa berbuat apapun selain diam dalam sedih, Sebagai teman dia turut merasakan apa yang dirasakan keluarga Rino.

Lain halnya Lintang, Ia menggertakkan giginya geram. Andai saja dia tahu siapa yang telah menculik dan membuat Rino seperti ini, Dia tidak akan pernah memaafkan orang tersebut, Tidak sama sekali!

Semuanya diam dalam pikiran sendiri-sendiri sampai suara Randa menginterupsi mereka, "Ayo kita kesana Bun" Randa memapah Bundanya mendekat hingga tepat berdiri di samping remaja yang tengah menutup matanya di ranjang rumah sakit tersebut.

Rani, "Nnnhh... Kenapa kamu tidak jujur saja sama Bunda apa yang membuatmu seperti ini..." Lirih wanita itu pilu dalam isak tangisnya.

Tak lama Riko datang dan menepuk-nepuk pundak Randa, Berusaha menenangkannya. Bertahun-tahun tinggal satu desa membuat Riko amat kenal dengan Randa juga Rino. Benar jika Randa adalah anak nakal serta usil di desa mereka, Akan tetapi bila sedih remaja sawo matang itu cenderung diam dan meluapkan kesedihannya dalam hati.

Nyatanya Randa bukan sedih, Bahkan tatapannya pun kosong. Dia sepemikiran dengan Lintang. Tak ada siapapun yang menyadari bahwa tanganya tengah terkepal erat sampai rasa sakit memenuhi telapak tangannya disebabkan kuku-kuku yang tertancap disana.

Perlahan-lahan Rino membuka matanya lalu menutupnya kembali karena tampias cahaya dari lampu di ruangan itu. Dirasanya cukup beradaptasi, Ia mencoba sekali lagi untuk membuka kelopak matanya.

Riko yang pertama menyadari pergerakan Rino segera berseru senang, "Rino bangun!" Kemudian berlari keluar untuk memanggil Dokter.

Dari ambang pintu, Lintang bergegas menghampiri dengan Dani di dekapannya.

Rani, "Sayang, Kamu sudah sadar!" Kata Rani bahagia. Randa berhati-hati membantu Rino duduk.

Remaja itu nampak linglung melihat ruangan asing di sekitarnya hingga pandangannya berhenti pada Lintang dan Dani. Sadar atau tidak dia sempat-sempatnya melihat pemuda itu tersenyum tulus kepadanya untuk pertama kali.

Dia menoleh ke arah sebaliknya dan terkejut melihat sang Bunda tengah menangis sambil balas menatapnya, "Kenapa Bunda menangis? Dimana Aku?" Kata Rino bingung.

Randa menjawab, "Abang di rumah sakit, Tadi di rumah Abang pingsan makanya kita bawa ke sini"

DEG!

Ia tercengang, tubuhnya sedikit gemetar. Tidak mungkin! Adiknya pasti bercanda! Melupakan sakit kepalanya, dia tertawa hambar, "Jangan bercanda dengan Abang Ran, Nanti dosa" Ujarnya.

Randa mengerenyitkan alisnya, "Siapa yang bercanda Bang, Abang gak lihat ini ruangan warnanya putih semua? Terus yang di tangan Abang itu apa kalau bukan infus"

Dengan rasa tidak percaya Rino menoleh pada tangan kirinya, Lalu menatap Adiknya lagi, "Jadi ini benar-benar rumah sakit?" Ulangnya,

Anggukan dari Randa membuatnya mematung.

Siguiente capítulo