webnovel

Boy With Luv (Yogi P.O.V)

"Kau adalah bintang yang mengubah sesuatu yang biasa jadi luar biasa, Satu demi satu semuanya istimewa, Hal yang menarik adalah perhatianmu, caramu berjalan dan bicara, dan semua kebiasaanmu."

****

Dadaku berdebar. Mataku tak henti-hentinya memandang ke penjuru ruangan. Sorak ramai dari penonton membuatku semakin merasa sedikit terintimidasi. Terlihat dari penonton yang datang hari ini kebanyakan dari SMA Brawijaya. Jadi bukan bualan semata kalau tim SMA Brawijaya selalu menang dari lawan mainnya karena dukungan penonton sanggup membangkitkan rasa percaya diri para pemain. Tapi di tribun seberang sorakan untuk tim kami terdengar walau kalah jumlah dan tingkat kerasnya suara.

Entah kenapa aku memandangi tribun bagian SMA ku. Oh, aku menemukan sosok Nada bersama Dion di sana. Dia melambaikan tangan mengetahui aku mengarahkan pandangan padanya. Aku tersenyum membalas lambaian tangannya. Dia sepertinya baru pulang dari sekolah. Terlihat dari pakaian yang ia pakai adalah seragama khas SMA nya.

Pandanganku mengarah ke beberapa penonton. Mataku menemukan sosok yang memiliki wajah mirip Nada, namun dengan tatanan rambut yang berbeda, berjalan dari pintu masuk. Dalam balutan seragam sekolah, Vara berjalan melewati beberapa orang menuju ke arah Nada.

'Dia tadi bareng siapa?'

Pertanyaanku langsung terjawab melihat sosok Brandon di belakangnya. Cowok itu tiba-tiba menyentuh pundak Vara berjalan layaknya bermain kereta-keretaan. Hingga akhirnya keduanya berhenti di samping Nada. rasanya risih melihat Brandon yang lengket sekali pada Vara.

Romi menepuk punggungku, membuatku menoleh padanya. Dia mengajakku untuk berdiri dan melakukan berdoa bersama dan tos agar lebih semangat.

'Oke, Yog. Saatnya fokus!'

Setelah itu tim kami berjalan menuju ke tengah lapangan.

*****

Peluit wasit terdengar menandakan waktu istirahat usai babak kedua. Angka pada layar menunjukkan skor 17-23. Terbentang 6 angka dari lawan. Tim lawan memang luar biasa, karena sedari tadi kami hanya kejar-kejaran skor. Sempat unggul, namun tak lama kembali tersusul. Begitupun sebaliknya. Yang paling luar biasa adalah kemampuan jump shoot dari shooting guard mereka benar-benar di luar dugaan. Aku masih ingat, dia yang paling banyak mencetak angka saat final turnamen basket tahun lalu walaupun pada akhirnya tim mereka tetap kalah dengan tim SMA N 3.

"Yogi, kamu istirahat dulu. Biar Deri menggantikanmu."

Aku menurut pada perintah pelatih. Rasanya memang aku agak kelelahan. mungkin dengan beristirahat sebentar bisa memulihkan kembali staminaku. Baru babak penyisihan saja sudah seketat ini. Tim SMA Brawijaya mungkin tengah menargetkan ingin menjadi juara di tahun ini.

Tak terasa waktu berlalu, timku kembali ke lapangan setelah mendengarkan arahan dari pak Herman. Mataku mengamati bagaimana tim lawan melakukan serangan. Sebenarnya mereka lemah di pertahanan. Mungkin kunci utama dari tim mereka adalah kemampuan untuk melakukan shoot-shoot yang luar biasa akurat. Pak Herman terus memantau sesekali memberikan pengarahan.

Kini skor berbalik, tim SMA ku berhasil mengungguli skor lawan walau hanya selisih satu angka. Timku terlihat semakin bersemangat. Hingga tak terasa babak ketiga usai. Waktunya istirahat. Pak Herman tak lengah. Beliau masih terus memberikan masukan-masukan dan tidak lupa agar tidak terlena dengan skor yang didapat kini sebelum pertandingan benar-benar berakhir.

"Der, kamu gantian sama Yogi. Istirahat dulu oke."

Deri menurut. Kini aku siap kembali bermain. Agar lebih semangat lagi, sebelum menuju ke lapangan kami bersorak. Pokoknya hari ini harus menang!

****

"Wohooo!!"

Tim kami bersorak usai pertandingan. Sungguh pertandingan yang cukup melelahkan dan menguras tenaga. Akhirnya kami berhasil mengalahkan SMA Brawijaya dengan skor 36-34. Babak terakhir benar-benar ketat. Maisng-masing tim seakan memasang benteng kuat tanpa cela. Sungguh rasanya lega sekali, apalagi tim lawan adalah ­runner-up tahun kemarin tentu saja tim kami was-was takut kalah, padahal masih babak penyisihan. Tapi syukurlah akhirnya kami berhasil. Pak herman tak henti-hentinya tersenyum menatap kami.

"Bagus! Ini langkah awal yang sangat bagus. Pertahankan kalau perlu tingkatkan lagi! setelah ini kita harus bersiap-siap melawan tim SMA Jaya. Jangan sampai lengah!"

"Siap, Pak!"

"Sekarang kalian pulang. Istirahat."

Kami mengangguk patuh, kemudian membubarkan diri. Keluar dari venue aku disambut Nada yang melambaikan tangan ke arahku. Disampingnya ada Vara dan Brandon. Lagi-lagi mereka berdua.

"Selamat ya, Yog. Tim lo keren. Lo juga keren banget tadi waktu bikin three-point yang mepet sama waktu. Padahal jarak lo tadi lumayan jauh lho."

"Makasih."

Tiba-tiba Vara menodongku dengan kantong kresek putih dengan logo salah satu minimarket. "Ini untukmu, Yog. Selamat ya, semoga di pertandingan selanjutnya tim kalian menang lagi."

Ku terima kantung kresek itu dengan senang hati. "Makasih."

Vara terdiam. Memandangku dengan tatapan terkejut.

Apa yang membuatnya terkejut?

Bukan, bukan karena aku menerima pemberiannya ini tanpa ada penolakan ataupun terpaksa. Tetapi tangan ku yang aneh ini mengusap rambutnya tiba-tiba. Bahkan aku sendiri tak sadar tiba-tiba saja tangan kananku sudah berada disana.

Sadar, tanganku dengan cepat ku turunkan. Mendadak canggung. Apalagi di sekitarku masih ada Brandon dan… oh astaga! Masih ada Nada di sampingku!

Aku berdeham. Sungguh kecanggungan ini sangat aneh, hingga tiba-tiba Romi muncul sembari merangkul Brandon. Brandon sendiri tampak terkejut, reflek menoleh ke arah Romi. Apakah tadi dia melamun?

"Ayo makan-makan! Gue yang traktir. Temen-temen yang lain udah berangkat ke Mekdi."

Tanpa persetujuan, Romi mendorong kami menuju ke parkiran. Vara mengikuti Brandon. Sedangkan Nada naik motor dengan Dion. Romi nebeng denganku karena tadi dia nggak bawa kendaraan.

Sesampainya di restoran cepat saji itu, beberapaa teman sudah menunggu. Mereka memilih duduk di luar dari pada di dalam yang kelihatannya juga sedang ramai.

"Oke, kita berhitung dulu," Romi memberi aba-aba. Teman-teman mulai berhitung. Setelah itu dia masuk untuk memesan makanan dan minuman.

Beberapa teman yang mengenal Nada menyapanya. Sedangkan yang lain tampak memandang Nada bingung.

"Jadi… lo kembarannya Vara ya, Nad?" pertanyaan itu meluncur dari Irham. Dia terheran heran menatap Vara dan Nada yang duduk berdampingan bergantian. Mungkin baginya—dan atau sebagian dari kami—hal aneh melihat orang kembar yang dari segi wajah mirip walau tinggi badannya tak sama.

"Iya."

"Kenapa ngga satu sekolah saja? Jadi kita bisa ketemuan setiap hari," si Haikal menimpali dengan berkedip genit. Dasar buaya. Semua cewek cantik dirayunya.

"Nggak usah. Kasihan Nada, tiap hari ketemu sama buaya buntung kaya lo."

Haikal mendengus mendengar balasanku. Playboy cap kadal ini selalu bertingkah. Jangan sampai Nada kecantol sama kegenitan dia. Romi muncul dan duduk di samping Brandon.

Waktu berlalu begitu cepat, obrolan kami bahkan ngalor-ngidul tak bertahan pada satu topik. Nada tampak santai menanggapi beberapa pertanyaan ataupun candaan yang sengaja dilontarkan padanya. Sesekali ia tersenyum malu karena mendapatkan pujian. Bagaimana tidak, Nada mampu mengimbangi pembicaraan kami yang tak jauh-jauh seputar olahraga ataupun bercerita tentang cewek-cewek populer di sekolahnya dan sekolahku.

Sedangkan Vara dari tadi diam. Dan hanya berbicara saat ada yang bertanya padanya. Sudah terlihat perbedaannya. Nada supel, Vara tidak. Nada menyukai olahraga, Vara tidak. Dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tak bisa ku sebutkan saat ini.

"Kalo gitu gue balik dulu. Dah sore! Thanks Rom buat traktirannya. Sering-seringin ya yang kayak gini!" pamit Dion dan beberapa teman lainnya. Romi melemparkan tutup botol air mineral ke arah Dion yang berhasil menghindar.

"Enak aja lo! Dah sono, pulang!"

Dion dan teman-teman lainnya pergi. Romi berdiri, menarik Brandon agar berdiri. "Nden, gue bareng lo ya? kan lo ngelewatin rumah gue."

"Tapi tadi gue bareng Vara. masa iya Vara gue tinggal?"

"Vara biar bareng sama Nada atau nggak bareng Yogi deh."

"Wah, sorry, Var. Abis ini gue ada janji sama Jihan. Lo bareng Yogi aja ya?" setelah itu Nada langsung berlari meninggalkan kami. Keningku berkerut merasa aneh dengan tingkah Nada.

"Nah, udah jelas 'kan? Kuy, gue bareng lo ya Nden?" Romi langsung menggeret paksa Brandon menuju ke parkiran. Meninggalkan aku dan Vara berdua.

"Ya udah. Ayo kita pulang," ajakku pada Vara sembari menarik lengannya menuju ke motorku. Vara tampak terkejut, kemudian dia berhasil mengimbangi langkahku.

Tak seperti tadi pagi, Vara refleks melingkarkan lengannya pada perutku setelah menaiki motor. Mendadak jantungku berdebar. Ah, tak apa mungkin dia takut jatuh.

Sepanjang jalan menuju rumah, kami hanya diam. Vara tak berkata apa-apa, aku pun tak tahu bicara tentang topik apa. Aku dan Vara benar-benar berkebalikan. apa yang aku suka, bukanlah apa yang Vara suka. Apa yang Vara suka bukanlah apa yang aku suka. Rasanya canggung sekali.

Untunglah kami sampai rumah saat matahari bersiap untuk kembali ke peraduan. Perjalanan tadi terasa sangat lama dibanding biasanya. atau keheningan diantara kami yang membuatnya lama?

"Makasih, Yog atas tumpangannya."

"Sama-sama."

Vara beranjak menuju ke pintu rumahnya. Setelah memastikan dia masuk ke rumah, baru ku jalankan motorku ke rumahku sendiri.

Mataku mengarah pada kantong plastik yang Vara berikan padaku tadi. Ku lihat isinya ada snack dan 4 kaleng minuman susu yang bergambar beruang. "Kenapa dia mesti repot-repot gini sih?"

Tapi lucu juga sih melihatnya, seketika membuatku terkekeh geli. Atau mungkin aku udah terbiasa mendapatkan perhatian darinya, hingga akhirnya aku jadi luluh gini?

******

Malam ini aku memilih bermain basket di halaman samping rumahku. Hanya lapangan berukuran separuh dari lapangan basket dengan satu ring. Jika teman-temanku menginap, kami biasa bertanding kecil-kecilan di sini. Biasanya kami memasang taruhan, entah siapa yang akan mentraktir bakso pak kumis, siapa yang masak mie, atau mentraktir makanan fast food yang di pesan secara online.

Kupantulkan bola beberapa kali, kemudian melemparnya ke ring. Kuulang beberapa kali. Beberapa kali meleset, beberapa kali juga masuk. Sepertinya kemampuan shooting-ku masih perlu diasah lagi. terutama untuk mencetak three-point. Keringat sudah mulai keluar dari pori-pori kulitku, tenagaku juga mulai terkuras. Setelah melempar bola satu kali, ku baringkan tubuhku di lapangan.

Malam ini tampak bersih tanpa awan menggantung di langit. Bintang-bintang bersinar saling memamerkan sinarnya. Bulan tak ingin kalah terang dari bintang-bintang yang tampak kecil. Malam yang indah dengan udara sejuk berhembus.

Mendadak pikiranku memutar kembali apa saja yang terjadi pada hari ini. dimulai pagi mendebarkan karena Edo yang berperan menjadi center di tim kami mendadak berhalangan hadir karena sakit dan beruntungnya ada si anak kelas sepuluh yang bisa menggantikan Edo. Lalu aku berangkat bareng Vara –yang entah bagaimana aku bisa kepikiran untuk memboncengnya. Kemudian kemenangan tim kami melawan SMA Brawijaya yang tahun kemarin menyabet runner-up di turnamen yang sama. Walaupun begitu, pertandingan tadi benar-benar menguras tenaga. Tim SMA Brawijaya benar-benar tak bisa diremehkan.

Pikiranku kini beralih mengingat Vara dan Nada yang mengucapkan selamat atas kemenangan di babak penyisihan ini. masih ku ingat wajah Vara yang ragu-ragu memberikan kantong plastik berisi makanan padaku. Kemudian saat makan bersama teman-teman yang lainnya hanya dia yang kalem menikmati makanan, sangat kontras dengan yang lain; sembari makan sambil bercerita ataupun bercanda.

Dan yang terakhir saat pulang bersama. Bagaimana dia melingkarkan lengannya pada perutku mampu membuatku berdebar. Seperti sekarang ini, jantungku mendadak berdebar kala mengingatnya. Tanganku refleks menyentuk dadaku. Aneh sekali. Kenapa aku begini sih?

"Yogi," seseorang memanggilku. Aku tak beranjak hanya kepalaku ku tolehkan. Sosok Vara mendekat padaku.

Eh, Vara?

Sosok yang ku kira Vara itu kini berdiri di sampingku. ah… penglihatanku ternyata salah. Dia ternyata Nada. aku bergerak mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk bersila. Nada duduk di sampingku ikut bersila. Di tangannya ada dua minuman ion. Tangan kanannya menyodorkan salah satu dari dua minuman itu padaku.

Ku terima minuman itu sembari tidak lupa mengucapkan terima kasih.

"Tumben banget lo main. Gue kira ada temen-temen yang lain kayak biasanya?"

"Lagi pengen aja. Lo juga tumben ke sini?"

"Gue tadi abis dari konter beli pulsa. Terus liat lo main jadinya mampir."

"Oh."

Setelah itu kami terdiam. Tampaknya menikmati hawa dingin yang kini menyergap kami tak masalah. Rasanya tenang dan damai.

"Yog."

"Hm."

"Menurut lo, Vara gimana?"

Kepalaku menoleh kearah Nada. heran mendengar Nada bertanya tentang saudara kembarnya itu. "Vara?"

"Iya. Vara. menurut lo dia kaya gimana?"

"Dia baik, kalem, nggak cerewet. Hm…. Perhatian."

"Cuma itu doang?"

"Emang lo mau jawaban kayak gimana?"

"Apa… lo sama sekali nggak ada—maksud gue, menurut lo ada nggak yang spesial dari Vara?" Nada makin tidak jelas. Dan aku makin tak paham. Special dari Vara?

"Dia pinter di matematika." Ku jawab saja dengan itu. memang benar 'kan Vara pintar di pelajaran matematika?

Nada menepuk jidatnya. Tangannya meraih botol dan meminum isinya hingga tandas. Ku lihat dia menarik nafas dalam-dalam kemudian menghelanya. Kemudian dia menoleh padaku. Tatapannya kali ini terlihat lebih serius.

"Gue kasih tahu rahasia Vara yang udah dia pendem terlalu lama. Dan gue harap lo bisa menerimanya."

Aku menatapnya dengan penasaran. Memang Vara punya rahasia apa sampek dipendem lama-lama seperti kata Nada? terus kenapa aku harus tahu rahasia Vara? lagian aku nggak peduli kok? Terus ken-

"Sebenarnya Vara itu suka sama seseorang." Belum usai pertanyaan di pikiranku terselesaikan, Nada sudah memotongnya dengan membuka rahasia Vara. dan entah kenapa mendengar kata 'suka sama seseorang' membuatku terganggu dan semakin penasaran. Oh, pikiran dan hati sialan? Bukannya tadi kalian tidak peduli, kenapa sekarang makin penasaran?

Siapa ya yang Vara suka? Apa mungkin si Brandon? Apa lagi melihat kedekatan mereka beberapa hari ini mungkin sudah membuktikannya.

"Emang Vara suka sama siapa?"

Oke, sepertinya aku benar-benar penasaran!

****

Pagi ini aku berangkat seperti biasa. Beberapa teman medekatiku dan mengucapkan selamat atas keberhasilan tim basket, padahal itu masih babak penyisihan, bukannya final. Aku tersenyum sesekali menanggapi dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Sesampainya di koridor mataku tertuju pada sosok Vara dan Brandon yang berjalan bersama.

Vara dengan tangan yang sibuk membawa map berisi mungkin buku-buku sedangkan Brandon dengan gaya sok cool memasukkan kedua tangannya di saku celana. Walau sesekali keluar dari saku dan menggerakkan seakan tengah menjelaskan sesuatu. Dan entah apa yang dicceritakan hingga Vara beberapa kali menutup mulutnya karena tertawa.

Seketika ingatanku kembali pada pembicaraanku dengan Nada semalam. Rasanya aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Nada. keningku berkerut mendapati tangan Brandon bergerak menyentuh puncak kepala Vara. ah, bukan-bukan. Tepatnya mengambil daun yang jatuh di puncak kepala cewek itu.

"Hei, Yog," sapa Brandon yang kini sudah berada di depanku. Vara juga berhenti di depanku. Aku menanggapinya dengan anggukan kepala. Tapi mataku fokus pada Vara.

Tunggu! Aku tidak mendapati kotak bekal yang biasa Vara bawa untukku.

"Halo, Yog. Brandon aku ke kelas dulu ya?" pamit Vara. kemudian dia meninggalkanku dan Brandon di depan kelas. Sedangkan Vara menuju ke kelasnya di gedung seberang. Mataku terus mengikuti pergerakannya. Entah sejak kapan kini aku benar-benar terbiasa melakukan ini. memperhatikannya hingga dia masuk ke kelas.

"Yog, lo udah ngerjain pr matik belum? Gue pinjem dong."

"Nggak boleh. Enak aja." Aku melenggang masuk. Mendadak aku merasa jengkel. Tapi Brandon tak melepaskanku dan menggelayutiku dan memohon-mohon agar mau meminjamkan pr ku.

"Yah, lo kok gitu sih, Yog. Gue kan Cuma nyontek sedikit kok. Nggak banyak-banyak. Ya ya ya?"

"Nggak boleh, Nden."

"Tumben banget sih lo pelit. Biasanya juga lo oke-oke aja." Aku duduk di bangku ku. Dan masih saja Brandon menggelayutiku. Aku mengalihkan pandangan pada Brandon. Mendadak aku sebal seperti cewek pms. Pokoknya aku tidak suka kedekatan keduanya.

"Ah elah. Pelit amat sih. Atau gue ke kelasnya Vara aja minta bantuan sama dia?" mataku menajam mendengar dia akan menemui Vara untuk membantu mengerjakan pr matematika. Tanganku langsung membuka resleting tas dan mengambil buku tugas matematika.

"Nih! Nggak usah ngrepotin Vara deh. Cuma pr segini doang."

"Nah, gitu dong. Masa sih gue perlu minta bantuan Vara, padahal ada elo yang bisa."

Aku hanya memutar kedua bola mataku menanggapi perkataannya. Sebenarnya dia hanya memancingku agar mau memberikannya contekan berdalih menggunakan Vara.

******

Aku pergi menuju ke kantin bersama Dion di jam istirahat kedua ini. kantin tampak ramai seperti biasa dengan beberapa siswa mengantre di masing-masing kios.

"Baksonya pak kumis aja ya, Yog?"

"Iya deh."

Aku dan Dion mengatre di depan kios pak kumis yang tak terlalu rama. Dan sudah dipastikan jika tak banyak mengantre ini pasti sebentar lagi mau habis. Ah, semoga saja masih. Malas kalau harus mengatre lagi di kios yang lain. Dion sibuk chatting dengan pacarnya, malas mengganggu aku memilih mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantin. Pandangan ku berhenti pada sosok Vara yang ternyata berdiri di belakangku yang juga ikut mengantre di kios pak kumis.

"E-eh, Yogi."

"Hmmm. Lo sendirian aja?"

Vara mengedipkan kedua matanya beberapa kali usai mendengar pertanyaanku. Sepertinya aku memang harus berhenti bersikap dingin padanya.

"O-oh. I-itu.. teman-teman yang lain sudah memesan nasi goreng. Aku sendiri yang pengen baksonya pak kumis."

Aku menganggukan kepala mendengar jawabannya. Akhirnya giliranku dna Dion. Pak kumis menyapaku. "Wah, Mas Yogi, selamat yo! Tim basket bisa lolos babak penyisihan. Denger-denger musuhnya susah yo Mas?"

"Iya, Pak. Lumayan susah. Tapi syukurlah tim kita menang pak."

"Iya. Moga terus menang yo, Mas. Pokoknya bisa sampek juara satu."

"Siap. Doa in ya pak biar menang."

"Iya mas. Nih baksonya udah saya doain biar menang terus."

Aku tertawa mendengar candaan pak Kumis. Dua mangkok bakso sudah tersaji di depanku dan Dion. Setelah itu aku dan Dion beranjak dari sana.

"Pak, baksonya dong satu. Nggak pakai bihun ya?"

"Duh, mbak Vara. baksonya udah habis."

"Yah, masa nggak ada sisa sih pak? Lagi pengen banget bakso nih?"

"Yah, maaf mbak."

Aku menghentikan langkah kemudian menoleh pada Vara yang kini berjalan lesu meninggalkan kios pak Kumis. Ku dengar tadi dia tidak dapat baksonya.

"Kenapa, Yog?"

Aku menoleh. Menatap bakso pesananku. Sepertinya…

"Bentar. Gue beli soto aja. Lo cari tempat duduk buat gue ya. sini bakso punya gue."

Mangkok bakso milikku langsung ku ambil begitu saja dari loyang yang dibawa Dion. Terdengar dia memanggil ku menanyakan alasanku, tapi aku tak menghiraukannya. Langkahku tiba-tiba sudah sampai pada Vara yang bergabung dengan teman-temannya dengan es teh pesanannya.

Langsung ku letakkan bakso milikku di atas meja depannya. Dia mendongak ke arahku. Bukan hanya dia, tapi juga beberapa pasang mata di sekitar kami dengan pandangan bertanya.

"Tadi lo pengen bakso 'kan? Nih baksonya buat lo. Gue beli soto aja." Setelah itu aku beranjak meninggalkannya.

"Yog, Yogi!" aku terus berjalan menuju ke kios soto tanpa menghiraukan panggilannya. Dan setelah itu aku bertanya-tanya akan sikap anehku hari ini. sebenarnya apa yang terjadi padaku?

*****

"Woho!!!"

Tim basketku berseorak. Bagaimana tidak bersorak saat tim kami berhasil melawan SMA Bakti Jaya. Pertandingan ini tak seberat melawan SMA Brawijaya kemarin menurutku. Pak Herman juga tak banyak melakukan pergantian pemain seperti pertandingan kemarin. Hanya menggantikan Romi karena dia sepertinya kelelahan.

Penonton bersorak senang, terutama dari SMA kami. Bersyukur bisa melangkahkan kaki ke babak selanjutnya menuju babak perempat final. mataku mendapati Vara dan Winda temannya ada di tribun. Dia terlihat senang sekali ikut bersorak menyemangati. Lucu juga melihatnya kegirangan seperti ini. jarang-jarang bisa melihatnya tertawa bebas.

Setelah pertandingan selesai aku dan Romi keluar bersama. Pandanganku tiba-tiba terarah pada sosok Vara yang mengobrol dengan Winda. Romi berpamitan pulang duluan. Aku melangkah mendekati keduanya. Ku lihat Winda melambaikan tangannya meninggalkan Vara.

"Vara," panggilku membuatnya mengalihkan pandangan dari ponsel ke arahku. Aku tersenyum. Dia terdiam menatapku tanpa berkedip.

"Pulang bareng sama siapa?"

"Ka-kayaknya aku pesan ojek online saja."

"Pulang bareng gue yuk? Lagian si Romi udah pulang duluan tadi."

Vara menatapku tak percaya. "Pu-pulang bareng?"

"Iya. Pulang bareng gue."

"O-oke. Kalau gitu ayo."

Aku senang tak mendapatkan penolakan darinya. Aku berjalan dia menyusul di belakangku. Spertinya dia lupa. Aku menarik tangannya mendekat hingga dia melangkah sejajar denganku. Tangannya kali ini tak kulepaskan daripada dia tertinggal karena tak bisa mengimbangi langkahku.

"Lo udah lupa ya. gue nggak suka ya kalo jalan sama temen depan belakang kayak tadi?"

"Oh. Maaf."

"Var."

"Ya?"

"Salah nggak kalo gue suka sama seseorang?" Vara menoleh ke arahku. Langkahku terhenti, begitu juga Vara. kali ini sepenuhnya aku menghadap padanya. Dia tampak bingung dan tak menjawab pertanyaan yang terlontar dariku.

"Gimana kalau gue…"

Bibirku berhenti bergerak. Mataku menatap Vara dalam-dalam. Mendadak aku suka dengan warna iris matanya yang hitam itu.

"…gue suka sama lo."

Vara terdiam. Matanya berkedip cepat. Aku bisa lihat kerutan di keningnya bertambah, dan kedua matanya menyipit.

"Ka-kamu… kamu pasti bercanda kan Yog?"

"Nggak. gue nggak bercanda. Gue serius. Jadi, lo mau nggak jadi pacar gue?"

****

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Pinkbunnycreators' thoughts
Siguiente capítulo