Dia menjelaskan hidup di panti asuhan itu sangat membosankan dan selalu harus mengikuti perintah dari pemilik panti. Dia merasa hidupnya seperti terkekang di dalam sangkar dan rasanya sulit untuk ke luar dari tempat itu. Akan tetapi, untungnya dia tidak sendiri menghadapi hal itu. Dia ditemani oleh seorang sahabat baiknya.
"Wah, Kakak sangat beruntung memiliki teman seperjuangan dalam hidup." Gideon tersenyum penjelasan Anastasia. Raut wajahnya seketika murung beberapa menit setelahnya. "Sedangkan diriku hanya seorang diri."
"Gideon aku yakin kamu pasti memiliki teman. Akan tetapi, aku merasa mungkin belum mendapatkannya."
Beberapa menit kemudian, terdengar suara gonggongan anjing yang terdengar semakin jelas. Anastasia berbalik dan melihat anjing madam Theresa berlari ke arahnya dan seketika melompat ke arahnya.
"Hei Wolfy, tenanglah," ucap Anastasia dengan tertawa. "Kamu pasti sangat senang kan setelah bermain cukup lama?"
"Kakak punya peliharaan?" tanya Gideon penasaran.
"Ah, bukan. Aku hanya ditugaskan untuk membawanya bermain di luar,"
"Wah, anjing yang sangat lucu. Kak, apakah aku boleh menyentuhnya?"
"Oh, ya. Tapi Wolfy bisa sangat galak kepada orang asing," ucap Anastasia memberikan peringatan. "Aku saja kewalahan menjaganya."
Akan tetapi ketika Gideon menyentuhnya, Wolfy terlihat tenang dan tidak menunjukkan gerakan menyerang. Anastasia yang melihat hal itu merasa takjub. Wolfy terlihat begitu menurut dengan setiap yang diucapkan Gideon.
"Wow, kamu seperti pawang anjing Gideon." Anastasia menepuk tangannya.
"Iya Kak, soalnya aku juga memiliki seekor anjing."
Gideon menjelaskan bahwa di tempatnya dia memiliki anjing yang sama persis dengan milik Madam Theresa, tetapi berbeda jenis. Dia mengatakan bahwa anjingnya merupakan ras Malamute, sedangkan anjing milik madam Theresa merupakan Wolf hybrid.
"Wow, Gideon aku sama sekali tidak mengetahui jika kamu mengetahui hal itu." Bola Mata Anastasia terlihat membesar mendengar Gideon yang lebih kecil darinya berbicara demikian.
"Iya Kak, soalnya aku sering mempelajarinya di rumah. Aku sangat senang dengan binatang khususnya anjing," ucapnya diikuti dengan senyum lebar di bibirnya. "Kak, aku merasa anjing ini mulai menyukaimu."
"Hah? Bagaimana bisa kamu bisa mengetahui hal itu?"
"Anjing ini sendiri yang mengatakannya kepadaku," ucapnya sambil terus mengusap kepala Wolfy.
Anastasia semakin heran dengan semua ucapan Gideon. Akan tetapi, ada hal yang membuatnya semakin penasaran. Saat mengatakan hal itu, bola mata Gideon sekilas berubah warna dari cokelat menjadi kuning tua. Awalnya dia ingin langsung menanyakan kepada Gideon, tetapi karena perubahannya hanya terjadi sesaat, dia mungkin menganggap bahwa itu akibat cahaya matahari atau sesuatu.
Gideon lalu berdiri dari kursinya dan tersenyum. "Kak, terima kasih karena telah membantuku. Aku sangat bersyukur atas kejadian hari ini."
"Gideon, aku juga senang kita bisa bertemu." Anastasia membalas perkataan Gideon dengan senyum. "Setidaknya aku tidak sendiri di sini."
"Sampai jumpa, Kak. Kita pasti akan bertemu."
Gideon melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan Anastasia yang masih duduk di kursi. Beberapa menit kemudian, Anastasia juga merasa sudah waktunya untuk kembali ke panti. Dia berdiri dari kursi dan membawa Wolfy pulang. Selama di perjalanan pulang, pikirannya terus membayangkan ucapan Gideon dan perubahan warma mata miliknya.
Hmm… Gideon. Aku merasa ada yang aneh darinya. Akan tetapi, entahlah sulit untuk mengatakannya.
Untunglah selama di perjalanan Wolfy tidak membuat kekacauan, sehingga Anastasia tidak kewalahan seperti pertama kali. Beberapa lama kemudian, mereka sampai di depan pintu. Sebuah kertas tertempel di pintu masuk panti.
Aneh, siapa yang menempelkan kertas ini?
Anastasia berjalan mendekat dan terlihat sebuah tulisan yang ternyata itu adalah tulisan Madam Theresa. Dia mengatakan bahwa setelah Wolfy bermain dia harus dibersihkan sebelum masuk ke dalam rumah.
"Argh! Wanita tua ini memang selalu membuat tensiku terus naik."
Anastasia mengepalkan tangannya. Dadanya terasa sesak dan kepalanya mulai memanas. Namun, mengingat kondisinya yang sekarang sulit untuk melawan kehendak wanita tua itu.
"Anas tenang… Kamu bisa pasti melewati ini semua."
Ucapan itu terus diucapkannya di dalam hati seperti kata mantra untuk membuat dirinya semakin bersemangat. Anastasia hanya bisa menarik napas dan membawa Wolfy ke belakang untuk dibersihkan.
"Ok Wolfy, waktunya untuk mandi," ucap Anastasia sambil menarik Wolfy ke belakang untuk dimandikan.
Dia lalu mengikat Wolfy di sebuah tiang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari keran air. Anastasia lalu mencari cara agar bisa membersihkan badan Wolfy yang sudah dipenuhi dengan debu dan kotoran. Matanya lalu melihat sebuah selang panjang berwarna hijau tergeletak di atas tanah dan mengambilnya.
"Ok, sekarang tidak memasangkan selang ini di kran. Aku berharap kran airnya masih berfungsi dengan baik."
Dia kemudian memasangakan keran air dan perlahan memutarnya. Beberapa detik kemudian, air mengalir ke luar dari keran. Anastasia mengambil selang itu lalu mulai menyiram Wolfy dengan semburan air.
Setelah selesai memberishkan Wolfy, mereka kemudian masuk ke dalam. Anastasia perlahan membuka gagang pintu dan melangkah masuk. Akan tetapi, ternyata madam Theresa telah menunggu di depan.
"Anastasia, kenapa kamu lama sekali?" ucapnya Madam Theresa sambil memeriksa kuku jemarinya. Dia lalu berjalan dan menarik tali Wolfy dari genggaman Anastasia dengan kasar. "Kamu tahu kan, Wolfy bisa sakit jika terlalu lama di luar."
"Iya Madam, tapi Wolfy tampaknya baik-baik saja," ucap Anastasia membela ucapannya.
"Eh, kamu itu jangan kebanyakan melawan orang tua." Madam Theresa lalu menampar Anastasia hingga pipinya berubah warna. "Kamu itu sudah diajarkan tata krama bukan?"
Sial! Wanita bangsat!
Air matanya mulai terbentuk. Akan tetapi, dia terus menahannya agar tidak mengalir begitu saja. Dia tidak ingin Madam Theresa mengejeknya untuk ke sekian kalinya. Dadanya terasa panas. Aliran darahnya mulai menyentuh ubun-ubun kepalanya. Akan tetapi, dia harus terus menahan amarahnya mengingat posisinya yang sekarang kurang mendukung. Dia hanya bisa menghela napas panjang dan terus memegang pipinya.
"Ingat, ini rumahku! Kamu harus mengikuti semua aturanku." Madam Theresa menaikkan suaranya dan menatap Anastasia.
Madam Theresa lalu pergi meninggalkan Anastasia yang terus saja menundukkan kepalanya. Beberapa menit setelah langkah kaki Madam Theresa tidak terdengar, Anastasia berlari ke kamarnya dan segera menutup pintu.
Air matanya yang semakin banyak tidak mampu lagi terbendung dan perlahan mengalir mengikuti lekuk pipinya. Dia sudah mampu untuk menahan sakit hati di dalam hatinya. Dia berusaha meredam teriakan serta tangisannya menggunakan satu-satunya bantal yang berada di kamarnya.
Sial! Kenapa harus aku! Kenapa!
Ucapan itu terus terngiang di dalam pikirannya. Anastasia sangat jengkel dengan kehidupannya. Dia sama sekali benci dengan ini semua. Dirinya selalu dianggap seperti sampah dan tidak pernah dipandang oleh siapa pun. Banyaknya tuntutan kerja yang diberikan madam Theresa kepadanya membuatnya terkadang hidup seperti di dalam sangkar. Rasanya begitu menyebalkan.
Beberapa lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar dari luar ruangan. Dia terdiam sejenak dan menyeka sisa air mata yang melekat di pipinya.
"Iya, tunggu."
Anastasia berjalan ke depan pintu dan perlahan membuka pintu. Seorang wanita berambut kuning dengan mata yang terlihat sembab berdiri di depannya.
"Anas, aku tadi mendengar suaramu dengan madam Theresa." Bianca seketika membesarkan kedua bola matanya melihat pipi Anastasia agak kemerah-merahan. "Astaga Anas! Apa yang terjadi denganmu?" tanya Bianca yang langsung masuk ke dalam kamar Anastasia.
"Bi, tenanglah." Anastasia berusaha menyimpan rasa sakit yang dialaminya.
"Anas, aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu," ucap Bianca dengan senyum manis yang terlukis jelas di bibirnya. "Ayolah, kita kan sahabatan."
Anastasia menarik napas yang dalam lalu menceritakan secara mendetail kejadian yang barusan dialaminya. Air matanya ikut berlinang ketika menceritakan kejadian itu.
"Bi, apakah memang hidup kita akan seperti ini?" ucapnya dengan isak tangis.
"Anas, tenanglah aku yakin suatu saat hidup kita akan jauh berbeda dari ini semua." Bianca langsung memeluk Anastasia dan berusaha menenangkannya. "Ingat, kita kan sahabat harus saling menguatkan."
Anastasia merasa sangat bersyukur bahwa dia sama sekali tidak sendirian, karena akan ada seorang sahabatnya yang akan selalu ada di sisinya.
***