webnovel

Angkasa Merona Berhias Bintang.

Jakarta, 17 Agustus 1945

Asril mengetuk pintu rumah kawannya. "Assalamualaikum! Dang! Dadang!"

Pintu terbuka. "Waalaikumsalam! Masuk, Ril," ajak Dadang.

"Tak perlu. Aku hanye sebentar, nak menyampaikan berite gembire."

"Masuk dulu, Ril," ajak Dadang lagi.

"Dengarlah dulu, karene setelah ni, aku harus segere sampaikan pule pada kawan yang lain. Indonesia dah merdeke, Dang!"

Dadang terkejut. "Jadi kita sudah merdeka?"

"Aku menyaksikan langsung proklamasi kemerdekaan Indonesia yang tlah disampaikan Bung Karno dan Bung Hatta di jalan Pegangsaan."

"Berarti kau harus masuk! Aku ingin mendengar ceritanya," paksa Dadang sambil menarik Asril. "Duduk dulu, Ril. Bu! Buuu!" teriak Dadang.

Istri Dadang menyahut dari dapur, "Ya!"

"Ada Asril! Tolong buatkan teh! Bikin pisang goreng dan keluarkan kue-kue kita!" teriak Dadang pada istrinya.

Dadang duduk di sebelah Asril.

Asril menggeleng-gelengkan kepala. "Pande kali kau, Dang. Kau jamu pulak aku, bise lame lah. "

Dadang tertawa. "Kok bisa, Bung Karno dan Bung Hatta mendadak menyatakan kemerdekaan Indonesia?"

"Hmm, entah darimane aku harus memulai? ... Begini, kite kan tahu, pihak kubu Jepang tlah terjepit oleh pihak sekutu. Ternyate, pade tanggal 6 agustus yang lalu, Amerike Serikat menjatuhkan bom atom ke kote Hiroshima, lalu 3 hari berselang, menjatuhkannye lagi di kote Nagasaki. Kejadian tu membuat Jepang bertekuk lutut pade musuhnye."

"Masya Allah! Terus?"

"Para pejuang mude yang memantau jalur komunikasi radio mengabarkannye pade Bung Sjahrir. Kelompok ini merase sudah saatnye Indonesia merdeke," ujar Asril.

"Ya, tapi kan Bung Sjahrir sering berselisih pendapat dengan Bung Karno."

"Memang."

"Lho, kok memang? Setahuku kelompok pemuda yang mendukung Bung Sjahrir juga menentang para pejuang senior yang sedang mempersiapkan kemerdekaan bersama Jepang?"

"Betul."

"Lho, kok betul?

"Sebelumnye memang sempat terjadi perselisihan. Pare pejuang mude tu membawe Bung Karno dan Bung Hatta sebagai tawanan ke Rengas Dengklok, mereke nak memakse supaye kemerdekaan segere diumumkan."

"Walah, terus?"

"Itulah bedenye anak mude dan orang tue. Biaselah, darah mude segale nak serbe cepat, sementare orang tue terlalu banyak menimbang."

"Kita memang harus memikirkannya dengan matang. Saat Jepang kalah, berarti pihak sekutu yang menang pasti akan mengambil wilayah jajahannya. Jangan sampai lepas dari mulut harimau, kita masuk lagi ke mulut buaya. Apa kita sudah siap menghadapi kedatangan buaya?"

"Justu itulah, Dang. Mau merdeke atau tidak, buaye tu pasti kembali. Lebih baik menyatakan merdeke sajelah, urusan buaye kite tengok nanti. Mungkin itu yang membuat Bung Karno dan Bung Hatta mau mempertimbangkan kemauan pare pejuang mude."

"Tapi membuat negara kan enggak boleh terburu-buru, Ril."

"Hmm, betul pulak. Membuat negare memang tak boleh terburu-buru, jangan disamekan macam membuat teh dan pisang goreng," ujar Asil sambil tersenyum.

Dadang jadi teringat sesuatu.

"Bu! Mana teh dan kawan-kawannya!" teriak Dadang.

"Iya, iya! Sabar!" teriak istri Dadang dari dapur.

Asril tertawa. "Ku bilang tak boleh terburu-buru, kau malah berteriak pade binimu."

Dadang tertawa. "Lha, istriku bikin begituan aja lama, apa lagi aku suruh bikin negara, hehehe."

Istri Dadang datang membawa teh dan kue-kue. "Diminum tehnya. Maaf, pisang gorengnya masih digoreng ya, Bang Asril."

Asril tertawa. "Terime kasih. Tak perlu terburu-burulah, Kak. Bang Dadang ni memang tak sabar betul."

Istri Dadang tertawa lalu kembali ke dapur.

"Jadi setelah merdeka, kita mau memperjuangkan apa lagi?" tanya Dadang.

"Kite harus mengabarkan soal ni pade rakyat Indonesia. Jangankan dunie luar, rakyat kite sendiri pun tentu belum tahu," jawab Asril.

"Eh, tapi Ril, rakyat Indonesia itu, wilayahnya yang mana saja ya?" tanya Dadang.

Asrul berpikir sejenak. "Sumatera, Jawa ... "

Dadang melanjutkan, "Malaya, Borneo, Sulawesi."

"Malaya dan sebagian Borneo tu bekas jajahan Inggris, Dang."

"Lho? Tapi kan sudah jadi jajahan Jepang juga? Jadi definisi rakyat Indonesia itu, orang-orang yang tinggal di wilayah bekas jajahan Belanda atau Jepang?"

"Bingung pulak aku jadinye, Dang. Nampaknye bekas jajahan Belanda."

"Berarti termasuk orang-orang yang tinggal di pulau-pulau wilayah timur. Setahuku disana ada juga negeri yang pernah dijajah Belanda tapi tidak serumpun."

"Ah, kalau begitu, semue negeri yang serumpunlah."

"Kalo serumpun secare bahasa Melayu, berarti mungkin Sumatera, Malaya dan Borneo. Kalo serumpun secara ras, kita tambah Jawa, Sulawesi, Maluku, Birma yang pernah jadi jajahan Inggris. Ada juga Champa, Laos dan kamboja yang pernah dijajah Perancis. Filipina yang dijajah Amerika hingga Thailand yang enggak pernah dijajah bangsa Eropa. Terus kesimpulannya yang mana? Kita ini satu bangsa dengan yang serumpun atau yang sama-sama dijajah Belanda atau yang sama-sama dijajah Jepang?"

"Entahlah!"

"Terus kita mau ngabarin soal merdeka ini ke mana, Ril?"

"Ah, jadi pening kepaleku kau buat, Dang. Lagi pule kau cume punye sepede, tapi bicaremu jauh hingge menyeberang pulau yang sangat jauh. Biarlah ini menjadi pembahasan pare pemimpin kite," sahut Asril.

Dadang tertawa. "Yang penting kita sudah merdeka ya?"

"Kau membuatku teringat tanah kelahiranku. Di Sumatera Timur ade beberape kesultanan. Bagaimane nanti jadinye?" tanya Asril.

"Bukan cuma di tempat kamu, Ril. Di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Maluku dan yang lainnya juga ada banyak kerajaan atau pemimpin adat. Saya belum bisa membayangkan, seperti apa nantinya bentuk negara kita," jawab Dadang.

"Semoge semua pihak nantinye memang dirangkul," tambah Asril.

Usai bicara, Asril dan Dadang pergi menjumpai teman-teman mereka untuk menyebarkan kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hari ini para pejuang merayakan kemenangan. Pekik teriakan 'Merdeka!' terdengar di mana-mana.

Siang pun berganti malam. Angkasa merona berhias bintang, seolah ikut mewarnai kemenangan negeri yang sedang terbebas dari penjajahan.

*****

Penjara khusus tahanan politik, Jakarta, 1945

Irwansyah menatap angkasa yang penuh bintang. Ia merasa malam ini lebih sunyi dari biasanya. Memang sudah berbulan-bulan, penjara ini tidak memiliki penghuni selain dirinya dan Jajat, tetapi biasanya ia masih mendengar gelak tawa para sipir yang mabuk dari rumah di sana setiap malam. Jajat pun telah tidur, ia memang sedang sakit.

Irwansyah belum mendengar kabar gembira proklamasi kemerdekaan Indonesia, tetapi ia menduga hari ini peristiwa besar itu telah terjadi. Dulu Jajat pernah bilang, jika sipir telah meninggalkan mereka maka itu adalah pertanda Indonesia merdeka. Sejak siang hingga malam, ia dan Jajat tidak mendapat jatah makan. Saat pisang telah menjadi makanan utama, artinya lonceng kemerdekaan telah berdentang.

Tanpa sepengetahuan Irwansyah dan Jajat, Tentara Jepang memang telah menjemput para sipir agar terhindar dari bahaya setelah mendengar kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka pun pergi begitu saja tanpa memberi kabar pada tahanan.

Untuk Irwansyah dan Jajat, merdeka justru titik awal untuk mengubah arah tujuan perjuangan, yang sebelumnya untuk negeri, sekarang hanya untuk sekedar mengisi perut sendiri agar bisa bertahan hidup.

*****

Rumah Tengku Usman, Langkat, Februari, 1946

"Bang, awak baru tahu. Ternyate Indonesia sudah merdeke sejak tahun lalu," ujar Tengku Sani saat mendatangi rumah Tengku Usman.

"Abang pun baru dengar sekitar akhir tahun yang lalu karene diundang dalam acare pertemuan pare bangsawan Sumatera Timur. Kami berunding tentang ape bise kesultanan dan kerajaan bantu untuk negeri baru kite," sahut Tengku Usman.

"Maaf, Bang. Bukannye awak tak mau ikut gembire. Awak tak begitu yakin kesultanan masih diperhitungkan untuk diajak mengatur negeri."

Tengku Usman tersenyum. "Janganlah berburuk sangke."

"Ini kenyataan, Bang. Awak tengok, sekarang justru orang-orang Volksfront yang mengatur wilayah kite," sahut Tengku Sani.

"Sabarlah. Sebagai negare baru, tentu masih banyak urusan lebih penting yang harus dikerjekan pare pendiri negare. Apelagi tempat kite ni sangat jauh dari tempat mereke."

"Awak ni same sekali tak tertarik pade kekuasaan, tapi awak pun tak mau kite diatur oleh orang yang salah. Awak takutnye, pare pendiri negare tak mengenal siape yang patut mewakili mereke di wilayah-wilayah yang jauh. Ape mereke tahu tentang kesultanan di sini dan kenal pade sultan kite?"

Tengku Usman berpikir sejenak.

"Seandainye saudare-saudare kite di pulau seberang tak mengenal kesultanan, setidaknye pare pejuang senior, banyak yang mengenal name Tengku Amir Hamzah," ujar Tengku Usman.

"Maaf, Bang. Bang Busu tu seorang yang tak terlalu banyak cakap, sehingge awak sendiri pun sebetulnya tak bise mengenalnye lebih dalam. Ape yang membuat Bang Usman yakin?" tanya Tengku Sani.

"Bang Busu tu boleh dibilang salah satu konseptor Sumpah Pemuda. Itu bukan hal kecil, San. Untuk mewujudkan Indonesia butuh pengikat, karene kite terdiri dari berbagai macam suku, bangse dan bahase. Berjuang tu bukan cume dengan senjate. Beliau yang ahli soal bahase, berjuang dengan caranye. Name Tengku Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane dikenal sebagai pejuang pena. Mereke pernah membuat majalah Poedjangga Baroe untuk membantu mengenalkan Indonesia. Tujuannye adalah untuk membangkitkan kesadaran, bahwa Indonesia merupakan gagasan, cite-cite dan sekaligus jawaban untuk menyatukan kite-kite yang berbede ni menjadi sebuah bangse yang besar. Sekarang kite telah mendengar kabar hasil perjuangan beliau di masa lalu. Tak mungkin, saudare-saudare pejuang kite di seberang melupakan jasanye."

"Sekarang awak baru paham, Bang, betape besar jase Bang Busu. Lalu kenape beliau tak melanjutkan lagi perjuangannya di sini?" tanya Tengku Sani.

"Sebetulnye beliau memang dipakse pulang ke Langkat karene Belande tak nyaman pade kiprah jiwe nasionalisnye di Pulau Jawe," jawab Tengku Usman.

"Oh, begitu rupanye. Maksud hati nak melawan Belande, ape daye beliau seorang bangsawan penting dari kesultanan yang dah terikat kerjesame pade Belande. Macam makan buah simalakame rasanye. Dimakan mati emak, tak dimakan mati bapak," sahut Tengku Sani.

"Betul kali perumpamaan tu. Lalu, ape kau ingat? Pade tahun 1940, Belande pernah membuat Divisi Stadswacht untuk mempertahankan wilayah Langkat dan menyambut kedatangan Jepang. Pade siape tanggung jawab itu Belande serahkan?" tanya Tengku Usman.

"Pade Bang Busu dan Bang Harun."

"Nah, bayangkan, San. Bagaimane rasanye bile kau dipilih musuhmu untuk membele kepentingannye?"

"Pedih betul. Sudah tu, posisi beliau membuatnye ditahan pulak sebagai tawanan perang oleh Jepang hingge tahun 1943."

"Becerite soal ni, aku jadi tekenang Irwansyah. Saat Bang Busu ditangkap Jepang, Irwansyah pernah bilang padaku, nak membantu melepas Bang Busu. Tapi, belum die sempat mengurus, die sendiri pun malah lenyap ditelan bumi, bahkan urusan pernikahannya sendiri pun tak jadi. Malang betul nasibnye. Ape kau masih belum dapat kabar tentang die, San?" tanya Tengku Usman.

"Belum, Bang. Bukan awak tak berniat mencarinye ke Jakarta. Sejak Jepang datang, kondisi negeri selalu dalam bahaye. Awak tak mungkin pergi sendiri tanpe anak dan bini, tapi tak mungkin juge membawenye ke tempat yang awak pun belum tahu kondisi keamanannye."

"Tentulah. Memang di sane nampaknye lebih tak aman, San."

"Tapi, sekarang ade kabar bahwe kite dah merdeke. Memang tujuanku datang, nak memberi tahu Bang Usman. Insya Allah sekejap lagi awak akan membawe anak bini untuk pindah ke Jakarta, agar bise mencari Irwansyah."

"Kau belum pernah menyebrang ke Pulau Jawe, San. Mau pindah pulak. Di sini hartemu belimpah karene punye perkebunan dan tambak. Nanti di sane, ape yang mau kau buat untuk menafkahi keluarge?"

"Awak sudah jual perkebunan dan tambak di sini, lalu itu akan jadi modal untuk berdagang di Jakarta."

"Kau memang pandai mengolah harte dan tak suke terikat. Itulah sebab, kau lebih memilih berniage sendiri ketimbang mengurus tembakau Deli. Ya, bile dah bulat keputusanmu, aku hanya bise berdoe, semoge kau bise hidup lebih baik di sane berjumpe dengan Irwansyah."

*****

Apartemen Rizal, Kuala Lumpur, Malaysia, 1990

Atuk Irwansyah mengamati wajah Rizal, ia seperti sedang memastikan apa yang ada di dalam pikirannya.

"Kau punya gelar Tengku di depan namamu, Zal?" tanya Atuk Irwansyah.

"Punya, Tuk," jawab Rizal.

Fania terkejut. "Jadi kamu juga orang Melayu? Kamu bilang orang Jakarta."

"Maksudnya lahir dan besar di Jakarta, ayahku memang orang Melayu," jawab Rizal.

"Terus, kamu juga enggak pakai gelar Tengku, kenapa sih?" tanya Fania.

"Aku malu, Fan. Maaf, Tuk, Tengku itu gelar bangsawan Melayu. Tidak cocok dengan kondisi ekonomi keluarga saya yang miskin," jawab Rizal.

Atuk Irwansyah tersenyum. "Apakah ada, orang zaman sekarang yang masih memakai gelar bangsawan karena ingin menunjukkan status sosial? Menurutku, itu karena mereka ingin menghormati satu-satunya warisan yang masih tertinggal dari pendahulunya. Pakailah, Nak, setidaknya untuk menunjukkan tanda cintamu pada garis keturunanmu."

"Baik, Tuk. Sebenarnya juga ada alasan lain. Justru, kakek saya yang melarang keturunannya memakai gelar Tengku, bahkan tidak boleh sedikitpun menunjukkan hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat Melayu. Saya tidak tahu apa alasannya," jawab Rizal.

Atuk Irwansyah menitikkan air mata. Semoga aku tidak salah menduga. Sepertinya, aku tahu dari mana darah yang mengalir di tubuhmu.

*****

Siguiente capítulo