Masa sekarang
Arvy terbangun dari mimpi panjangnya. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering bermimpi tentang masa lalunya bersama Gita. Kemarin bermimpi tentang Amy sekarang tentang Gita. Apa dia benar-benar kesepian? Ia ingat diminta cepat menikah oleh kakek.
Ia bangkit dari ranjang dan mencuci wajahnya. Menatap pantulannya di cermin, betapa kacaunya dirinya. Tidak bisa diandalkan dan lemah.
Arvy mematung dan memikirkan banyak hal tentang masa lalunya.
"Aku…merindukannya."
***
"Kau baik-baik saja? tanya Alfa.
"Hem. Kenapa?"
"Kau terlihat pucat."
"Benarkah? Tapi aku baik-baik saja."
Tiba-tiba tangan kiri Amy panas, awalnya panas biasa, namun lama-lama, panasnya menjadi amat sangat. Ia menahannya dengan menggenggamnya dengan kesakitan. Ia berusaha mengontrol ekspresinya agar Alfa tak menyadarinya.
"Kita akan kemana malam ini?"
"Kau lupa? Tadi kan aku sudah mengatakannya."
Mereka berdua menuruni tangga apartemen menuju parkiran basemen atau lantai bawah. Alfa melihat Amy menekan telapak tangan kirinya dengan tangan kanan. Meskipun Amy berekspresi biasa namun keringat dari pelipisnya sangat banyak, bibirnya kering dan memutih pucat.
"Amy, kau yakin baik-baik saja?" Alfa menghentikan langkahnya.
Kini Amy tak menyahut.
Mendadak penglihatan Amy buram, ia memegang telapak tangan kirinya hingga tak sadar melukainya dengan kuku hingga meninggalkan goresan dan berdarah.
Alfa terkejut dan melihat Amy yang hampir oleng. ia menangkapnya sebelum Amy jatuh.
"Amy!"
"Sakit sekali."
"Apa? Apa yang sakit?"
Amy makin melukai tangan kirinya dengan kuku. Lukanya semakin dalam. Alfa menggendongnya dan membawanya kembali ke kamar apartemen.
"Aku akan menelepon Kak Dio," kata Alfa dengan panik setelah membaringkan Amy di ranjangnya.
"Jangan," pinta Amy.
"Jangan panggil siapapun."
"Apa?"
"Kumohon."
Alfa akhirnya hanya bisa melihat Amy yang kesakitan, tanpa ia tahu alasannya. Keringat mengalir dari wajahnya dan ia terus-terusan meringis seolah telapak tangannya tengah ditusuk oleh pisau. Alfa ingin marah pada dirinya sendiri, ia tidak bisa membantunya apapun.
"Amy, aku tidak bisa diam saja seperti ini!" Alfa berdiri dan mengeluarkan ponsel dari sakunya.
"Ini sudah biasa, Fa. Aku sering mengalaminya setidaknya sebulan sekali."
"Apa?!"
"Kenapa kau kaget? Bukankah kau yang paling tahu?"
Degh
Alfa mematung, ia khawatir penyamarannya dalam menguntit ketahuan. Selama ini dirinya memang diperintah seseorang untuk mengawasinya. Namun dalam artian bukan membunuhnya melainkan menemukan kelemahannya dan mengawasi aktivitas normalnya. Alfa memasukkan kembali ponselnya dan mendekat ke arah Amy dengan was-was.
"A…apa maksudmu, My?" tegangnya.
"Bukankah kau tahu? Kalau telapak tanganku sering sakit? Kau membiarkanku setiap melihatnya, kan?" Amy tersenyum miris. "Kadang aku merasa takut denganmu, Fa. Kau kadang seperti bukan orang yang kukenal."
Ini alasan kenapa Rataka tidak bisa menjangkau radarnya, karena dahulunya sejak di sekolah auranya memang berubah-ubah. Kejadian saat di UKS tidak pernah Alfa lupakan, jika ia berani mengancam Amy, maka hidupnya akan tamat di tangan Rataka. Alfa masih belum tahu siapa Rataka, tujuannya, motifnya bahkan keberadaannya sekarang. Namun atasan memerintahkannya untuk tenang sampai akhirnya perlawanan dibutuhkan. Karena itu Alfa sering mengawasinya dari jauh. Namun kini ia nampak khawatir dengan kata-kata Amy yang tak terduga.
"K…kenapa kau bicara begitu?" tanya Alfa ragu.
"Alfa…" Amy masih meringis kesakitan namun menahannya dengan susah payah. "Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi…tapi aku tidak akan menanyakan apapun. Aku sudah menganggapmu lebih dari teman atau sahabat, kau adalah keluargaku. Tidak apa-apa aku kesakitan, luka tak kasat mata ini tidak ada apa-apanya saat di panti asuhan dulu."
"Amy…" tangan Alfa lemas, hingga tangannya yang tadinya menelepon terkulai ke bawah. Ada rasa bersalah dalam dirinya, tak tahu mengapa. Ini adalah percakapan menakutkan yang pernah ia bahas dengan Amy sebelumnya.
"Aku akan diam saja, sekarang dan seterusnya. Aku kadang melihat auramu yang aneh. Kau harusnya sadar aku kadang berubah jadi orang lain seperti kepribadian ganda kan? Jadi aku percaya kalau kau tidak akan berani melakukan hal aneh diam-diam di belakangku. Karena cepat tau lambat kau akan ketahuan. Tapi ternyata aku salah." nafas Amy ngos-ngosan.
"Amy aku…"
"Tolong…tolong diamlah jangan katakan apapun. Aku lelah dan sakit sekali menahannya di tanganku. Kumohon menjauhlah sebelum aku dikuasai kesadaran yang bukan milikku. Aku akan menunggumu, Fa."
"A…apa?"
"Aku menahan sakit di tanganku , sudah bertahun-tahun. Jadi, aku akan menunggumu sedikit lebih lama lagi. Aku akan menunggu sampai kau mengatakannya sendiri padaku."
"Maksudmu?"
"Aku akan menunggu saat dimana kau jujur dan mengatakannya padaku dengan percaya diri, bahwa kau berada di pihakku. Bahwa selama ini kita benar-benar teman."
"T…teman?"
Sudah lebih dari lima belas menit Amy kesakitan, ia menahan rasa sakit hingga pucat pasi dan hampir pingsan.
"Kita teman, kan?" Amy berkaca-kaca. Ia bertanya namun dengan penegasan.
Hingga beberapa saat kemudian Amy berbaring dengan napas yang agak teratur. Ia memejamkan mata dengan letih dan lemah. Alfa menyelimutinya hangat. Setelah memastikan Amy sudah berhenti merasakan sakit, ia mengambil handuk kecil dan membasahinya dengan air dingin lalu mengompres dahinya. Ia duduk di tepi ranjang dan mengamati Amy yang tidur dengan lelap.
Mendadak ia melirik telapak tangan Amy yang kesakitan tadi. Ia sama sekali tak melihat hal yang aneh kecuali bekas kuku yang Amy tekankan di sana hingga berdarah. Alfa menghela napas prihatin. Lalu melirik wajah teduh Amy yang tertidur.
"Maafkan aku karena tidak bisa minta maaf dengan benar. Aku cuma ingin melindungimu, Amanda. Aku tidak bisa membiarkanmu menjadi tumbal, aku ingin menggantikanmu. Aku tidak bisa hanya melihatmu menderita seorang diri seperti waktu itu" batin Alfa. Wajahnya tertekuk dan merasa sangat bersalah.
Ingatan Alfa kembali saat masa dahulu di panti asuhan. Amy dijauhi anak-anak karena aneh. Ia bahkan disiksa ibu panti, hingga suatu hari ia melihatnya sendiri keluar dari kamar mandi dengan kondisi babak belur, bahkan satu matanya lebam. Tubuhnya banyak yang gosong. Ia juga melihat ibu panti keluar membawa sapu yang besar yang terlihat lebih berat dari berat dan besar dari Amy. Melihatnya tersenyum puas, Alfa bisa menebak apa yang sudah dilakukannya pada Amy. Namun Amy hanya berekspresi datar dan dingin seolah tak merasakan sakit. Ia bahkan berjalan dengan pincang melewati Alfa begitu saja di koridor.
"Dia terluka, tapi dia menahannya. Dia kesakitan, tapi dia tak menangis. Dia sendirian, tapi tak takut kesepian."
Alfa adalah anak yang pintar, ia cepat paham dengan situasi namun memiliki mental dan nyali yang kecil. Ia memilih diam saja dari pada mengajak Amy berbicara saat itu. Dia khawatir namun tak berani melawan ibu panti. Sekarang ia menyesal dan ingin memperbaikinya. Lagipula hidupnya sudah hancur sejak ia terobsesi dengan alkohol dan wine sejak muda dahulu (cek bab 18).
Paginya saat Amy bangun ia mendapati Alfa tidur di lantai dengan posisi kepala dan tangannya di ranjang, tangannya sebagai bantal. Lalu melirik jam dinding. Sepertinya ia terlalu pagi untuk bangun.
"Alfa," panggilnya. "Alfa, bangun." Amy memanggilnya berkali-kali hingga Alfa akhirnya bangun.
Alfa membuka matanya perlahan dan terbangun sepenuhnya. Ia terkejut melihat Amy sudah kembali sehat.
"Amanda?! Kau sudah sehat?" paniknya, namun juga senang.
"Eh? Kenapa kau memanggilku Amanda lagi?"
"Ha? Oh itu..itu..ya..aku lupa, hehe." Alfa gugup, ia hanya mengengeh tidak jelas.
"Kenapa kau tidur di sini, Fa?"
Alfa terkejut mendengar pertanyaannya.
"Kau tidak ingat apa yang terjadi kemarin malam?"
"Memang apa yang terjadi semalam?"