Ini adalah pertama kali setelah sekilan lama ia tak merasakan emosi menyebalkan seperti ini.
"Setelah ini semua berakhir, pergilah. Pergilah dengan bebas tanpa terikat dengan keluargaku. Setelah kupastikan isteri dan anak-anakku baik-baik saja, bebaskanlah dirimu, bebaslah dari semua pekerjaan melelahakan ini."
"Aku tidak bekerja untukmu."
"Kau bercanda? Kita sudah sahabatan sejak lama, tapi hanya aku yang menua dan berkeluarga. Kuharap kau bisa merasakan cinta sepertiku. Kuharap kau manusia normal yang bisa berbahagia sepertiku, Rataka." Holan menitikkan airmata.
"Aku serius. Aku tidak bekerja untukmu. Dan lagi, kata-katamu itu seperti orang mau mati, padahal kau terlihat baik-baik saja sekarang."
Holan tersenyum simpul.
Rakata ingin mengatakan semuanya. Bahwa selama ini Direktur Rossan-lah yang memberinya perintah untuk melindungi keturunananya, entah itu sedarah atau tidak. Namun direktur keukeuh tidak ingin seorang dari anggota keluarganya tahu.
"Kau tahu, Holan sialan? Kau benar-benar cerewet untuk ukuran kakek tua yang sudah tidak panjang lagi umurnya."
"Kau menemukan orang yang mencurigakan di sekitar Amy?"
Rataka kembali mengingat tugas yang diberikan Holan sebelum berada di rumah sakit. Ia sempat mengancam Alfa, kakak kelas Amy yang hampir melakukan sesuatu yang buruk di UKS sekolah. Namun ia sendiri tak menemukan jejak apapun. Anehnya, anak itu memiliki aura yang lebih rendah dari manusia normal. Ia hampir tak terdeteksi meski berada di jarak sedekat mungkin.
"Itu hanya perasaanmu. Tidak ada yang krusial saat aku ke sekolah Amy. Dia baik-baik saja." Rataka menyembunyikan perihal Alfa sebelum ia mengofirmasi sendiri tingkat ancamannya.
"Tidak mungkin. Jelas-jelas aku merasakan seluruh fyber dalam dirinya seolah terguncang."
"Sudahlah istirahat dulu. Kapan terakhir kali kau membahagiakan dirimu sendiri?"
"Asal kau tahu, anak-anakku adalah kebahagiaanku," Holan tersenyum.
Rataka melihat senyum bijaksana sahabatnya itu. Tangan kirinya yang berdarah tadi gemetaran. Ia tidak tahu mengapa ini terjadi.
"Rataka?"
"Hem?"
"Kenapa kau bengong? Hari ini kau terlihat pucat."
"Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu," dalih Rataka.
"Kau menangkap pria yang menusukku, kan? Ceritakan lebih detail."
"Tidak. Pria itu berada di tahanan isolasi sekarang."
"Apa?! Kau membiarkan salah satu anggota sekte di dalam penjara?! Itu terlalu bahaya!" teriak Holan reflek. "Argghhh." karena terlalu terbawa emosi, luka di perutnya terasa nyeri.
Rataka kaget melihat Holan yang kesakitan, namun ia lebih kaget dengan suara di luar ruangan. Ia menoleh ke belakang dan melotot ke arah pintu. Ia merasakan kehadiran seseorang.
"Ada apa?" tanya Holan.
"Ssst!" Rataka meletakkan jari telunjuk di bibir.
Ia melangkah menuju pintu dengan sangat perlahan.
Cklek!
Pintu ia buka.
Ternyata Dio tengah berdiri di sana dengan sebotol air mineral dengan ekspresi terkejut namun tidak merasa bersalah sama sekali. Malah ia bertanya pada Rataka dengan polos.
"Oh? Anda siapa?"
"Apa?! Anak ini…dasar," batin Rataka sembari menghela napas.
Padahal ia sudah tegang dan waspada. Dio memang memiliki aura yang terlalu kuat dan agak menyeramkan. Rataka tersadar, ia menundukkan wajah dan berjalan berlalu melewatinya seolah tak mengenalnya.
"T..tunggu!"
Rataka berhenti saat Dio meneriakinya.
Dio memperhatikan punggungnya, ia merasa tak asing.
"Mungkinkah anda yang waktu itu? Iya benar! Anda yang menyelamatkan Amy dari kecelakaan mobil!" teriak Dio bersemangat.
Rataka semakin menundkukkan kepala dan lanjut berjalan menjauh dari sana. Dio hendak mengejarnya, namun ia mendengar monitor ayah yang berbunyi, jadi ia memutuskan masuk untuk memeriksanya.
"Padahal aku sudah memantrai semua materi yang ada di sekitar Amy saat itu. Sebelumnya juga aku hampir ketahuan olehnya, ah yang benar saja. Holan harusnya menjadikan dia muridku."
Saat Dio sudah masuk dan menutup pintu, Rataka masih memperhatikannya dari balik dinding. Ia tahu ada yang Dio sendiri tak sadar tentang dirinya. Ia ingat Holan mengatakan Dio adalah anak yang ia rawat sejak masih bayi, berbeda dengan Amy yang diadopsi saat 9 tahun. Namun saat ini ia harus fokus mengurus bidak catur yang menyelakai Holan, sekaligus mengawasi pergerakan Alfa dulu.
"Aku pasti akan menyelidikimu saat pekerjaan yang satu ini selesai," gumam Rataka.
Sementara itu di dalam ruangan, Dio sangat senang mengetahui ayahnya sudah siuman. Ia memanggil dokter yang menanganinya untuk memeriksa. Dr. Yohan juga datang. Tidak lupa ia menghubungi Amy.
***
"Dimana Ramon sekarang?"
"Ha? Kau naif sekali? Kau pikir aku akan memberitahumu? Cuihh."
Meskipun kedua tangan dan kakinya terikat pada kursi, pria itu dengan percaya diri meludahi wajah Rataka. Ia belum tahu siapa orang yang berdiri di hadapannya sekarang.
Rataka tersenyum satire. Diraihnya leher pria itu lalu dicekik hingga ia meronta, namun masih enggan ia membuka mulutnya.
"Kau tahu bidak-bidak yang dikirimkan Salmon sialan itu sebelum kau, kan?"
Pria itu tertawa gila seolah tak takut apapun. Ia adalah tipe umat yang fanatik dan sulit ditangani karena racun ideologi dan kutukan yang berbaur dikedua otaknya. Namun seketika pria itu membungkam ketika Rataka mengeluarkan Liska, pedang emas panjang dari belakang punggung.
"A..apa itu? Padahal di punggungnya kan tidak ada apa-apa!"
"Kau kira sedang berhadapan dengan siapa," Rataka mendekat dan berbisik. "…Tikus?"
Degh.
Rataka menghempas pedang keemasannya itu ke samping, ia kidal dan menggunakan tangan kirinya. Kali ini tidak seperti sebelumnya yang meninggalkan bawahan Ramon tanpa jejak, ia memiliki rencana.
"Aku hargai keberanianmu yang berani menodai wajahku dengan ludah najismu," dilapnya wajahnya yang agak basah. Bersamaan dengan diangkatnya pedang besar itu, warna matanya mengkilap, kali ini bukan kilatan biru, tapi warna yang sama dengan pedangnya.
"Ja…jangan! Jangan bunuh aku!" pria yang bernyali tinggi itu mendadak menciut melihat Rataka yang berubah bak singa yang bersiap melahap seluruh tubuhnya.
"Kenapa? Apa nyalimu sudah habis? Kenapa tidak minta pada atasanmu, si Salmon br*ngsek itu?"
"Ti…tidaaakk! J...jangaaan!"
"Kupastikan kerangka tulangmu terpajang indah di museum."
"Aaaaarrggggghh!!"
***
Masa sekarang
"Aku…ingin lenyap dari dunia ini."
Arvy menatapnya.
"Kau kenapa sih?" Amy tidak nyaman mendengarnya. "Dasar om om."
"Cih aku baru 25 tahun!" teriak Arvy sembari mengambil botol alkohol di meja.
Amy mencegahnya dan mengembalikan botol itu ke meja.
"Jangan minum lagi. Kau sudah sangat mabuk."
"Kenapa?! kenapa tidak boleh?!" ia meracau seperti anak kecil. "Aku cuma mau minum! Aku tidak minta yang lain!"
Arvy berdiri dengan marah, mengambil gelas kecil di meja lalu membantingnya.
Praaanggg
Amy refleks menutup wajahnya dengan lengan. Ia terkejut melihat orang yang tak biasanya mabuk dan terpancing emosi, marah besar dan menggila di hadapannya. Amy melihat Arvy yang mengambil gelas lagi, namun ia cekal tangannya. Ia rangkul punggungnya dengan posisi tangan Arvy lurus sejajar dengan tubuh. Arvy menunduk pilu sembari menitikkan air mata.
Ia dengan mudah menghempas tubuh kecil Amy hingga ia terjatuh di lantai. Beberapa pecahan kaca tertancap di telapak tangannya. Amy menahan perih, sembari mencabutnya, darahnya menetes.
"Sadarlah, Vy!" Amy berdiri balas menatapnya.
"Kenapa kau datang kemari? Bukankah kau monster?" tanya Arvy yang lebih mirip mencari pembenaran.
"Apa?" Amy tak percaya mendengarnya.
"Kau…monster kan?