"Bukannya kau membenci ayah? Bukannya kau benci keluargaku?! Aku bahkan tidak sudi datang ke sini. Aku sampai tidak habis pikir kenapa kau akhirnya menyerahkan perusahaan pada ayah. Setelah kucari tahu ternyata menantu kesayanganmu Holan tetap berada di kepolisian," Arvy tersenyum miris. "Apa kakek pernah sekali saja… sekali saja menjenguk ibu? Aku tidak akan berterima kasih atas uang yang sudah kau berikan, meskipun aku sangat muak menerimanya. Dan sekarang apalagi? Memang akan ada yang berubah jika aku indigo? Kupikir hal itu tidak seistimewa sebutannya. Kau tahu aku menyebutnya apa? Samsara. Semua yang terjadi di hidupku adalah samsara…"
Matanya berkaca-kaca dan memerah, tangannya mengepal. Arvy memaksa keluar tanpa mendengarkan penjelasan dari kakeknya. Ia menutup pintu dengan keras. Kakek tidak berniat menjelaskan apapun. Ia kembali duduk di sofa panjang dengan tatapan nanar ke udara.
"Samsara ya…" Kakek tersenyum miris. "Aku tidak kepikiran itu sebelumnya. Keturunanku telah dikutuk. Rasa sakit yang tidak pernah hilang turun temurun dan bekas luka itu….sepertinya akan ada selamanya. Memang benar, ini adalah samsara…."
Kakek menunduk pedih. Dilihatnya foto yang diberikan Arvy tadi, seorang gadis muda yang tersenyum lebar dan ceria.
"Aku harus menemukan gadis ini. Aku harus menyelamatkan cucuku (Arvy)."
Sementara itu Raziva tidak dirawat di rumah sakit keluarga seperti Nadia, ia dirawat di rumah sakit yang berbeda. Ini karena dahulu Ardana mengira kecelakaan Raziva disebabkan oleh ayahnya dan ketika keduanya sudah mereda, Arvy-lah yang menolak untuk memindahkan ibunya.
Setelah meninggalkan kantor direktur, Arvy mengunjungi ibunya dalam keadaan pedih dan marah. Ia menggenggam tangannya erat, sembari menangis sesenggukan tanpa mengucapkan satu patah kata-pun. Dirinya hanya ingin melihat senyum ibunya lagi, namun itu semua seolah hanya keajaiban yang tidak akan pernah terjadi.
"Ibu…selamatkan aku," pasrahnya.
***
Amy keluar dari kamar apartemennya. Alfa yang berada di kamar sebelah ikut keluar setelah mendengar pintu Amy terbuka.
"Kau mau kemana?"
Alfa mengikuti langkah Amy di sampingnya.
"Kenapa?" ketusnya.
"Janganlah begitu. Aku ikut, ya." Alfa mengengeh.
Amy berhenti. Sembari memasukkan tangan ke saku jaket, ia menoleh sarkas.
"Tidur sana!"
"Kau mau kemana malam-malam begini?"
"Terserah aku mau kemana. Apa kau pacarku?"
"Ha?" bahunya turun. Ia merengek. "Kau mau minum-minum tanpaku, ya. Sebenarnya kau ini anggap aku apa sih?"
"Sudahlah jangan drama. Sana pergi tidur!" Amy mendorong Alfa hingga ke pintu kamarnya, lalu memaksanya masuk.
"Iya, iya aku masuk. Jangan mendorongku."
"Cepat, cepat."
"Pulang jam berapa nanti?"
"Aku meningap."
"Apa?!"
"Kenapa kau serius sekali, sih! Nanti aku bawakan chicken saat pulang."
"Benarkah? Janji ya, janji. Awas kalau bohong."
"Hem."
"Kalau begitu, bye bye. Hati-hati di jalan."
Amy melangkah pergi. Alfa tersenyum lebar begitu mendengar chicken, namun sesaat setelah Amy telah melangkah pergi, senyumnya lenyap. Tatapan matanya mendadak berubah tajam.
Sementara itu, Amy sampai di bar Arvy. Seorang pramusaji perempuan menghampirinya.
"Aku ingin bertemu Arvy."
"Mungkinkah anda…"
"Aku keponakannya. Yang kemarin kemarin sempat mabuk berat di sini."
Pramusaji itu teringat kejadian saat Amy menggoda Arvy untuk dijadikan pelayan plus plus. Ia menunjukkan ruangan di atas yang disambungkan dengan tangga. Kemarin tidak ada tirainya, namun sekarang dari bawah tidak terlihat karena tertutup tirai. Amy tersenyum, ia mengira Arvy menuruti sarannya untuk mengubah tempat itu menjadi lounge. Ia naik ke atas.
Namun betapa terkejutnya ia ketika melihat Arvy yang telah menghabiskan banyak botol alkohol hingga dirinya mabuk berat. Ia duduk dengan kepala menunduk hampir menabrak meja di depannya. Ada dua sofa panjang di sana, Arvy duduk dengan posisi hampir pingsan.
Ia bergegas mendekat dan memegang dahinya kemudian mengangkat kepalanya lalu ia sandarkan di sofa. Arvy setengah tertidur.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau semabuk ini?" Amy menghela napas. "Padahal sebelumnya ia tidak pernah melewati batas Apa terjadi sesuatu padanya?"
Arvy membuka matanya sipit. Ia mengenali Amy, merangkul bahunya dengan setengah sadar.
"Oh keponakanku rupanya, ha ha," mabuknya.
"Ah lepaskan." Amy melepaskan lengan Arvy yang melingkar di bahunya. "Hoi! Apa yang terjadi padamu?! Apa kau sudah gila mabuk sampai seperti ini?! Sepertinya kau lupa pada prinsip yang kau buat sendiri."
"Amy…" panggilnya lirih, sendu. Arvy menatap kedua mata Amy dengan berkaca-kaca.
"Jangan menatapku begitu. Kau membuatku takut."
"Aku…ingin lenyap dari dunia ini."
***
Masa lalu
Amy masih mengenakan seragam sekolah, sedang Dio baru kembali dari kampusnya.
"Ayah…" panggil Amy lirih.
Holan terbaring di rumah sakit dengan perban di perutnya. Setelah peristiwa penusukan kemarin terjadi, ia sering bolos sekolah, padahal Dio memarahinya, namun tahu sendiri bagaimana sifat keras kepala dan tidak mau kalahnya adiknya itu.
"Ayah akan memarahimu kalau kau bolos sekolah."
"Aku tidak peduli."
"Amy…"
"Aku mau di sini. Aku mau menemani ayah!" Amy menangis lagi. Bahunya naik turun menahan isakan tangisnya.
Dio menatapnya dengan dengan pedih.
"Pulanglah, bersiaplah berangkat ke sekolah."
"Kenapa kau memaksa, sih? Aku bilang tidak mau ya tidak mau!" ia menghempas tangan kakaknya.
"Aku tidak sepertimu yang sudah menghabiskan waktu dengan ayah dan ibu sejak masih bayi. Aku tidak sepertimu yang telah menerima kasih sayang sebanyak itu. Jika…" Amy menangis. "Jika ayah tidak kembali, aku pasti akan jadi yatim piatu lagi! Aku tidak mau! Aku ingin ayah di sini!"
Ia berjongkok di lantai dan menangis sejadi-jadinya.
"Aku tidak akan memintamu berhenti menangis. Tapi ingatlah apa yang dikatakan ayah terakhir kali."
Amy mendongak.
Dio memegang lengannya dan membantunya berdiri.
"Ayah memintamu untuk jadi anak yang rajin kan? Ayah tidak ingin kau tertinggal diantara teman-temanmu. Ayah tidak ingin kau melalui dunia yang keras ini dua kali lipat. Ayah lebih memilih jalan yang sulit dengan membawamu pulang dari panti asuhanmu dulu karena dia…" Dio mendongak, berusaha mati-matian menahan air matanya agar tidak tumpah. "Karena dia ingin kau memiliki hidup normal dan menyenangkan seperti anak normal lainnya. Ayah lebih menyayangimu, Amy"
"A…apa?"
"Kau hanya tidak menyadarinya karena sifatmu yang buruk itu. Sifatmu yang kasar dan keras kepala. Meskipun kau membuat ayah kesulitan berkali-kali ia tetap memilihmu dan membawamu pulang saat itu! Jadi kembalilah ke sekolah dan belajar! Aku tahu kau sedang dalam masa labil sekarang, tapi…kumohon sadarlah, ayah tidak akan pernah meninggalkan kita! Memang siapa yang mengizinkannya melakukan itu?!"
Amy tertampar dengan kata-kata Dio. Ia tidak pernah mendengar Dio meninggikan suaranya seperti itu. Ditengoknya wajah ayah yang nampak kesakitan tidur di atas ranjang, meski begitu raut wajahnya begitu tenang. Seolah mengatakan tidak apa-apa untuk marah dengan keadaan, tidak apa-apa marah dengan takdir. Karena semua itu tidak abadi, semuanya akan segera berlalu.