"Yang Mulia, Anda tidak seharusnya bergaul dengan wanita seperti itu," ujar Aslan setelah melepaskan tangannya dari lengan Rosie.
Gadis itu mengambil satu tusuk sate lainnya kemudian menggigit potongan cumi-cumi bakar.
"Kenapa?" tanyanya dengan mulut penuh akan makanan.
"Anda harus menjaga reputasi Anda sebagai seorang putri kerajaan. Tidak baik jika seorang putri bergaul dengan seorang penipu."
"Tapi dia baik," balas Rosie.
"Tolong selesaikan makanan Anda terlebih dahulu sebelum berbicara," kata Aslan yang mengernyit melihat mulut gadis itu bergerak mengunyah makan sambil berbicara.
Rosie mengunyah lebih cepat dan menelannya dalam satu kali telanan. "Kenapa aku tidak boleh berteman dengannya? Ia baik."
"Orang yang bersikap baik kepada Anda belum tentu adalah orang yang benar-benar baik. Bisa saja ia memiliki niat buruk untuk memanfaatkan Anda nantinya.
Rosie mengambil satu tusuk sate gurita bakar yang sudah dipotong kecil-kecil kemudian memberikannya kepada Aslan. Aslan yang sedang berbicara pun terdiam melihat tusuk sate di depannya dengan bingung. Rosie sekali lagi mengulurkannya kepada pria itu.
"Kau menyebalkan saat lapar."
"Aku tidak lapar," balas Aslan.
"Kau lapar," ujar Rosie bersikeras.
Aslan pun memilih mengalah dan menerima tusuk sate itu.
"Kau tahu letak lapangan utara itu di mana?" tanya Rosie .
Aslan tidak langsung menjawab. Ia menimang-nimang apakah bijak untuk membiarkan sang putri untuk berkunjung ke sana. Lapangan utara sekarang sedang dipenuhi oleh para penduduk desa dari kota sebelah.
Selama Rosie tetap berada di sisinya, semuanya akan aman. Namun, kelakuan sang putri sangatlah random. Aslan tidak bisa mengawasinya seorang diri.
Tidak. Tidak. Aslan adalah seorang ksatria tinggi yang diberi amanat untuk menjadi seorang Duke. Itu artinya raja mempercayainya untuk menjaga wilayah ini. Dan sebagai seorang ksatria, ia tidak mungkin kalah dari seorang gadis kecil seperti Rosie.
Aslan sudah sering pergi berperang dan untuk mengawasi satu orang pastinya bukanlah sebuah pekerjaan yang sulit.
"Apakah Anda ingin pergi ke sana?"
"Iya," jawab Rosie.
"Kalau begitu ikut aku."
Keduanya melewati jalanan pasar yang sama yang Rosie lalui kemarin. Dan hari ini sepertinya pasar menjadi jauh lebih ramai dari kemarin. Keduanya harus berjalan berdesak-desakan.
"Aslan," panggil Rosie yang terhimpit oleh dua pria besar yang berjalan berlawan arah. Ia mencoba untuk melewati keduanya tetapi tidak bisa.
Sebuah tangan terulur di depannya. "Tuan Putri, pegang tanganku."
Rosie segera meraih tangan Aslan kemudian pria itu membukakan jalan untuk Rosie. Rosie pun berhasil melewati dua pria besar yang hampir menenggelamkannya tadi di lautan manusia. Rosie menggenggam tangan Aslan erat dan berjalan tepat di belakang pria itu.
"Sepertinya kemarin tidak seramai ini," ujar Rosie yang merasa aneh akan keramaian tempat tersebut.
"Karena kita mendapat pengunjung hari ini."
Aslan mencari jalan yang lebih longgar. Ia sedikit khawatir karena saat menoleh melihat wajah sang putri berkeringat cukup banyak. Ia pun berbelok ke arah gang yang lebih sempit dan gelap.
"Kita akan kemana?" tanya Rosie yang takut melihat Aslan membawanya ke tempat yang mencurigakan.
"Percayakan semuanya kepadaku," jawab pria itu.
Rosie pun mau tak mau mengikuti langkah Aslan. Tangannya masih menggenggam erat tangan pria itu.
Setelah melewati sebuah gang yang remang-remang akhirnya keduanya sampai di lapangan utara. Di tempat Rosie berdiri angin berhembus dengan sangat kencang membuatnya bernafas lega.
Akhirnya, setelah bergumul dengan keramaian hingga ia berkeringat, ia pun kembali bisa menghirup udara segar,
Lapangan udara di depan adalah sebuah lahan hijau yang membentang luas. Di dekat perbatasan desa berdiri belasan tenda besar.
"Mengapa mereka tidak menginap saja di penginapan?" tanya Rosie.
"Penginapan yang tersedia tidak akan mampu menampung semua orang ini. Aku sudah memberikan izin untuk mereka menggunakan tempat ini selama tidak ada yang membuat keributan."
"Jika ada yang membuat keributan?"
"Aku akan mengusirnya dan menyuruh mereka untuk mencari tempat lain. Lagi pula mereka bukanlah penduduk asli wilayah Yorkham."
Rosie memperhatikan wajah Aslan yang terlihat sedih. Gadis itu menarik tangan Aslan yang masih berada di genggamannya untuk mencari tenda nenek tua yang ia temui kemarin.
Satu per satu tenda mereka lalui. Dan terdapat satu tenda dengan antrian terpanjang. Rosie mengali warna tenda itu. Gadis itu berhenti untuk bertanya kepada seornag wnaita yang menggendong anaknya yang sedang ikut mengantri.
"Ini antrian apa? Mengapa sangat panjang?"
Wanita itu menoleh. "Oh, kami penasaran dengan hasil negosiasi yang di daerah perbatasan. Kami ingin dibaca masa depannya. Katanya nenek cenayang itu sangatlah hebat dan kemarin saja ada seorang pria yang memenangkan judi karena dibantu oleh cenayang tersebut. Maka dari itu, sekarang saat cenayang itu membuka tenda di dekat sini kami semua ingin dibaca masa depannya."
Rosie mengangkat kedua alisnya. Ia melirik Aslan yang terlihat masih sama tanpa berekspresi. Gadis itu meraih tangan Aslan dengan erat dan menyeretnya untuk masuk ke dalam tenda tersebut tanpa memperdulikan antrian yang panjang.
"Selamat siang," sapa Rosie ceria.
Nenek itu mengangkat wajahnya dan setelah melihat siapa yang berkunjung ia kembali menyentuh bola kristalnya sambil membaca masa depan seorang pria yang duduk berharap di depannya.
"Bagaimana? Apakah aku akan mendapatkan anak laki-laki?" tanya pria itu gugup sambil meremas topinya.
"Hm … aku melihat sebuah warna biru," ujar nenek tersebut membuat pria tersebut tersenyum lebar.
"Rambut panjang dan kulit seputih salju. Anakmu selanjutnya adalah perempuan." sambungnya membuat pria itu mendesah kecewa.
Ia mengulurkan tangannya untuk meminta bayaran.
"Jika ingin bersedih lakukan di luar tendaku. Masih banyak yang mengantri," ujarnya membuat Rosie tertawa terpingkal-pingkal.
Pria itu memberikan uangnya dengan berat hati. Ia berbalik dengan wajah yang cemberut.
"Ada apa kau datang kemari lagi?" tanya nenek itu.
Rosie menarik tangan Aslan untuk duduk di depan nenek tersebut. Gadis itu tersenyum lebar.
"Aku ingin dibaca masa depannya."
"Kau bawa uang? Aku tidak memberikan jasa gratis," balasnya dengan ketus.
"Hey, ayolah. Kita sudah berteman mulai kemarin."
"Tidak ada pertemanan selama tidak ada uang."
Rosie tertawa menyukai wanita tua itu. Gadis itu kemudian menunjuk ke arah Aslan membuat wanita itu mengernyitkan alisnya. Ia menunduk sebentar untuk mengintip pria di balik tudung dan mantel tersebut.
"Ah, kau benar-benar membawa harta karun ke tendaku. Satu pertanyaan seharga lima puluh sho."
(Sho? Berapa dollar itu?) pikir Rosie.
"Aku tidak akan membayar dan hentikan omong kosong ini. Kau hanya membuat masalah dengan menipu orang-orang di sini."
Nenek cenayang tersebut mengedikkan bahunya seakan tak peduli akan ucapan Aslan barusan. Pria itu berdiri tetapi Rosie meraihnya cepat.
"Kau ingin kemana?"
"Tuan Putri. Ini bukanlah tempat yang baik untuk menghabiskan waktu."
Kesabaran Aslan telah habis. Tarikan tangan Rosie tak cukup kuat untuk menarik pria itu untuk kembali duduk di sampingnya. Alih-alih justru Rosie lah yang terseret oleh tarikan Aslan. Keduanya pun keluar dari tenda tersebut membuat semua orang melihatnya.
"Ayo … masuk sebentar saja. Aku janji akan mengembalikan uangmu setelah kakakku kembali…"
Aslan terus menyeret Rosie untuk pergi meninggalkan lapangan tersebut. Ia tidak menyukai bagaimana naifnya Rosie yang hampir ditipu oleh cenayang palsu tersebut.
"Aslaaaaan, hanya satu pertanyaan saja. Ayo … kita kembali …" rengekan Rosie tak dihiraukan olehnya. Aslan terus berjalan sambil menggenggam tangan Rosie erat agar gadis itu tidak terlepas dari pengawasannya.
"Aslaaaan, aku akan memberitahu kakakku jika kau memperlakukanku tidak baik-"
Thump!
Aslan mendorong tubuh Rosie dan menghimpitnya dengan di sebuah tembok rumah penduduk. Rosie terkejut oleh kedekatan keduanya yang begitu tiba-tiba. Aslan memicingkan matanya tajam dan rahangnya terkatup keras.
(Dia marah) pikir Rosie.
"Tuan Putri, dengar. Aku sudah mencoba untuk saaaangat bersabar dengan Anda. Dan semakin lama, kesabaranku semakin menipis."
Aslan semakin mendekat membuat Rosie menjadi gugup.
"Aku masih bisa mentolerir beberapa sikap Anda, tetapi menjadi naif dan mudah ditipu tidak salah satunya. Jika Anda kembali berkunjung ke tempat penipu tadi lagi, silahkan. Aku tidak peduli. Tetapi jangan salahkan aku jika besok wanita penipu itu tidak akan lagi berada di wilayahku."
Keduanya saling bertatapan. Aslan bisa melihat raut ketakutan dari sang putri meski pun gadis itu berusaha untuk tetap terlihat berani. Mata hijaunya mulia bergetar dan jika Aslan menekannya lebih jauh lagi mungkin ia akan menangis di tempat tersebut.
"Anda mengerti?" tanya Aslan dengan dingin.
Dengan cepat Rosie menganggukkan kepalanya dan Aslan mendorong tubuhnya menjauh. Ia menepuk kepala Rosie dan berkata, "Good girl."