webnovel

Dia Siapa

Angga, Nena dan tentunya Zuki masih menunggu keluarga korban, hanya keluarga kusir saja, sedangkan keluarga dari Darsimah tidak datang karena ibunya meninggal di hari yang sama.

"Kita menunggu di koridor rumah sakit ini dari pagi sampai malam dan ke pagi lagi. Apa kalian tidak lapar?" tanya Zuki memecahkan suasana malam.

Sehabis solat magrib, ketiganya duduk di depan ruang otopsi dan menjelang solat isya, mereka masih di sana dan sesudah solat isya juga mereka masih di sana. Angga menghela nafas panjang, dia pun bangun menuju tempat makan yang ada di depan rumah sakit. Zuki dan Nena ikut bersama. Sampai di tempat makan, ketiganya memesan makanan dan menyantap tanpa banyak bicara.

"Pak, berapa?" tanya Angga.

"Semuanya 78 ribu saja mas," jawab si bapak yang punya warung makan.

Angga menyerahkan uang seratus dan mengambil kembalinya. Ketiganya masuk kembali ke dalam rumah sakit. Lega dan kenyang itu yang mereka rasakan dan satu lagi ngantuk juga mengiringi mereka.

"Kenapa lama sekali, apa yang terjadi di sana. Apa macet di jalan ya," tanya Zuki yang kembali gelisah.

Zuki melihat sekeliling rumah sakit yang sedikit menyeramkan, rumah sakit yang mereka datangi sama persis seperti rumah sakit zaman dulu kala tidak ada yang berubah sama sekali. Tiang penyanggah dan kiri kanan ada taman dan lampu kecil, juga masih ada pohon besar dan tentu pohon beringin yang rimbun.

"Polisi harus kuat mental, jangan takut, percuma badan kekar dan kotak-kotak, tapi takut," sindir Nena yang berjalan di tengah kedua pria.

"Cihh! Gaya lu jauh. Berani ngomong karena di tengah kami, coba di pinggir sini, mana berani kamu ngomong seperti itu. Harusnya kamu itu tidak boleh sombong, nanti takut beneran baru tahu kamu," jawab Zuki dengan suara datar.

Angga hanya geleng kepala mendengar perdebatan keduanya. Keduanya seperti cerita kartun kucing dan tikus, keduanya tidak pernah akur sejak pertama di bangku pendidikan kepolisian sampai saat ini.

Srettt ... Srettt ...

Zuki menajamkan telinganya, dia mendengar suara orang jalan yang terseret, sepertinya suara itu berasal dari sebelahnya. Zuki melirik pelan, dia takut jika terlalu cepat melihat ke samping bisa pingsan jadi slowmotion.

"Tidak ada pun," gumam Zuki pelan.

Nena dan Angga yang mendengar gumaman Zuki menoleh. "Kenapa?" tanya Angga spontan.

Zuki menelan salivanya, dia melihat di sebelah ada yang mengikutinya, walaupun tidak melihat secara langsung hanya lirikkan saja, tapi bisa terlihat jika itu seperti bayangan putih. Semakin lama suara itu makin jelas terdengar. Polisi juga manusia punya rasa takut juga, jangan sama kan polisi dengan ahli nujum atau cenanyang. Itu lah yang dikatakan Zuki dalam hati.

"Kita kenapa lama sampainya ya? Perasaan kita belok, terus lurus, belok kanan, belok kiri lagi, lurus lagi, apa sebesar itukah rumah sakit ini atau sebegitu hebatnya ruang otopsi ini." Zuki lagi-lagi merasakan hal aneh untuk kesekian kalinya.

"Eh, iya juga ya, kenapa kita tidak sampai-sampai, padahal tadi pas pergi, tidak selama ini. Angga kamu yakin ini jalannya?" tanya Nena yang mulai panik.

Nena merapatkan tubuhnya ke sisi Angga dan menggandeng tangan Angga. Angga melihat sekitar dan benar saja, ini sudah tidak sama pikirnya. Bukannya ini jalan mau ke tempat lain, alias kamar mayat yang di lorong sebelah kanan. Sedangkan ruang otopsi sebelah kiri.

"Kita salah jalan, kita muter lagi saja. Kalian juga sih, kenapa bisa salah jalan, aku pikir kalian berdua tahu dan nyimak jalannya," ketus Angga yang memutar jalan.

Jalan yang mereka lalui berbeda, pantas saja suasananya sedikit menyeramkan. Zuki hanya mendengus kesal, kenapa harus salahkan dia, yang jadi pemandu rumah sakit kan Angga bukan dia.

"Jadi pemandu itu yang benar Angga, jangan buat turis nyasar. Polisi juga ada rasa takut juga, emang polisi berani semua," sindir Zuki.

"Alah, yang takutkan cuma kamu sendiri saja Zuki, kalau polisi yang lain mah berani, makanya kamu makan besi berani baru berani kamu," jawab Nena yang menoleh ke sebelah Zuki.

Angga tersenyum kecil mendengar perdebatan keduanya. Sampai di tempat otopsi ketiganya duduk. Tidak ada yang perlu mereka lakukan lagi. Duduk dan menunggu saja.

Ukkk ... Ukkkk ...

Suara burung hantu terdengar di telinga Zuki, Angga dan Nena. Nena duduk di tengah ikut merapat dengan Angga, begitu juga Zuki yang duduk di sebelah Nena dia mulai merapat.

"Burung hantu, sepertinya kita akan kedatangan tamu yang tidak kasat mata," cicit Zuki pelan.

Nena mengangguk pelan dia memberanikan diri melihat ke arah sekeliling dan kaget di sebelah Zuki ada yang duduk sambil tertunduk. Nena menundukkan kepalanya dan melihat dengan teliti.

"Kita ke sini bertiga saja kan?" tanya Nena dengan polos.

"Iya Nena sayang, jadi kamu mau ajak siapa ke sini. Dari pagi ketemu pagi lagi kita akan tetap bertiga, jadi jangan buat suasana makin mencekam ya, duduk tenang saja," cicit Zuki.

"Kenapa Nena? Apa yang kamu lihat?" tanya Angga pada Nena.

"Itu Angga, yang duduk di sebelah Zuki itu. Siapa dia? Apa kalian mengenalnya dan mungkin teman kalian berdua kali, kalau aku tidak punya teman, aku tidak suka berteman," jawab Nena sekenaknya.

Angga dan Zuki menjentik kening Nena bersamaan, kalau ngomong asal jeplak saja. Nena meringis sambil mengusap keningnya yang di jentik oleh kedua pria di sebelahnya. Nena merengut kesal karena keningnya di jentik oleh Angga dan Zuki.

"Kalau kalian tidak percaya tuh lihat di sana," ucap Nena yang menunjuk ke arah sebelah Zuki.

Zuki dan Angga melihat arah yang ditunjuk oleh Nena. Dan benar saja, ada yang lain selain mereka. Dengan kepala tertunduk, rambut yang jatuh ke lantai dan tentu saja banyak yang luka dan wajahnya mengerikan, sebelahnya ada wanita yang memakai kebaya dengan perut yang sobek dan leher masih ada tali tambanh, wajah pucat pasi dan sebelahnya pria yang kepalanya di pegang dan mengarah ke arah ketiganya.

Ketiganya menelan saliva dengan kasar, tidak bisa berkata apapun, keringat dingin bercucuran terlebih Zuki yang duduk dekat dengan yang sosok di sebelahnya. Zuki menatap ke arah Angga, air mata menetes tanpa ada sekat.

"Polisi manusia kan? Jika iya, bisa aku pingsan tidak? Aku sumpah demi apapun, aku tidak tahan dan aku harap kalian tidak membullyku setelah ini." Zuki pingsan setelah mengatakan perkataan terakhirnya.

Gubrakkk!

Zuki jatuh di lantai, Angga dan Nena mengangga melihat Zuki pingsan. Tidak berapa lama suster menghampiri Angga dan Nena yang duduk di kursi panjang.

"Mas, kenapa temannya?" tanya suster yang menepuk pundak Angga.

Angga yang kaget menjerit histeris, Nena yang mendengar Angga menjerit ikut menjerit dan pingsan juga. Angga dengan sigap menolong Nena, suster membantu Angga untuk membawa Nena duduk. Angga melihat di sebelah suster tidak ada siapapun. Angga membantu Zuki yang sudah pingsan di lantai rumah sakit.

"Mas teman mas kenapa?" tanya suster itu pada Angga.

"Dia tadi cuma terkejut saja, bisa tolong bantu sadarkan teman saya ini suster?" tanya Angga.

"Bisa, saya telepon teman saya dulu ya," kata suster yang membantu menjaga Nena.

Suster mengambil ponsel dan menelepon temannya, dia langsung meminta ke tempat yang dia tuju, lima menit suster datang dengan membawa minyak angin untuk keduanya.

Yuk singgah dan jangan lupa ya simpan di rak dan tinggalkan jejak kalian. Mauliate Godang.

Siguiente capítulo