webnovel

Menyangkal Perasaan

"Kaisar!! Kai!! Kaisar!!"

Tap!

Tepukan di punggung Kaisar membuat pemuda penuh tatto itu tersentak. Ia baru sadar kalau melamun sembari memandang benda pipih di atas meja. Menunggu benda itu bergetar dan memberinya kabar.

"Woi!! Ngelamun apa sih? Di panggil dari tadi gak mau noleh?" Budi, pria kepala tiga yang juga teman Kaisar saat bekerja di proyek bergeleng dengan tingkah Kaisar. "Kaisar ... Kaisar!! Masih muda kok sudah seperti orang tua, budeg." Godanya.

"Sory, Bang. Saya nggak denger. Ada apa, Bang?." Kaisar mengusap wajahnya dan bergegas memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Seminggu penuh ia tak bertemu dengan Felicia dan juga tak ada kabar apa pun dari gadis itu. Kaisar merasa rindu, meski ia tak mau mengakuinya, ia memang sangat merindukan Felicia. Perasaan itu muncul begitu saja, muncul setelah beberapa kali bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Meski sempat membenci sikap menyebalkan gadis itu, Kaisar tak bisa mencegah perasaannya mekar dengan subur.

"Kecapekan? Tanding lagi semalam?"

"Iya, Bang. Tanding, sekarang kalau malam saya kerja jadi penjaga di club." Kaisar menenggak sisa es teh dan bangkit berdiri.

"Ya ampun, Kaisar. Ngapain getol banget cari duit? Nanti badan kamu rusak!! Meski masih muda juga istrahat itu pentingkan?!" Budi merangkul pundak Kaisar setelah membayar makanan mereka di warteg. Kaisar hanya bisa mengangguk saat menanggapi wejangan Budi.

"Kalau kamu sampai sakit, siapa nanti yang bakalan merawatmu? Pacar saja nggak punya." Budi menggoda Kaisar yang sudah seperti adiknya sendiri. Kaisar lagi-lagi teringat dengan Felicia. Duh ... kenapa sih rasanya nyut nyut an bila teringat wajahnya saat menangis?! Nyebelin kan?!

"Sana istirahat! Ijin sama Pak Boss. Toh rumah  itu sudah hampir jadi. Cuma butuh di elus-elus doang." Budi mengusir Kaisar.

"Tapi, Bang."

"Sudah sana! Ntar abang yang ngarang alasannya." Budi mengusir Kaisar, menyuruhnya merebahkan diri dan beristirahat. Kaisar menghela napas, ia tak mau menolak kebaikan hati Budi.

Kaisar sering melamun memikirkan Felicia, sungguh berbahaya bila ia melamun saat bekerja. Bisa-bisa adukkan semennya terlalu encer. Atau cet dindingnya terlalu kental. Atau mungkin pas pasang keramik Kaisar justru pasang batu bata.

Ah ... kenapa ya cinta bisa bikin orang bodoh? Eh ... cinta? Nggak mungkin, mana mungkin Kaisar bisa jatuh cinta?! Memangnya yakin perasaan ini cinta? Bukan cuma belas kasihan?

Benar, Kaisar masih saja menyangkal hatinya yang mulai berdegup kencang untuk Felicia.

*

*

*

Pukul 19.00

Suara menghentak mulai terdengar saat Kaisar masuk ke dalam sebuan club. Belum banyak orang yang hadir karena club itu baru saja buka. Kaisar juga baru saja datang untuk bertugas. Ia terlihat sangat tampan dan gagah dengan setelan jas hitam.

"Halo, Kai!" sapa Jessca, gadis itu baru saja selesai merias diri di ruang ganti dan kini bersiap untuk menari di tiang besi. Kaisar hanya mengangguk singkat pada sahabat Felicia itu.

Eh, sahabat?! Kaisar lupa, Jessca kan sahabat Felicia. Dia pasti tahu kabar Felicia. Kaisar sungguh tak bisa menahan lagi rasa yang meletup-letup di dalam hatinya saat ini. Pemuda itu benar-benar ini tahu keadaan gadis cengengnya, Felicia. Bagaimana hidupnya selama satu minggu ini? Apa dia masih sering menangis dan depresi?

"Jess." Panggil Kaisar.

"Huh?" tanya Jessca saat menoleh ke belakang, tumben banget si beruang kutub menyapanya duluan. Bisanya cuma berdehem singkat atau mengangguk saat di sapa balik. Kenapa dia tiba-tiba memanggil Jessca? Kesambet setan mana?

"E ...." Kaisar bingung cara menanyakan kabar Felicia pada Jessca.

"Kenapa?" Jessca mendekat.

"Em … Ci… a, dia baikkan?" Kaisar akhirnya mampu juga menanyakan kabar Felicia.

"Yaelah, gue kira mau tanya apa. Gue uda semerintil, e … ternyata elo nanyain Felicia." Jessca merengut, tapi dalam hatinya geli-geli gemas sama Kaisar. Kayaknya beneran Felicia berhasil bikin si beruang keluar dari dalam kulkas!

[Cia … Cia … pake sihir apaan sih elu?!] Jessca terkikih.

"Dia gak papakan? Gak nangis lagikan?" tanya Kaisar tanpa menatap wajah Jessca sangking malunya.

"Tauk, kan gue bukan emaknya. Elo juga tahu nomornyakan? Kenapa nggak hubungin dia sendiri?? Gue yakin saat ini dia pasti lagi nangis bombay di dalam kamar." Jessca menghela napas bila teringat dengan kejadian sore tadi di kedai kopi.

"Memangnya kenapa?" Wajah Kaisar terlihat cemas. Jessca menatap Kaisar sesaat sebelum berkata, "tadi Om Rangga, papa Felicia telepon. Minta dia pulang karena Reyhan telah memutuskan untuk menikahi Fiona dan membatalkan pertunangannya dengan Felicia."

"Hah??" Wajah Kaisar menegang.

*******

*

*

*

Alurnya mundur sedikit, sore tadi, selepas di Rangga mematikan teleponnya.

"Gue pulang ke rumah dulu, Jess." Pamit Felicia.

"Hlo?? Nggak jadi pulang sama gue?"

"Nggak bisa, Jess. Papa telepon, dia suru gue pulang hari ini juga. Gue yakin banget Papa sudah tahu semuanya. Mungkin Fiona sudah cerita ke Papa." Felicia terlihat pucat.

"Gue anterin." Jessca kasihan melihat wajah pucat pasi Felicia dan juga bahunya yang melemas. Ah, sebagai sahabat ia benar-benar membenci Fiona yang telah menikung kakaknya sendiri, juga Reyhan yang benar-benar bajingan karena mengkianati gadis sebaik Felicia.

"Nggak usah, elo masih harus ke club nanti malam. Gue bisa kok, Jess. Cepat atau lambat juga gue pasti akan melewati hari ini. Doain aja gue kuat, gue nggak nangis di depan Fiona." Felicia mulai tergugu.

"Ya ampun, Cia!! Sumpah gue kesel banget sama adek lo itu! Lo yang kuat ya, serius jangan nangis!! Jangen kelihatan lemah. Tunjukin ke keluarga elo kalau elo tetep strong meski tanpa Reyhan." Jessca memeluk tubuh sahabatnya sembari menggosok punggungnya agar Felicia punya kekuatan. Felicia mengangguk, meski hatinya gundah gulana ia tetap mengangguk agar tidak membuat Jessca khawatir.

"Gue pergi dulu." Felicia dengan berat hati meninggalkan kedai. Jessca mengantarnya sampai masuk ke dalam taxi online. Hanya itu yang bisa ia lakukan karena Jessca tak bisa ikut campur perihal keluarga Felicia.

*

*

*

Langkah kaki terasa begitu berat, seperti digelayuti dengan ratusan kilo beban. Tubuh Felicia gemetaran, tangannya mendadak dingin semua. Ulu hatinya juga nyeri dan membuatnya tak bisa leluasa memasukkan udara ke paru-paru. Felicia sedang mengalami serangan kecemasan.

"Nah, pulang juga ini anak!!" Suara bentakan Anjani membuat Felicia mendongak.

"Mama …" Felicia menelan ludah dengan berat.

Rangga bergegas keluar dari dalam rumah begitu mendengar seruan Anjani. Wajahnya terlihat sangat tegang, bisa Felicia lihat urat-uratnya yang menyembul keluar karena rahangnya yang mengeras.

"Dasar anak nakal!! Keluyuran kemana saja kamu, hah??" Rangga langsung membentak Felicia. Bila masih kecil mungkin Rangga akan menjewer telinga Felicia sampai merah, tapi Felicia kini sudah besar. Hukuman itu tak mungkin membuatnya jera.

Mata Felicia membelalak lebar saat melihat Fiona dan Reyhan berdiri di belakang sang ayah. Tangan mereka bergandengan dengan sangat erat dan membuat hati Felicia hancur sehancur-hancurnya. Hatinya bergemuruh dengan amarah dan kekecewaan. Sekuat tenaga Felicia menahan air matanya agar tidak tumbah dan itu sungguh menyiksanya.

"Pa, jangan marah-marah. Malu sama Kak Reyhan. Suru Kak Cia masuk dulu, Pa. Kita bicara baik-baik." Fiona meminta Rangga untuk tetap tenang. Felicia bisa melihat seringai licik Fiona, juga wajah Reyhan yang seakan cuek dan tak mau lagi berhubungan dengan Felicia. Felicia merasa sangat dipermalukan, ia menunduk tanpa lagi berani menatap wajah-wajah keluarganya.

Kenapa semuanya jadi begini?? Padahal mereka berdua bersaudara?? Apa yang salah sampai Fiona tega merebut calon suaminya? Apa yang salah sampai Fiona tega memutar balikkan fakta di depan sang ayah?! Apa salah Felicia? Dia bahkan menyayangi adiknya itu dengan tulus.

"Masuk!! Sekarang!!" Rangga dengan wajah masam menyadarkan lamunan Felicia.

Siguiente capítulo