webnovel

Chapter 69 Barbara Flashback

Mobil itu perlahan melambat, lalu berhenti tepat di hadapan Barbara. Ia merasakan campuran antara harapan dan ketakutan ketika pintu mobil terbuka, dan seorang pria keluar dari dalamnya. Pria itu tampak berusia sekitar empat puluhan, dengan wajah yang datar dan ekspresi yang sulit dibaca. Rambutnya pendek dan sedikit beruban, dan tatapan matanya tajam, seolah-olah ia bisa melihat menembus Barbara.

Barbara mendekati pria itu dengan gemetar, merasa canggung namun penuh harapan. "Tolong… tolong aku… bisakah aku ikut denganmu? Ada… ada sesuatu yang mengejar aku…"

Pria itu, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Many, memandang Barbara dari atas ke bawah dengan pandangan yang agak menyelidik. Wajahnya tetap datar, tetapi Barbara bisa merasakan sesuatu yang tak terucapkan di balik tatapannya. Entah apa, tapi dia merasa ada intensi di sana yang membuatnya tidak nyaman.

"Kenapa kau di sini sendirian?" tanya Many dengan suara yang berat dan tenang. Barbara bisa merasakan nada curiga di dalamnya.

"Aku… aku diserang di studio fotografi… ada monster-monster yang datang… mereka… mereka membunuh temanku," Barbara tergagap, berusaha menjelaskan meskipun pikirannya masih kacau. "Aku berhasil lari, tapi… aku tidak tahu ke mana harus pergi."

Many mengangguk pelan, seolah memproses setiap kata yang diucapkan Barbara. Ia kemudian memutar tubuhnya, melihat jalanan sepi di belakang mereka, sebelum berbalik lagi menatap Barbara. "Naik ke mobil, kalau kau ingin ikut."

Barbara merasakan sedikit kelegaan mendengar kata-kata itu, namun saat ia mulai melangkah ke arah mobil, Many menahan gerakannya dengan satu tangan. "Tunggu dulu," katanya, nada suaranya berubah menjadi lebih tajam. "Kenapa aku harus percaya padamu? Bagaimana kalau kau membawa masalah ke dalam mobilku? Atau bagaimana kalau kau berbohong?"

Barbara merasa dadanya berdenyut keras, kekhawatiran baru mulai muncul. Dia bisa melihat dari tatapan Many bahwa pria ini tidak akan dengan mudah membiarkannya masuk ke dalam mobil.

"Please, aku tidak bohong… aku hanya ingin selamat dari tempat ini… aku… aku tidak tahu harus ke mana lagi," Barbara memohon, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku… aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa aku tidak membawa masalah. Aku hanya butuh bantuan."

Many mengamati Barbara selama beberapa saat yang terasa seperti selamanya. Lalu, tanpa ekspresi yang jelas, dia berkata, "Kalau begitu, buktikan bahwa kau bisa dipercaya. Apa yang bisa kau tawarkan sebagai jaminan?"

Barbara terdiam sejenak, lalu dengan suara yang gemetar, ia berkata, "Aku… aku tidak punya apa-apa, tapi… aku bisa bantu apa saja yang kau butuhkan. Tolong, aku akan melakukan apa saja."

Many masih diam, namun kali ini tatapannya lebih lembut, atau mungkin itu hanya harapan Barbara yang mulai memengaruhinya. Pria itu kemudian mengangguk perlahan. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kau bisa ikut. Tapi ingat, jika kau mencoba sesuatu yang aneh, aku tidak akan segan-segan meninggalkanmu di tengah jalan."

Barbara mengangguk cepat, tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Dia segera masuk ke dalam mobil, duduk di kursi penumpang dengan perasaan campur aduk antara rasa lega dan kecemasan. Many masuk ke sisi pengemudi dan menghidupkan mesin mobil.

Mobil hitam itu melaju perlahan meninggalkan tempat Barbara terjatuh. Suasana di dalam mobil tetap sunyi selama beberapa saat, dengan hanya suara mesin yang memenuhi keheningan. Barbara berusaha menenangkan diri, namun pikirannya terus berputar, mencoba memahami siapa Many sebenarnya dan apakah dia bisa mempercayainya.

"Terima kasih," akhirnya Barbara berkata, mencoba mengisi keheningan yang mencekam. "Terima kasih telah berhenti dan menolongku."

Many hanya mengangguk tanpa menjawab, tatapannya fokus pada jalanan di depan. Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun setidaknya sekarang Barbara merasa sedikit lebih aman daripada sebelumnya. Meskipun begitu, ia tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanannya, dan masih banyak hal yang harus dihadapinya ke depan.

Setidaknya, untuk saat ini, dia tidak sendirian lagi di jalanan yang sunyi itu.

Di dalam mobil yang melaju pelan di jalanan sepi, Barbara duduk dengan tubuh kaku, masih mencoba menenangkan diri dari pengalaman traumatisnya. Namun, semakin lama ia berada di sana, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tatapan Many, yang seharusnya fokus pada jalanan, sesekali berpaling ke arahnya. Tidak hanya sekali atau dua kali, tapi terus-menerus, seolah-olah dia sedang mengamati sesuatu yang lebih dari sekadar penumpang.

Barbara merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. Dia mencoba berpura-pura tidak menyadarinya, menatap lurus ke depan sambil berpikir keras. "(Apa yang dia inginkan dariku? Kenapa dia terus menatapku seperti itu?)" batinnya penuh dengan kegelisahan. Keheningan di dalam mobil semakin mencekam, membuat Barbara merasa terjebak dalam situasi yang sangat tidak mengenakkan.

Setelah beberapa saat, Many akhirnya membuka suara. "Jadi, kamu sudah punya pacar?" tanyanya tiba-tiba dengan nada yang datar, namun pertanyaan itu sangat mengejutkan Barbara.

"Oh, uh… tidak, aku belum punya pacar," jawab Barbara dengan canggung, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. Ia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, merasa ada sesuatu yang salah dengan arah pembicaraan ini.

Many mengangguk pelan, tapi tatapan matanya tetap fokus pada Barbara, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. "Lalu… kamu pernah tidur dengan seseorang?" tanya Many lagi, suaranya tetap tenang, seolah menanyakan hal yang biasa.

Barbara tertegun, pertanyaan itu sangat tidak pantas, dan ia merasa marah dan tidak nyaman. Namun, situasi membuatnya terjebak, dan dia tidak ingin memancing masalah. "Tidak… aku belum pernah… melakukan itu," jawab Barbara dengan suara yang semakin pelan.

Many hanya mengangguk lagi, tampaknya puas dengan jawabannya. Namun, dia tidak berhenti di situ. "Kenapa? Apa kamu takut? Atau kamu sedang menunggu seseorang yang spesial?"

Barbara mulai merasa sesak. Pertanyaan-pertanyaan ini semakin membuatnya merasa terpojok. "Aku… aku hanya belum menemukan orang yang tepat," jawabnya dengan hati-hati, berusaha untuk tidak memperlihatkan kegelisahannya.

"Aneh… wanita cantik seperti kamu biasanya tidak menunggu terlalu lama," Many melanjutkan, nadanya tetap datar namun Barbara bisa merasakan sesuatu yang tidak wajar di balik kata-kata itu.

Barbara hanya bisa menundukkan kepala, berusaha menghindari tatapan Many yang semakin menekan. "(Apa yang dia inginkan dariku? Aku harus tetap tenang, jangan panik…)" pikirnya.

Di tengah kegelisahannya, Barbara melihat seseorang di kejauhan. Seorang pria yang terlihat lusuh berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan, mencoba menghentikan mobil mereka. Barbara merasakan campuran antara harapan dan kekhawatiran. Mungkin pria ini bisa membantunya keluar dari situasi yang aneh ini.

Many memperlambat mobilnya, lalu berhenti tepat di depan pria itu. Jendela mobil diturunkan, dan Many memandang pria tersebut dengan tatapan yang datar, seperti biasanya. "Ada apa?" tanya Many dengan suara beratnya.

Pria itu tampak lelah dan putus asa. "Tolong, bisa aku ikut? Aku hanya ingin ke kota, aku butuh bantuan," katanya dengan nada memohon.

Many memandang pria itu dari ujung kepala hingga kaki. "Kenapa aku harus membantumu? Mobil ini sudah penuh," katanya dingin, meskipun sebenarnya mobil itu masih cukup luas.

Pria itu mengangguk cepat, berusaha meyakinkan Many. "Aku tidak akan mengganggu. Aku bisa menyetir kalau kau lelah, aku… aku hanya butuh bantuan untuk sampai ke kota," katanya, mencoba mencari celah.

Many berpikir sejenak, menimbang-nimbang tawaran itu. Barbara di sampingnya merasa sedikit lega, berharap bahwa pria ini bisa menjadi penyelamat dari situasi yang tidak nyaman ini.

"Tidak, aku tidak membutuhkan orang lain untuk menyetir," jawab Many akhirnya, nadanya tetap dingin.

Pria itu tampak semakin putus asa. "Tolong, aku mohon. Aku akan melakukan apa saja, kau tidak perlu khawatir. Aku hanya ingin selamat… seperti kalian," katanya, suaranya terdengar semakin putus asa.

Many menatap pria itu selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Lalu, dia menghela napas panjang, seolah-olah mempertimbangkan kembali keputusannya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kau bisa ikut. Tapi kau yang menyetir. Aku akan duduk di sampingmu."

Barbara merasakan sedikit kelegaan, meskipun masih ada kekhawatiran dalam dirinya. Pria itu masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi, Many pindah ke kursi penumpang di depan, sementara Barbara duduk di kursi belakang, di tengah. Ia merasa sedikit lebih aman sekarang, tetapi tetap waspada.

Mobil kembali melaju di jalanan gelap menuju kota. Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini Barbara merasa sedikit lebih tenang. Meskipun begitu, ia tetap tidak bisa sepenuhnya santai. Di samping Many yang terus menatap lurus ke depan dengan tatapan datarnya, Barbara masih merasa ada sesuatu yang aneh dan berbahaya di sekitarnya.

Namun, untuk saat ini, ia harus bertahan dan berharap bahwa perjalanan ini akan membawa mereka ke tempat yang lebih aman. Di dalam pikirannya, Barbara terus mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini, sambil tetap memperhatikan setiap gerakan dan kata-kata Many serta pria baru yang kini berada di belakang kemudi.

--

"Lalu, apa yang terjadi setelah nya?" tanya Ariya yang dari tadi mendengar Barbara bercerita di saat mereka berjalan bersama menjarah tempat itu.

Barbara terdiam sebentar lalu menjawab. "Rupanya, pria itu tergigit di lengan nya, kami awalnya tak menyadarinya, namun ketika dia mulai berubah adalah saat ada mobil lain yang di depan kami. Pria itu gila dan bahkan membuat mobil orang lain panik sehingga mobil kami sama sama menabrak karena pria itu sudah berubah menjadi zombie, dia benar benar buruk.

Kemudian aku dan Many keluar dari mobil dan mengikuti orang yang keluar dari mobil lain. Itu adalah Line dan Nikol... Ada perdebatan antara Line dan Many sehingga Line membuat Many mati di makan monster itu.

Tapi aku mungkin harus bersyukur, karena Many mungkin adalah type orang yang buruk..." kata Barbara.

Ariya menjadi mengerti, dia lalu mengengarkan bahu Barbara dan memberikan ketenangan. "Semua sudah berlalu, kau sekarang punya orang orang baik di sini kan, karena itulah kamu juga harus bersikap baik," tatapnya dengan ramah.

Lalu Barbara mengangguk dan tersenyum senang. "(Ini pertama kalinya aku benar benar merasa sangat tenang, mungkin memang ini adalah takdir dan bahkan juga merupakan takdirku...)"

Siguiente capítulo