webnovel

Chapter 60 Lead The Way

Uminoke membuka mata secara kebetulan, dia menatap tak ada Line di samping nya membuat nya langsung bangun duduk.

"Line!?" dia memanggil dengan panik. "(Apa dia pergi!)"

Tapi ada suara Line dari bagian lemari. "Kenapa?"

Membuat nya menoleh langsung dan menghela napas panjang. "(Aku pikir dia pergi tanpa aku....)" pikir Uminoke, tapi ia melihat Line yang sudah memakai baju lengkap nya siap untuk pergi melanjutkan perjalanan menjarah setiap lantai apartemen.

"Tunggu apa lagi, baju mu juga sudah kering, ayo segera lanjutkan," kata Line.

"Um.... Baiklah.... (Bukankah ini masih terlalu awal.....)" Uminoke keluar dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi.

--

Setelah itu tampak mereka naik ke lantai berikutnya, mereka terus melakukan hal yang sama ketika pertama kali datang di lantai 26 tapi makanan dan barang barang bagus semakin banyak mereka dapatkan. Untuk barang barang yang tidak mudah di bawa seperti senjata, biasanya banyak pistol berserakan karena pastinya orang orang seperti Tuan Rudi mencoba bertahan diri dengan senjata yang mereka punya.

Kemudian di bagian makanan, mereka mendapatkan nya dari dapur karyawan dan makanan makanan yang terselip di bagian mana pun itu.

Juga ada barang berharga lain nya untuk di gunakan bertahan hidup di situasi yang sekarang ini. Barang barang yang mereka dapatkan akan mereka letakan di bagian tangga lantai, jadi ketika mereka kembali untuk turun, mereka bisa sekalian membawanya agar tak di bawa kemana mana ketika masih dalam menjarah.

"Hah... Hah.... Hah.... Line.... Aku lelah.... Istirahatlah dulu...." Uminoke tampak lemas ketika naik tangga.

"Sebentar lagi kita akan sampai di balkon, kita berhasil menjelajah selama 2 hari saja, setelah selesai di bagian balkon, kita akan selesai," kata Line yang menatap uminoke.

Tapi Uminoke memasang wajah kesal. "Aku akan menunggu di sini saja," ia membuang wajah membuat Line terdiam, tapi Line tersenyum kecil dan mendekat.

Mendadak dia mengangkat Uminoke, tepatnya menggendong nya di dada.

"Ah! Apa yang kau lakukan?!" Uminoke panik lalu Line berjalan menaiki tangga dengan menggendong Uminoke.

Dia tidak merasa berat dan malah lancar lancar saja membawa Uminoke sampai ke pintu balkon.

"Baiklah kita sampai...." Line menatap pintu balkon yang tertutup itu.

"Turunkan aku..." Uminoke menatap.

"Kenapa?"

"Bisa saja ada sesuatu yang akan menyerang ketika kita buka pintu, kita harus waspada," tatapnya.

"Hm.... Mungkin," Line menjadi memasang wajah serius, lalu dia menurunkan Uminoke.

"Baiklah, kau siap?" Line memegang gagang pintu dan menatap Uminoke yang mengangguk cepat.

Seketika dia membuka pintu balkon dan yang benar saja, ada yang menyerang, yakni zombie membuat Line terkejut waspada, dia langsung menebaskan pisaunya mengenai kening zombie itu membuat nya langsung terjatuh.

Tak hanya sampai sana, banyak juga zombie yang menempati balkon itu.

"Astaga!!" Uminoke terkejut melihat itu. "Ba.... Bagaimana mereka bisa ada di sana?"

"Mungkin dulunya mereka manusia yang mencoba menyelamatkan diri dengan lari di balkon, kemudian mereka tak sadar salah satu dari mereka terinfeksi membuat nya berubah di kerumunan mereka dan menggigit mereka semua," kata Line sambil menyiapkan dua golok yang ia dapat. Dan mulai menyerang mereka satu persatu sementara Uminoke terdiam dengan ketakutan.

"(Hah, apa yang aku lakukan...)" dia menggeleng cepat lalu melihat pistol yang ia bawa. "(Aku harus membantu Line....)" dia menodongkan zombie yang mendekat ke Line dengan perlahan sementara Line fokus menyerang zombie yang ada di depan.

"(Aku pasti bisa.... Bisa.... Aku pasti!!)" Uminoke menutup mata dan menembak tapi peluru itu tidak kena membuat zombie lambat itu menoleh padanya akan mendekat padanya.

"Ah, um.... Kenapa tidak kena... (Hah dia malah mendekat padaku.... Aku harus menembak....)" Uminoke kembali membidik dengan tangan yang gemetar.

Tapi pistol itu tidak menembakan peluru membuat nya terkejut panik sementara zombie itu akan menyerang nya.

Line menoleh pada Uminoke dan terkejut ada zombie menghampiri Uminoke yang masih bingung kepada pistol yang macet.

"Uminoke!!" Line berlari mendekat dan langsung mendorong zombie itu dari samping membuat zombie itu jatuh begitu saja.

"Sialan!! Jangan berani menyentuh nya!!" Line berteriak seketika menusuk kepala zombie itu dengan pisau nya.

Uminoke yang melihat itu menjadi menjatuhkan pistol nya membuat Line menatap.

"Line.... Maafkan aku.... Aku lemah..." Uminoke menatap sedih sekaligus kecewa.

Line menjadi terdiam, dia lalu berdiri. "Kau bukan seseorang yang harus ikut bertarung, melainkan seseorang yang hanya diam dan di lindungi," kata Line membuat Uminoke terpaku mendengar itu.

Lalu Line kembali memegang dua golok nya dan langsung kembali membantai semua zombie itu sambil melempar mereka ke luar balkon membuat mereka semua jatuh dari gedung lantai tinggi itu.

Hingga pada sore hari, Line bernapas cepat dengan banyak nya zombie yang jatuh dari balkon, juga masih ada yang di balkon.

"Ha.... Ha.... (Sungguh, menghabisi banyak zombie sekaligus melindungi Uminoke, ini mungkin bukan hal yang bagus,)" ia menoleh ke Uminoke yang berjalan mendekat.

Uminoke memberikan botol minum air putih. "Line, minum lah," tatap nya.

Lalu Line menerima itu. "Terima kasih..." ia terduduk dan Uminoke berlutut menatap nya.

Ketika Line akan membuka penutup botol, tiba tiba tangan nya tak sengaja terselip membuat nya tak bisa membuka.

"Biarkan aku membantu," Uminoke mengambil kembali botol itu dan membuka penutup nya dan memberikan nya ke Line.

Tapi Line terdiam. "Aku tak bisa, tangan ku lemas...." tatap nya dengan tatapan yang sedikit menggoda membuat Uminoke kesal.

"Ck, aku buang nih," dia mengancam minum nya akan di buang.

"Ah, ya, ya.... Baiklah kemarikan," Line mengambilnya dan meminum nya, bahkan tangan nya baik baik saja.

"Ck.... Kamu benar benar membuat ku kesal," Uminoke menatap kesal.

"Haha.... Tapi sungguh, aku lelah, biarkan kita istirahat di sini, mengerti," tatap Line.

"Di sini tidak akan nyaman," Uminoke melihat sekitar, tapi dia menatap langit langit. "Bahkan, tak ada bintang di langit," tambah nya.

Tapi ia merasakan Line terbaring dan siapa sangka, kepala Line ada di pangkuan nya membuat nya terkejut berwajah merah.

"Hm... Bantal empuk, kira kira berapa jika terjual ya," Line mulai berasa basi.

Mendengar itu, Uminoke tambah berwajah merah. Lalu memegang kepala Line dengan lembut membuat Line terdiam di tempatnya lalu dia mendengar kalimat dari Uminoke.

"Ini, tidak terjual, ini khusus di buat untuk mu," tatap nya. Seketika Line terdiam dan langsung bangun membuat Uminoke menatapnya.

Line menatap dengan tatapan dalam, mereka bahkan saling memandang.

"Uminoke," tatapnya membuat Uminoke terdiam menunggu.

"A... Apa...." Uminoke benar benar berwajah sangat merah karena Line sangat dekat.

"Uminoke, aku benar benar tak bisa menahan diriku," tatap Line seketika Uminoke tambah merah, wajahnya sungguh sangat merah.

Karena malu, dia bahkan menutup wajahnya dengan tangan nya. "Katakan dengan jelas dan jangan buat aku menunggu!"

Lalu Line memegang tangan nya dan membuka tangan Uminoke untuk menatap nya. "Uminoke, jangan bersembunyi lagi, aku tahu kau juga menerima perasaan ini... Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku suka padamu," tatap Line membuat Uminoke meledak ledak berwajah merah.

"A... Aku.... Aku...." dia menjadi gemetar dan gugup.

"Tak apa jika kau tak mau membalas, sejak bertama kali bertemu, aku sudah melihat sikap mu dan aku suka ketika sikap mu mulai, karena sikap mu mengajarkan ku bahwa orang seperti mu, adalah seseorang yang awalnya egois tapi juga menyalahkan diri mu sendiri... Tapi aku tak peduli akan hal itu, kau cantik, manis, rambut yang begitu indah dan kepedulian mu, ketakutan mu, semuanya.... Aku menyukai nya dan aku belum pernah bertemu dengan gadis seperti mu," tatap Line.

"A... Aku bukan siapa siapa?! Aku tak bisa bertarung, aku hanya bisa berteriak, egois dan menyalahkan.... Tak ada yang suka aku....."

"Kau percaya pada apa yang kukatakan?" Line menatap membuat Uminoke terkejut mendengar nya.

"Kau mempercayai ku, aku adalah seorang lelaki yang tak bisa menjaga bahkan nama ku sendiri.... Aku mengerikan, aku membunuh, setiap hari mereka hanya mengatakan seseorang yang harus di buru.... Maafkan aku jika alasan seperti itu membuat mu ragu padaku," kata Line dengan wajah yang menyesal dan kecewa.

Tapi Uminoke yang mendengar itu menjadi memegang pipi Line membuat Line menatap nya.

". . . Kau tidak mengerikan, kau adalah seseorang yang tampan dan berani... Mengungkap kan perasaan mu dengan cara dewasa, aku menyukai nya.... Aku sebenarnya juga suka padamu," kata Uminoke membuat mata Line melebar tak percaya.

"(Kupikir selama ini, tak kan ada orang yang mengatakan itu....)" Line menjadi menundukan wajah membuat Uminoke terkejut. "Kenapa?"

"Maaf, aku hanya.... Maksudku.... Mungkin tak ada yang mengatakan itu sejak aku lari dari kehidupan ku," kata Line.

Uminoke terdiam, dia lalu tersenyum kecil. "Aku senang aku menjadi yang pertama.... Dan aku benar benar senang jika kamu juga membawaku mengenal dunia... Tak perlu lari dari kehidupan lagi," kata Uminoke. Dia lalu berlutut membuat Line menengadah menatap nya tapi siapa sangka, Uminoke memeluk nya membuat Line terdiam kaku.

"Untuk pertama kali aku ingin mengatakan, berada di dekat mu benar benar sangat hangat... Hati ku menjadi tambah hangat ketika aku bisa merasakan nafasmu, aku menyukai temperatur tubuh mu," kata Uminoke.

Line menjadi terdiam dan tersenyum senang, dia memeluk Uminoke juga dengan erat.

"Uminoke, aku senang, terima kasih."

Uminoke yang mendengar itu menjadi tambah memeluk erat. "(Ini mungkin adalah suatu kebahagiaan, karena aku bisa dekat dengan Line, aku ingin menjadi dekat dengan nya... Dan sekarang aku berhasil dekat, aku bisa merasakan kehangatan muncul...)" dia lalu menatap Line membuat Line juga menatap nya.

"Line.... Jika kamu ingin bibirku, ajari aku dengan baik," tatap nya.

"Mendekatlah," kata Line, lalu Uminoke mendekat menutup mata seketika dia merasakan ciuman dari Line. Mereka mencium bibir di balkon atas itu, hanya tinggal tunggu waktu mereka akan turun ke lantai bawah karena sudah selesai menjarah.

Siguiente capítulo