webnovel

Chapter 54 Lead The Way

"Hei, Suga, Suga!!" teriak Kachi memanggil Suga yang melamun di kursi. Dia menjadi sadar ketika Kachi menyadarkannya. "Kachi?"

"Haiz, aku memanggilmu dari tadi, apa kamu tidak sadar aku panggil?" Kachi menatap kesal.

"Ma... Maaf.... Aku hanya tak sengaja teringat saat-saat ini semua dimulai. (Rasanya jika mengingat itu semua benar benar sangat merepotkan apalagi itu juga akan menakutkan. Dunia ini sedang tidak baik baik saja dan kita sebagai orang tersisa tidak tahu harus berpikir jernih atau tidak, aku mulai banyak terpikir masalah yang tidak berguna bahkan soal dunia yang hancur ini....) Aku benar benar tak bisa melupakan bagaimana kehancuran ini terjadi," kata Suga. Kachi yang mendengar itu menjadi terdiam dan ikut cemas. "Kamu benar, tak disangka, kita sudah ada 2 minggu lebih di sini...." tatapnya.

"Apa mereka baik-baik saja jika di sini terus-menerus?" Suga menatap membuat Kachi terdiam tak mengerti.

Sementara itu, di sisi lain, Roland tampak berada di luar gedung dengan suasana malam, para gedung tinggi memunculkan sisi di mana ada bulan bersinar di sana.

Roland tampak diam menatap bulan itu lalu menghela napas panjang, mengambil satu batang rokok dari sakunya dan menyalakannya dengan korek. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu dan yang terlintas di pikirannya sekarang adalah Imea.

Lalu menutup mata dengan menghela napas panjang. "(Ini sudah dua minggu. Mereka bilang dunia ini sudah berakhir, tapi aku tidak percaya itu sama sekali karena aku tidak bisa melakukan apapun kecuali memikirkan seseorang yang telah masuk ke dalam hatiku. Meskipun aku juga banyak menemukan lebih banyak orang yang selamat setiap hari dan bergaul dengan mereka. Hanya mereka satu-satunya selamat di dunia mati ini. Aku juga masih percaya dengan harapan yang tidak pasti datang maupun akan pergi selamanya tanpa mengucapkan selamat tinggal, tapi setiap hari itu menjadi semakin sulit dan sulit ketika aku tetap percaya pada satu hal yang tidak akan pernah datang. Menemukan cinta memang sangat sulit jika kau harus merasakan kepahitan kehilangan seseorang yang telah masuk ke dalam hatimu. Dunia ini sudah berubah bahkan alam punya cara memperbaiki dirinya sendiri. Mereka semua sudah menganjurkan semua orang dengan sangat baik dan sekarang meja telah berputar, mereka ditakdirkan untuk kematian yang sangat menyakitkan diikuti rasa lapar yang tak tertahankan dan dicabik-cabik oleh orang yang telah mereka hancurkan. Menurutku itu memang adil jika dihubungkan dengan manusia dan alam.

Aku berpikir soal wanita yang terus saja muncul di benakku. Bagaimana hubungan kita ini.... Aku bahkan tak bisa merasa jauh darimu walau untuk sesaat, untukmu setiap hari aku bertahan hidup, aku melakukan itu hanya ingin terus mengingatmu dan semoga takdir mempertemukanmu dan aku, sehingga aku bisa tahu bahwa harapan telah menjagamu selama ini tanpa aku. Bahkan jika aku ingin menyerahkan sesuatu yang harapan inginkan, semua waktuku hanya untukmu saja, tak sekalipun waktuku tanpa kehadiranmu. Namamu bahkan ada di setiap hembusan nafasku, setiap aku bertarung dan setiap aku berkecoh dengan seorang yang lebih menyebalkan dari hal ini. Kini hanya kamu seorang ketenanganku juga rasa sakitku cintaku ini hanya dirimu seorang. Mungkin aku terlalu lebay jika mengingat Imea yang tidak mau pernah datang, memikirkan wanita lembut sepertinya pastinya dunia bahaya ini tidaklah sesuatu yang selamat untuknya. Dia tidak akan tersisa tanpa apapun dan aku tak akan mengerti apa yang terjadi...)" dia tidak bisa tenang dan terus saja mengingat Imea.

Di sisi lain, Uminoke mengikuti jalan Line di jalanan gelap itu.

"Um, Line... Apa yang sebenarnya terjadi?" Uminoke menatap bingung.

"Kemarilah," Line memegang tangannya dan menariknya pelan dan di saat itu juga Uminoke melihat ada mobil Mercedes-Benz yang sangat mahal yang tadi siang diperbaiki Roland.

"Apa ini?? Ini mobil mewah dan mahal!!" Uminoke tampak terkesan.

"Bagaimana jika mengendarai satu putaran?" Line menawar.

"Eh, apa maksudmu, apa tidak apa-apa, apa pemiliknya tak akan mencari? Bagaimana caramu menyalakannya?"

"Tidak perlu khawatir, pemiliknya mati dan menyerahkannya padaku, tentunya aku bisa mengendarainya sama seperti mobil yang aku bajak setiap hari," balas Line. Dia lalu membuka pintu samping supir untuk Uminoke yang tampak berwajah merah.

Dia masuk ke dalam mobil dan Line menutup pintunya, dia lalu berjalan ke bangku supir dan menyalakan mobil itu yang bahkan menyala dengan sangat baik.

"Line, apa kamu yakin?" Uminoke menatap ragu.

"Ini meyakinkan," balas Line. Lalu dia mulai mengendarainya dengan kecepatan rata-rata membuat Uminoke terkesan. "Seumur hidupku, aku baru pertama kali menaiki mobil semewah ini.... Apa kamu melakukan ini hanya untukku?" Uminoke menatap.

"Yeah, aku melakukan ini untukmu... Berharap, kau bisa menyukaiku," kata Line.

Tapi mendadak Uminoke terkejut mendengar itu dan menjadi diam membuat Line juga ikut terdiam.

Lalu Uminoke mengatakan sesuatu. "Line... Mungkin kamu akan mengerti kenapa aku menunda hal ini," kata Uminoke membuat Line kembali terdiam. Dia berwajah serius dan meremas kemudi. "Ya..... Aku tahu itu, aku tak akan memaksamu suka padaku, tapi aku akan berusaha membuatmu menyukaiku," kata Line membuat Uminoke tersenyum dan mendadak memegang tangan Line membuat Line terkejut dan langsung menatap.

"Terima kasih...." dia lalu mendekat dan seketika mencium pipi Line membuat Line berwajah tak percaya mendapatkan ciuman dari gadis yang tidak bisa dipercaya.

---

Tak lama kemudian, Line keluar dari mobil dan mengantar Uminoke ke dalam, tapi ia terdiam dan berhenti di depan pintu gedung lantai satu membuat Uminoke menoleh.

"Line, tidak masuk?"

"Masuk saja duluan," balas Line yang berjalan pergi membuat Uminoke terdiam.

Rupanya Line menghampiri Roland yang sendirian dari tadi. "Hei kau, Junior," tatap Line membuat Roland menoleh.

Wajah yang ditunjukkan Roland tampak cemas dan Line mengerti hal itu.

"Ha.... Kawan.... Aku putus asa..." Roland memegang keningnya.

"Lupakan hal itu, hanya karena soal wanita itu, kau bersikap seperti ini, patuhi kata-kataku dan masuk ke dalam, kita harus membahas sesuatu dengan yang lainnya," kata Line tampak tidak peduli dan berjalan duluan membuat Roland terdiam.

---

Setelah itu mereka mulai membahas di tempat duduk masing-masing. "Jadi, dari awal kita di sini, kita baru saja kemari dan bergabung denganmu itu adalah sekitar 1-2 hari kita di sini, dan aku harus bertanya padamu, apakah kau pernah menjelajahi gedung seluas dan setinggi ini?" tanya Line pada Suga, Line berbicara sambil merangkul Uminoke di sampingnya.

"Sebenarnya belum, aku dan Kachi baru menjelajahi lantai 1-5, lantai satu tempat kamar mandi, lantai dua tempat pertemuan dan lantai tiga, tempat karyawan bekerja, lantai seterusnya adalah hal yang sama di bagian karyawan berbeda," balas Suga.

"Lalu ada berapa lantai gedung ini?" Roland bertanya.

"... Ada 30 lantai," balas Kachi.

"Itu akan lama," Roland langsung terkejut.

"Karena itu kita harus mulai dari sekarang, kita bagi tempat. Ingat, kita tak bisa kembali lagi ke bawah sebelum menjelajahi lantai yang akan ditentukan, targetnya adalah 2 hari saja, apakah mengerti?" tatap Line. Lalu Ariya, Dian, dan Roland mengangguk serius.

Setelah itu mereka kembali berkumpul serius dan Line membagi tugasnya.

"Kita tak akan bisa melakukannya sendiri, jadi aku akan isi menjadi dua orang satu tugas. Pilihlah pasangan kalian sendiri yang terasa cocok," kata Line.

"Lebih baik kita sendirian saja," Roland menatap.

"Aku bersama Uminoke," Line langsung membalas. Roland terkejut, ia lalu menoleh ke Uminoke yang berwajah merah.

"Baiklah, aku sendiri saja."

"Aku akan bersamamu," Kachi langsung mengajukan.

"Apa maksudmu?"

"Aku bisa membantumu, dan menemanimu," tatap Kachi.

"Baiklah, kau bersama kakak ipar," kata Line.

"Apa? Kakak ipar, dari mana kau dapat julukan itu?" Roland dan Kachi langsung terkejut.

"Kachi, kenapa tidak bersamaku saja," Suga menatap. Seketika suasana terdiam, Kachi terdiam menatapnya.

Ia menatap wajah Suga yang ingin sekali bersama Kachi, lalu Kachi tersenyum dan mendekat. Dia mendekap lengan Suga. "Baiklah, aku akan bersamamu, aku tahu kau juga kuat sama seperti orang yang bisa melindungiku," kata Kachi. Di saat itu juga Suga tersenyum senang dan mengangguk.

Line yang melihat itu menjadi berpikir sebentar. "(Hm... Aku ingat saat Uminoke tidak akan membalas cintaku jika kakaknya belum mendapatkan cinta, sepertinya aku melihat cinta di antara mereka.... Jika kakak Uminoke mendapatkan pacar, dengan begitu Uminoke akan menganggapku sebagai kekasihnya. Hal yang harus kulakukan adalah membuat kedua pasangan baru itu menjadi saling suka, dengan begitu Uminoke bisa mengerti bahwa kakaknya sudah dapat pacar... Hm... Hm...)" sepertinya Line merencanakan hal licik membuat Uminoke menatapnya, dia lalu memegang tangan Line membuat Line menoleh padanya.

"Kenapa diam?" Uminoke menatap, di pandangan Line, Uminoke benar-benar berwajah imut membuat Line menggeleng. "Ehem.... Baiklah, aku akan lanjutkan."

Setelah beberapa lama kemudian, kelompok telah terbagi.

Line bersama Uminoke.

Roland bersama Zahra.

Suga bersama Kachi.

Nikol bersama Dian.

Dan Barbara bersama Ariya.

"Tunggu, kenapa aku harus dengan wanita itu?!" Roland menatap histeris.

"Kya, sama lelaki ganteng," Zahra malah senang dan memeluk lengan Roland membuat Roland menatap mengerikan pada Zahra. Dengan kata lain, jijik.

"Tak apa, di antara kelompok kita, bisa memata-matai dan bertarung," kata Line.

Roland tetap pucat dengan hal itu. Sementara Ariya menatap Barbara. "Mohon bantuanmu," dia menatap lembut dan ramah membuat Barbara terkejut berwajah merah dan langsung mengangguk.

"Tunggu, kenapa aku bersama lelaki payah ini?" Nikol melirik Dian yang seketika tertusuk tombak perkataan-nya.

"Itu sakit...." dia memegang dadanya.

"Aku tidak yakin kau bisa saling melindungi meskipun kau militer," Nikol melirik.

"Itu memang benar," balas Ariya membuat Dian tambah terkejut dan tertekan.

"Dia memang payah tapi dia cerdik dan menggunakan otaknya, jangan meremehkan-nya dulu," kata Ariya yang rupanya membela Dian.

"Letnan," Dian langsung terharu.

"Haiz baiklah, awas saja jika kau terlihat merengek dan ketakutan apalagi diam saja nanti," lirik Nikol membuat Dian mengangguk apa adanya agar Nikol menerimanya.

Siguiente capítulo