webnovel

Chapter 38 Lead The Way

Mereka berjalan hingga menemukan suatu tempat. Seperti hal mencolok di sana dan jalanan juga perlahan menjadi gelap karena hari memang sebentar lagi akan malam. 

Line yang duduk di bangku tengah lain bis itu menatap terus dari jendela. Ia menatap setiap pohon pohon yang dilewati bis itu dengan cepat. 

"(Di sini tak ada keberadaan satu zombie lain, itu mungkin dikarenakan ada suatu faktor tertentu, zombie ada yang buta, dia hanya mengikuti arah suara dan lapar menjadi nafsu nya, jadi jika di tempat itu ada suara tanpa cahaya terang, dia akan bisa ke sana dan menerkam apa yang dia lakukan, memakan suara yang ia dengar jadi sudah jelas mengapa di sini tak ada satu maupun dua makhluk itu, mereka akan mengikuti kawanan nya melalui suara. Sedang kan zombie yang bisa melihat semuanya, dia pasti menjadi pemburu handal, lebih berbahaya dari zombie buta dengan pendengaran yang tajam,)" pikir Line dengan serius. 

Lalu ia merasa bis berhenti dan berjalan ke depan. "Ada apa? Kenapa berhenti?" tanya nya pada Roland yang mengemudi.

"Ada sesuatu yang mencolok dan tidak takut di serang ini," balas Roland. Ia menatap ada sebuah tempat, seperti hotel dalam, hotel bernama Babymotel. 

"Yeah, itu sepertinya hal yang berbau sangat vulgar," kata Line. Hotel itu sangat mencolok dengan cahaya dan papan iklan nya.

Setelah itu mereka memutuskan untuk berhenti di sana dan memarkirkan bis itu, keluar dari bis dan berjalan masuk perlahan. 

"Apakah ini semacam hotel cinta?" Kachi menatap sekitar. 

Mereka masuk dan rupanya di sana benar benar kosong, tak ada orang tapi masih berjalan. Yang benar saja di sana banyak pesan yang tertulis dan pesan itu adalah pajangan suatu percintaan. 

"Wkwkwk, kyahaha lihat ini Line!" Roland tertawa sendiri menatap sebuah pajangan pesan. 

Line berjalan mendekat dan sekilas membaca, ia lalu tertawa kecil. 

"Apa yang gerjadi?" Kachi ikut melihat, ia akan membaca tapi rupanya bahasa nya adalah bahasa Rusia. Tentunya ia tak akan bisa membaca tulisan nya karena tak tahu bahasa Rusia.

Ia melihat mereka berdua terus tertawa kocak sendiri dan ia iri melihat hanya mereka yang tahu pesan nya. 

"Hei, cepat katakan padaku..." Kachi menatap kesal. 

"Baiklah, ini sama seperti kata kata yang terpanpang, tapi masa aku ingin bilang padamu?" Roland menatap. 

"Kenapa? Apakah itu sebuah pesan cinta?" Kachi menatap bingung. 

"Yeah, itu pesan kangen... Oh bagaimana jika kau bilang itu untuk Imea," Line menatap Roland. 

"Wah, jangan main main, aku yang tidak bucin banget ingin bilang ini?" 

"Tak apa, cepatlah, siapa tahu dia kangen kamu," tatap Line. 

Lalu Roland terdiam dan menatap sekitar. "Yeah, aku harap dia kangen aku," senyum nya kecil membuat Kachi ikut merasakan bahwa rasanya di tinggal orang yang paling di sayang. 

"(Siapa itu Imea? Apakah itu pacar Roland?)" Kachi terdiam. 

"Baiklah, aku akan membacakan nya," kata Roland. Ia lalu menatap ke pesan pampangan itu. 

"Ehem.... Sayang, ini jam 3 pagi. Apakah kamu masih ada di pikiran ku yang kosong tanpa apa apa ini. 

Dan ini bukan pertama kalinya aku mengalami ini yakni menginginkanmu lebih dan lebih dari apapun. 

Aku tidak bisa tidak memikirkan apa yang bisa kita lakukan sepanjang hal yang sudah berlalu. 

Sayang, jika aku bisa memberitahumu saat ini juga, betapa aku pedulinya dengan rasa keputusasaan ini. 

Apa kamu masih di sana? Aku harap kamu masih di sana membaca pesan ini. 

Katakan saja, bagaimana kita bisa membuat ini berhasil dan jelaskan padaku semuanya tanpa ada hal yang tidak kamu ketahui. 

Karena sayang, jika aku menemukan jalan, aku yakin cinta ini tidak akan tersesat. 

Beri aku kesempatan untuk mengatakan aku mencintaimu dan aku akan selalu membutuhkanmu. 

Sekarang apakah kamu di sini untuk tinggal bersama ku dan selalu duduk di sisi ku atau menghilang seperti hari-hari lainnya dan hanya di isi kekosongan yang terus berlalu. 

Tentunya kamu adalah alasan aku terbangun dari tidur ku, setiap hari ini jam 3 pagi dan aku selalu membuka mataku, menatap langit-langit dan membayangkan wajah mu ada di depan ku saat ini," Roland membacakan nya dengan sangat menghayati tapi wajahnya menunjukan bahwa dia main main. 

Kachi yang mendengar itu bukan nya tertawa tapi malah menangis haru membuat Line dan Roland terkejut. 

". . . Kupikir itu jokes untuk kita dan pesan mendalam untuk wanita sepertinya," kata Line. 

"Yah, kau benar," Roland menambah. 

"Hiks.... Aku yakin pacar mu pasti juga berekspresi begini," kata Kachi. 

Lalu mereka kembali melihat lihat, berpencar dan di sana, Roland menemukan sebuah piano putih yang cantik. 

"Wah wah, umur 10 tahun aku pernah belajar ini," ia senang sendiri lalu menggosok tangan nya dan duduk di kursi piano itu. 

Sementara itu, Line dan Kachi ada di ruangan berbeda. Kachi menatap ke Line terus seperti ingin mengatakan sesuatu. "Um... Line, bisa aku bertanya sesuatu padamu?"

"Tanyalah hal yang lain selain ingin tahu aku," Line langsung membalas dengan membelakangi Kachi menatap tulisan tulisan di sana. 

Kachi terdiam dan menghela napas panjang. 

"Baiklah, bagaimana dengan senjatamu, aku melihat mu menggunakan pisau apakah itu pisau yang di rancang khusus? Bisa aku lihat?"

"Pisau itu hanyalah pisau biasa, tapi pisau yang aku bawa ini dan tak akan aku sia siakan ini adalah pisau luar biasa," Line menunjukan satu pisau mirip belati, ukuran nya lebih besar di gagang nya. 

"Apa yang membuat mu mengatakan bahwa itu adalah pisau luar biasa, padahal tampilan nya lebih kecil dari pisau yang kamu punya." 

"Ini belati yang di rancang khusus dan aku membuat nya sendiri, aku menamakan ini... "Sword Line" Atau di artikan sebagai garis pedang, meskipun bukan pedang tapi ketajaman nya sama seperti mengibaskan pedang."

"Apa kau berlatih dengan itu selalu?"

"Hanya beberapa kali, sekarang sudah sangat berkurang," balas Line. 

"Sayang sekali, sekarang aku tahu tinggimu benar benar melebihi orang lain karena kau selalu berlatuh fisik, berapa tinggimu?"

"Aku sudah 190, aku baru saja mengukurnya bersama Roland..." 

"Wah wah, begitu sangat tinggi... Lalu umurmu?" tatap nya. Seketika Line terdiam dan melihat pisaunya menjadi belati lagi. 

"Ajukan saja pertanyaan lain selain itu," kata Line. 

"Oh, baiklah... (Seperti nya dia bukan tipe orang yang suka membicarakan umurnya sendiri.) Oh bagaimana dengan Roland, apa hubungan mu dengan nya?"

". . . Dia adalah mantan rival ku, kami tak pernah menjadi rekan, kecuali di hari kiamat ini, aku tak tahu dia menganggap ku apa tapi aku menganggap nya sebagai kawan." 

". . . Kalau begitu, bisa kau bilang siapa kau ketika di pandangan banyak agen kriminalisasi?" tatap Kachi pada nya. 

Line terdiam dan menghela napas panjang. 

"Apa? Kau ingin bilang ajukan pertanyaan lain selain itu, ini kiamat Line... Aku tak akan menilai mu apapun karena kau juga menyelamatkan ku, jadi katakan saja agar aku bisa mengenal mu lebih dalam," tatap kembali Kachi padanya. 

". . . Haiz... Aku hanya malas bercerita saja... Kau bisa tanya pada Roland nanti," balas Line. 

Di sisi lain, Roland akan bersiap duduk dan melemaskan jarinya untuk bermain piano itu. 

Tapi saat akan memainkan nada, tiba tiba di jarinya penutup piano itu tertutup oleh seseorang dengan cepat. 

"Akhh!!" Roland terkejut tangan nya terjepit, tak hanya itu, kepalanya juga terpukul papan piano itu yang juga di gerakan oleh tangan orang. 

Hal itu membuat Roland terbaring jatuh, seketika ada yang menginjak dada nya membuat Roland membuka mata menatap lemas. 

Seorang lelaki yang menodongkan pistol padanya. "Siapa kau... Dan dengan siapa kau kemari? Kau salah satu dari monster itu?" tatap nya dengan ganas membuat Roland terdiam mengangkat kedua lengan nya. Karena lelaki itu bersiap menarik pelatuk tanpa ragu ragu. 

Dari sana, Kachi dan Line datang di ruangan itu dan ketika lelaki itu melihat ke Kachi ia menjadi terkejut. "Kachi?!"

". . . Rafid?!" Kachi juga menatap baru sadar. Rupanya lelaki itu adalah Rafid, yang pernah di ceritakan oleh Kachi pada Roland. 

"Rafid, tenanglah, dia adalah orang baik," tambah Kachi meyakinkan Rafid untuk melepas Roland. 

Lalu Rafid menatap Roland dengan wajah serius membuat Roland terdiam membisu tidak bisa membela diri karena masih belum tahu apa yang terjadi di sana. 

Hingga akhirnya, Rafid menghela napas panjang dan menyingkirkan kakinya dari tubuh Roland dan menyimpan kembali pistolnya. 

"Baiklah, aku akan melepas mu, maafkan aku sebelumnya karena aku memang belum tahu dan saat ini memang harus waspada," kata Rafid mengulur tangan pada Roland yang terbaru berdiri. 

"Yah tak apa, aku juga tidak minta izin dulu memainkan piano ini," balas Roland. 

"Ah tak apa, ngomong ngomong bagaimana kau kenal Kachi?" Rafid menatap mereka. 

Kachi langsung menjelaskan pertanyaan nya. "Ah, mereka berdua teman adik ku, aku pernah bilang padamu kan bahwa ketika kamu bertanya aku punya keluarga tidak, aku menjawab nya bahwa aku punya adik perempuan satu dan ia kemari menemui ku dengan di bawa kedua lelaki yang baik ini," kata Kachi. 

Lalu Rafid menatap ada kalung yang terletak di leher Line. Dari rantai kalung itu, Rafid sudah melihat bahwa itu adalah dog tag, sebuah kalung pangkat yang dipakai militer. 

"Apakah kau dari militer?" tatap nya pada Line. 

". . . Yah, ada apa? Kami berdua militer," balas Line dengan wajah jutek nya. 

Lalu Rafid menoleh ke Roland. "Kenapa kau tidak memakai dog tag mu di leher jika kau juga militer?" 

"Ah, ada suatu takdir yang memisahkan ku dengan liontin itu, seorang gadis kecil telah pergi entah kemana membawa liontin ku, tapi aku berharap saja dia masih bisa menjaga diri di sana nantinya," balas Roland. 

"Apakah adik mu?"

". . . Ya, kau bisa menyebutnya begitu.. (Aku yakin bahwa Nian masih hidup di luar sana tapi bagaimana seseorang percaya bahwa gadis kecil sepertinya bisa melewati banyak kiamat ini, tapi aku hanya percaya bahwa dia bisa melewati kiamat ini karena ketika kita pertama kali bertemu, aku juga tidak percaya bahwa gadis sepertinya bisa bertahan hidup hingga bertemu dengan ku, aku yakin, gadis itu bisa menjaga dirinya meskipun hatinya ketakutan,)" pikir Roland dengan diam. 

Siguiente capítulo