Mereka sampai di sebuah pagar perbatasan dan ada beberapa zombie di sana yang mencoba menghancurkan pagar itu untuk masuk ke dalam.
"Kau tahu apa artinya?" Roland menatap Line yang mengamati itu dengan serius.
"Pagar itu tidak dibuat oleh militer, ada suatu kelompok yang ada di dalam gedung itu yang membuat pagar perbatasan. Aku belum tahu di sana ada berapa orang juga," balas Line.
"Aku punya 10 peluru tersisa, mereka ada berapa?" tanya Roland sambil memasang pelurunya.
"Aku juga akan ikut," Nikol mengeluarkan pistol tembakan di tangannya mendekat ke mereka.
"Uminoke pergilah ke tempat aman... Atau begini saja, karena mereka terlalu banyak, Nikol kau harus membawa mereka langsung masuk ke pintu gedung," kata Line.
"Bagaimana jika kekunci dari dalam?"
"Dobrak saja," Roland menyela.
"Haiz... Baiklah... Kalian ikut aku," Nikol menatap Barbara dan Uminoke yang mengangguk.
"Baiklah, di sini total ada 19 makhluk itu, sekali tembak kenai kepala mereka," kata Line, ia mengambil sesuatu dari saku pinggangnya.
"Kau tidak ada senapan?" Roland bingung.
"Aku akan jadi umpan jarak dekat agar para wanita itu bisa ke arah lain," Line membalas sambil memegang dua pisau di tangannya.
Lalu Roland teringat sesuatu. "(Dia memang suka pada pisau, aku heran dia selalu mengandalkan pisau untuk bertarung pada tentara sekaligus... Aku ingat saat dia melawan para anggota militer saat pangkatku masih atas,)" dia tersenyum kecil lalu membidik.
Dengan cepat Line berlari ke arah lain dari pagar. Membuat para zombie-zombie itu menyerangnya. Line melawan mereka dengan menebas dan mengayunkan pisaunya dan Roland melindunginya dari jauh.
"Bagus, mereka sudah mengalihkan perhatian... Ayo cepat," Nikol berjalan ke pintu gedung. Mereka bertiga ada di sana.
"Sudah kuduga dikunci," Nikol tak bisa membuka pintu gedung itu. Tapi ia ingat kata Roland harus didobrak. "Hmp... Mudah," dia mundur dan akan mendobrak dengan kakinya, tapi saat kakinya sudah mendobrak pintu itu, mendadak ada yang membuka pintu itu dari dalam.
"Akh... Sial!!" Nikol menjadi terjatuh.
"Kau baik saja?" Barbara menolongnya. Tapi Uminoke terdiam karena orang yang membukanya menodongkan pistol pada mereka.
"Siapa kalian... Katakan tujuan kalian," lelaki itu menatap serius.
"Siapa mereka?" ada satu orang datang dari dalam.
Mereka menoleh di saat itu Uminoke terkejut karena yang ada dari dalam itu adalah Kachi, kakak perempuannya.
"Kachi!!!"
"Hah... Uminoke..." Kachi terkejut dan mendekat memeluk Uminoke.
Lelaki tadi menurunkan pistol tembakannya.
"Apa kau kenal dia, Kachi?"
"Dia adikku... Aku sangat senang bertemu denganmu, Uminoke," kata Kachi.
"Aduh duh..." Nikol berdiri dan melihat mereka.
"Apa kalian juga mencari tempat aman?" lelaki tadi menatap Nikol dan Barbara.
"Ya... Apa di sini tempat kalian?" Barbara menatap.
"Di sini tempat yang sangat aman bagi kalian... Kalian bisa masuk," kata lelaki itu.
Lalu mereka masuk, Kachi juga sibuk membawa Uminoke masuk ke gedung itu hingga ia lupa bahwa Line dan Roland masih ada di luar. Dan lelaki tadi sudah mengunci pintunya dari dalam.
--
"Huf... Akhirnya," Roland menghela napas.
Line juga berjalan mendekat padanya sambil mengibaskan pisaunya dari darah yang masih menempel.
"Itu sudah yang terakhir... Aku benar-benar ingin segera mencari markas besar aliansi," kata Line.
"Kau bisa melakukannya setelah kita tahu siapa itu Imea," balas Roland, ia meletakkan senapannya di tanah lalu membersihkan dirinya.
"Ini mungkin adalah akhir... Di sini sudah aman," tatap Line. Lalu Roland terdiam dan tersenyum kecil. Mereka lalu berkata bersamaan.
"Junior terbaikku..."
"Senior terbaikku..."
Meskipun belum tentu siapa yang junior dan siapa yang senior, itu tetap menyatukan mereka berdua sebagai rekan, bukan rival.
"Kakak, aku benar-benar senang kakak selamat dari ini semua," kata Uminoke menatap Kachi yang mengantarnya ke suatu tempat.
"Ya, aku juga senang adik kecilku hebat dalam bertahan hidup. Tapi harus kau tahu, perjalanan ke sini itu benar-benar sangatlah berbahaya sekali, karena Kyoto adalah tempat pertama munculnya virus ini, tepat di tanggal 7 Desember, semuanya mulai muncul dan di tanggal 9 Desember malam, terjadinya gempa meteor. Dari yang aku lihat bersama rekan penjagaku, dia memastikan bahwa meteor itu jatuh di tempat yang sangat jauh dari pemukiman, tepatnya seperti ladang yang sangat luas karena mengarah ke barat," tatap Kachi dengan sangat serius.
"Itu memang benar, perjalanan itu sangat berbahaya, tapi aku punya orang yang selalu melindungiku, dia bahkan berjanji melindungiku," kata Uminoke.
"Hah benarkah? Siapa?! Aku lihat kau hanya datang bersama dua wanita tadi yang diantar oleh Suga, lelaki yang menghampiri mereka tadi," tatap Kachi dengan agak bingung.
"Ah jadi namanya Suga, apa itu pacar kakak?" lirik Uminoke.
"Haha bukan, kami bukan pacar. Kami bertemu di tempat kerja yang sama. Dia adalah seorang pengawal Direktur Rudi dan aku adalah asisten Tuan Direktur. Tapi kami tak tahu, Direktur telah pulang ketika ini semua terjadi dan kami berdua hanya tersisa di sini. Selama 15 hari, kami mencegah semua makhluk-makhluk itu agar tidak masuk, bahkan kami diberikan senjata-senjata yang diberikan pada orang-orang militer yang kebetulan lari ke gedung besar ini. Sekarang di dalam sini hanya ada kami berdua saja. Kami keluar mencari makanan dan kebutuhan lain hingga menetap di sini sampai kapan pun tak akan tahu," kata Kachi.
"Tapi, aku lihat mayat Tuan Rudi saat itu, dia telah mati."
"Hah, benar?! Lalu, bagaimana dengan istrinya, dia mengandung anaknya?"
"Sama, istrinya meninggal tapi jika bayinya, kami sama sekali tak menemukannya, aku tak tahu pasti karena aku bukan ikut mereka. Roland lah yang ikut mereka, mungkin kamu harus bertanya padanya," tatap Uminoke.
"Lalu di mana dia? Apa dia orang yang bilang berjanji melindungimu?" tanya Kachi.
"Eh, bukan, bukan dia... Ada dua orang lelaki kok, mungkin mereka nanti ke sini, aku harus menunggunya."
"Tapi kamu tidak ingin istirahat, biar kakak saja yang menunggu mereka."
"Tidak kakak, mereka pasti tidak tahu kakak, dan sebaliknya, kakak pasti tidak tahu mereka hingga akan menumbuhkan kesalahan paham. Jadi aku akan menunggu, kakak bisa ikut aku," kata Uminoke.
Awalnya Kachi khawatir dengan kondisi adiknya, ia lalu menghela napas panjang dan menyetujuinya.
Mereka berdua berjalan ke depan pintu kaca yang terkunci. Berdiri di depan menatap jalanan yang berserakan itu. Uminoke melihat banyak sekali mobil terguling, kotor dan rusak di mana-mana, jalanan seperti hancur dan banyak bekas darah di sana.
"Aku benar-benar tidak bisa berpikir dunia ini akan menjadi seperti ini," tatap Uminoke dengan kecewa.
"Yeah, kau belum tahu awal mula dari kiamat ini yang terjadi di Kyoto."
"Bisa kakak bilang padaku?" tatap Uminoke.
"Jadi, di tanggal 1 Desember, itu masih hujan, aku bekerja di samping Tuan Direktur, berdiri menemaninya di kantornya, tapi sesuatu telah terjadi, di mana ketika malah hujan itu, ada ledakan di tempat agak jauh, tepatnya di tengah kota. Ledakan itu memang tidak terlalu besar karena hanya beberapa meter saja bisa terdengar. Ledakan itu rupanya berasal dari laboratorium kota, Suga sendiri yang menyelidiki ledakan itu. Setelah beberapa hari diperbaiki, bahkan masih hujan, mereka tetap memperbaiki. Rupanya memang benar, apapun tak akan bisa menghambat manusia melakukan pekerjaannya masing-masing, termasuk hujan yang berbahaya itu. Tak peduli mereka kehujanan, tak peduli mereka meminum dari air hujan, benar-benar sangat tidak bisa diherankan. Setelah itu, 7 hari berlalu, di tanggal 7 Desember pagi, di jam 4 pagi tepatnya, ada pemberontakan yang sangat berisik, keributan di sana dan aku malah menemani Tuan Direktur mengoreksi pekerjaannya. Aku diminta melihat dari jendela dan aku melihat mereka yang manusia memakan daging manusia sendiri. Menyerang mereka satu per satu, tidak meninggalkan mayatnya, melainkan menggigit seluruh tubuh dan merobek perut temannya sendiri hingga keluar darah. Setelah itu dia meninggalkannya, korban yang ditinggalkan itu, bangun dan berjalan sempoyongan seperti mayat berjalan padahal isi perutnya sudah keluar semua.
Dari sana, gedung kekuasaan ini telah panik membuat semua orang pergi dan karena aku tak ada tempat, aku tetap berada di sini. Tuan Direktur berlari pergi, dia bilang dia harus menemui istrinya dan diantar oleh banyak orang. Di saat itu juga, aku bertemu dengan Suga, hanya kami yang tersisa di gedung ini, memutuskan membantai semuanya dengan peralatan tajam seadanya dan mengunci semua pintu, jendela gedung ini. Sebelumnya, di jam 4 pagi itu, hujan sudah berhenti dan tepat di sana, masalah itu terjadi," kata Kachi dengan wajah yang sedih, membuat Uminoke terdiam mengerti.
Tapi tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu kaca di depan mereka berdua yang mengobrol. Mereka terkejut ketika mendengar itu, hal itu membuat mereka menoleh dan terkejut. Seorang lelaki, yakni Line yang sedang berdiri memandang mereka dengan tatapan senyum miringnya.
"Astaga, siapa kau?!" tatap Kachi dengan berani. Ia menodongkan pisaunya meskipun mereka terhalang pintu kaca.
Line hanya terdiam dengan mengangkat satu alisnya, ia menatap bingung pada Uminoke.
"E... Kakak, kakak... Dia adalah lelaki yang aku kenal dan itu juga," tunjuk Uminoke pada Line dan Roland yang berdiri membelakangi Line dengan maksud melihat sekitar waspada akan kemunculan makhluk-makhluk itu yang siap menyerang kapan pun.
Lalu Kachi menoleh pada Uminoke dengan bingung. "Apa?! Kamu bercanda?! Kenapa tidak bilang dari tadi?" tatap Kachi.
Ia lalu membuka pintunya agar Line dan Roland bisa masuk ke dalam.
"Line, kamu baik-baik saja di luar sana?" tatap Uminoke.
"Ya, aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong, terima kasih telah membuka pintu untukku tadi," tatap Line pada Kachi yang terdiam kaku dari tadi.
Ia terdiam dengan terus menatap ke wajah Line, membuat Line terdiam bingung. Di dalam hati Kachi, dia berpikir aneh.
"(Astaga, ini benar-benar suatu keajaiban, lelaki bertopi ini bahkan kelihatan sangat tampan wajahnya dan lelaki satunya, tubuhnya tidak main-main... Aku benar-benar tidak bisa percaya adikku sendiri bisa melakukan ini, padahal aku dulu berpikir dia culun... Rupanya dapat lelaki idaman banyak orang,)" pikirnya yang terus memperhatikan wajah Line.
"Em, kakak, apa kakak baik-baik saja?" tatap Uminoke juga ikut bingung.