Setelah kejadian itu, mereka memutuskan untuk kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan mereka.
"Huhuhu... Bayi kecilnya," Imea terus menangis di dalam mobil. Uminoke mencoba menenangkannya dengan menemaninya duduk di bangku tengah.
Uminoke menatap Line yang terus fokus memancarkan aura dingin. "Line-
"Orang itu," kata Line yang menyela Uminoke. "Orang itu sudah membunuh nyawa kecil," ia menambah sambil menggenggam erat kemudi.
"Mas Line, maafkan aku. Aku memang bodoh," Imea menatap.
"Hmm, tak apa yang penting kau selamat," Line membalas sambil berubah drastis tak dingin lagi.
"Line kenapa lelaki itu bersifat begitu?"
"Entahlah... Mungkin dia terbawa arus gila putus asa."
Imea dan Uminoke yang mendengar itu agak bingung dan terdiam.
"...Hm, maksudku dia ingin menjadikan dirinya yang selamat dengan melihat penderitaan orang lain, dia sudah mengorbankan orang terdekatnya demi menyelamatkan dirinya sendiri."
"Dari mana kau tahu beginian?"
"Ada deh," Line membalas dengan wajah isengnya.
"(Cih... Dia tahu yang beginian... Siapa sih dia,)" Uminoke masih curiga.
Tak lama berkendara, Line memarkirkan mobilnya di tempat parkiran sebuah stasiun.
"Kita sudah sampai?" Uminoke menatap lalu Line mengangguk. Seketika Uminoke sangat senang dan langsung keluar. Tapi ia bingung karena stasiun itu begitu sepi dan berantakan, banyak bercak darah di sana. Ia menjadi pucat ketakutan, tempat itu sepi bagaikan semua orang punah.
Line yang keluar mobil menoleh padanya. "Ada apa, cepatlah masuk, kau bilang ingin menjemput kakakmu."
"...Aku pikir aku memiliki ide yang salah, lagi pula kenapa kau memintaku masuk duluan."
"Hmmm, bukankah aku janji hanya mengantarmu sampai stasiun?"
"Aku bukan menginginkan janji yang seperti itu, ayo temani aku, Imea, apa kau tidak mau ikut?" Uminoke menoleh pada Imea yang dari tadi duduk tidak turun.
"Kita hanya akan melihat ke dalam saja," Line menambah.
"Maafkan aku, badanku tidak enak, aku akan menunggu kalian di sini saja," Imea membalas, lalu Line dan Uminoke saling memandang.
"Em, baiklah kalau begitu kau beristirahat saja ya," kata Uminoke lalu ia berjalan pergi bersama Line.
Imea terus membayangkan dan mengingat wajah menyeramkan Paol saat ia akan disiksa. Hingga akhirnya dia trauma menahan ketakutan di dalam mobil.
Uminoke terlihat berjalan dengan sedikit gemetar ketakutan. Ia melewati lorong bawah tanah untuk menuju ke kereta. "Li- Line sepertinya di sini tidak ada orang," ia menoleh kepada Line tapi ia terkejut Line tidak ada.
"Li... Line, kau a-ada di mana?" Ia melihat sekitar. Lalu Line tiba-tiba meniup telinganya.
"Kyaaaaa!" membuat Uminoke terkejut.
"Pftt, haha, gadis penakut ya kau," kata Line.
"Uhh Line, kau jahat," Uminoke menggembungkan pipi.
Tapi tiba-tiba mereka mendengar suara dari bawah tangga, tepatnya di pemberhentian kereta bawah tanah.
"Apa itu... Line?"
"Entahlah, mungkin kita harus selidiki."
"Tapi di bawah tangga ini sangat gelap."
"Pasti ada saklarnya," Line meraba dinding.
"Kau pikir colokan listrik apa?" Uminoke menatap dingin. Tapi yang benar saja Line menyalakan lampunya.
Seketika lampu bawah tanah stasiun menyala sangat terang. Uminoke menjadi terbelalak, Line bisa menemukan pusatnya. Dan di sanalah banyak sekali zombie terlihat di bawah tangga.
Uminoke terpucat dan akan berteriak tapi Line menutup mulutnya dan mendekapnya dari belakang. "Kau akan membunuh kita berdua," ia berbisik.
Lalu Uminoke mengangguk cepat, mereka mundur pelan-pelan tanpa bersuara. Uminoke melihat di bawah tangga itu ada kereta dan kereta itu ada beberapa orang yang terkurung di sana karena itulah para zombie itu mengepung kereta yang berhenti tersebut dan mencoba memecahkan kaca.
Mereka berhenti agak jauh dari tangga. "Hah hah hah, kau harus berhenti menyentuhku, aku mulai menganggapmu orang mesum."
"...Aku tidak mungkin melakukan hal yang seperti itu."
"Tetap saja... Hah benar, Line, selamatkan mereka yang ada di kereta, kau melihatnya bukan?"
"Aku tidak bisa menyelamatkan mereka," Line langsung membalas tapi terlihat dengan agak menutupi dan menyembunyikan sesuatu.
"Kenapa, saat menyelamatkan bayi itu, kau juga bisa menghabisi semua makhluk itu kan?"
"Apa kau juga masih ingat saat kita jatuh dari lantai 2?" Line menyela.
"Kenapa, kita juga tidak mati, Line aku mohon selamatkan mereka."
"Uminoke, aku tidak mau menyelamatkan mereka."
"Kenapa, kenapa. Apa kau tidak peduli pada mereka, mereka juga nyawa Line?"
Tiba-tiba seseorang dengan penampilan berantakan datang. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
Mereka berdua menoleh.
"Kalian akan mati, cepat selamatkan diri."
"Tapi kita harus menyelamatkan orang-orang yang ada di kereta itu," Uminoke menatap.
"Mereka bukan urusan kita, ini sudah kiamat, aku tidak mau mati, ba... Bagaimana jika kalian mati untukku, dengan memancing makhluk-makhluk itu pada kalian pergi," pria itu berbicara dengan sifat gilanya.
Line menatap dingin lalu menarik baju pria itu. "Bagaimana jika kau saja yang mati untuk kita selamat?" ia melempar pria itu di tangga bawah. Hal itu membuatnya jatuh bersuara.
Bruk!! Duk!!
"Akkhhhh!" ia berteriak membuat para zombie itu mengarah padanya.
"Tidak, tidak, jangan makan aku, jangan!" ia berdiri dan berlari naik tangga.
"Line, apa yang kau lakukan, mereka akan naik ke sini!!" Uminoke panik. Tapi Line mendadak menarik Uminoke masuk ke sebuah ruangan yang berpintu besi. Pria itu dikejar semua zombie yang naik ke atas.
"Jangan kejar aku, makan mereka saja!!!" ia berlari panik. Tapi ujung-ujungnya ia tergigit dan dikerumuni banyak zombie itu.
"Cepat, sudah aman," Line menarik Uminoke lagi untuk ke tangga bawah. Mereka sampai di pintu kereta.
Tapi tiba-tiba Uminoke menampar Line.
Plak!!
"Apa yang baru saja kau lakukan Line, kau mengorbankan nyawanya kan, kau membuat pria itu mati hanya untuk membuat kita ke sini, padahal kau bisa gunakan kekuatanmu," Uminoke berteriak.
Semua orang yang ada di kereta menatap mereka dan ada yang mengetuk keras jendela.
"Cepatlah masuk, kereta akan pergi menyelamatkan kita," kata orang-orang yang ada di dalam.
Semua zombie itu berjalan turun bahkan ada yang jatuh terguling-guling.
Uminoke dan Line terkejut melihat itu. Tapi Line membuka pintu kereta dan memasukkan Uminoke. Lalu menutup pintunya dengan paksa karena itu macet jika ditutup otomatis.
"Line, apa yang kau lakukan, Line, masuklah cepat!!" Uminoke terkejut.
Tapi Line terdiam dan membuka mulut pelannya.
"Kau menginginkan ku untuk menyelamatkan orang, tapi kau tidak berpikir siapa yang akan menjadi korban," kata Line.
Uminoke terkaku mendengar itu, seketika lampu mati menjadi gelap padahal di belakang Line ada zombie yang melompat menggigitnya. Kereta pun bisa melaju.
"LINEEE!" Uminoke berteriak dan menangis putus asa di depan pintu kereta.
"(Tidak... Tidak... Aku tak mau kehilangannya... Dia sudah terluka pisau saat itu... Dan itu membuatku takut, sekarang aku takut lagi!! Line... Bagaimana jika dia tergigit...)" Uminoke tampak putus asa berlutut dengan gemetar di depan pintu kereta.
Tapi, ada seorang perempuan menghampirinya dan menyentuh bahunya membuat Uminoke menoleh dan terkejut bahwa wanita itu adalah kenalan kampusnya, ia memanggilnya. "Senpai."
Sebut saja dia yang bernama Mera. "Apa yang kau lakukan di sini... Umin?" tatapnya.
"Se... Senpai... Aku sangat takut!!" Uminoke menangis dan memeluknya langsung.
"Tenanglah sebentar, istirahatlah di sini," Mera mengajak Uminoke duduk di bangku kereta. Uminoke masih ngalamun dengan wajah berantakan. Dia sepertinya masih bersalah telah membuat dirinya berpisah dengan Line. "(Aku benar-benar bodoh... Semoga saja dia tidak apa-apa... Aku mohon baik-baik sajalah.)"
"Umin, apa dia tadi kakakmu?"
"...Kenapa Senpai berpikir begitu?"
"Karena tidak mungkin kalian sebaya, dia pernah ku lihat menjadi agen penjaga milik salah satu miliarder," kata Mera.
"(Hah?! Sebesar itu pekerjaan yang dia lakukan?!) Be-benar juga, aku tidak tahu asal usul Line!! (Tapi sekarang aku masih mencarinya,)" Uminoke terkejut baru sadar.
"Jadi dia bernama Line, aku turut berduka ya."
"Ti-tidak senpai, jangan mengatakan itu," Uminoke menyela membuat Mera merasa bingung.
"Aku yakin dia belum mati, dia bisa bertarung."
"Tapi Umin, kau sudah lihat sendiri kan... Sudahlah jangan memikirkannya, tidak baik kau terus seperti ini."
"... (Mungkin memang benar, aku tak boleh memikirkan hal ini atau aku akan gila...) Senpai, kemana tujuan kereta ini, kenapa saat banyak makhluk itu kereta ini tidak jalan?"
"Sebenarnya kereta ini sudah di sini selama 2 hari terakhir, tepat dimulainya makhluk-makhluk itu muncul. Kami berhenti di stasiun ini dan karena listrik mati kereta ini tidak bisa jalan, tapi saat kalian berdua muncul, listrik itu menyala, si masinis bisa menyalakan kereta lagi."
"(2 Hari? Itu berarti ketika aku terbangun dari 7 hari itu, kereta ini bahkan pas macet ketika virus mulai menyebar.) Tapi bagaimana dengan makanan di sini?"
"Kami saling berbagi, aku juga beruntung ada di sekitaran orang-orang baik ini," Mera tersenyum.
"Tapi kemana tujuan kereta ini?"
"Tujuannya akan ke Kyoto tapi sepertinya kereta ini harus terus berhenti untuk mendapatkan makanan."
"Senpai, tapi Kyoto tempat yang tidak aman."
"Apa maksudmu?"
"Line bilang..." Uminoke mendadak berhenti. Mera tetap memperhatikannya dengan bingung.
"Dia mungkin hanya bercanda kan, Kachi ada di sana."
"Umin?"
"Ah tidak apa-apa Senpai, aku khawatir pada Imea yang masih ada di mobil."
"Apa, jadi kau meninggalkan seseorang di mobil?"
"Dia merasa tidak enak badan, saat itu aku meninggalkannya untuk mengecek stasiun," Uminoke membalas.
"Hm... Mungkin itu juga salah satu maksud dari lelaki tadi, dia tak mungkin meninggalkan seseorang yang masih di dalam mobil," kata Mera.
Uminoke yang mendengar itu menjadi terdiam.
"(Apa itu... Mungkin benar?!)"
Sementara itu, Imea masih duduk di mobil, ia terkejut dan menunduk saat melihat ada zombie yang berjalan di depan mobil. Ia ketakutan dan mendadak mobilnya bergoyang. Ia terkejut dan menoleh ke samping, ternyata itu Line. Benar-benar tak disangka-sangka, dia benar-benar lelaki aneh bisa selamat dari serangan bawah tanah tadi.
"Mas Line!!" Imea menatap Line yang berlumur darah sambil menundukkan wajahnya.
Imea membuka pintu dan berdiri seketika Line terjatuh di tubuhnya. Untungnya Imea bisa menahan tubuh Line. "Mas Line kau baik-baik saja?" Ia menatap tapi ia terkejut ketika ada darah mengalir di punggung Line. "(Lukanya, terbuka!!)"