(TOKYO, 28 NOVEMBER)
Hari itu hujan deras. Seorang mahasiswi bernama Uminoke berjalan pulang dari kampus ke rumah menggunakan payung birunya. Ia hanyalah gadis biasa yang memiliki kehidupan sendiri bersama kakak perempuannya, Kachi. Ia berhenti dan menengadah menatap langit.
"Bau hujan hari ini sangat berbeda," dia terdiam melihat langit dan merasakan sesuatu yang aneh. Ia melihat ke arah barat, di mana langit berwarna biru gelap. Di selatan, langit berwarna abu-abu dengan banyaknya awan.
"(Kenapa warna mereka berbeda, ini tidak seperti biasanya?)" ia terdiam berpikir.
Ia lalu kembali melanjutkan jalannya. Namun, ia kembali menengadah melihat ke arah atap sebuah gedung besar. Ada seorang lelaki bersandar santai di pojok balkon atap gedung tersebut. Lelaki itu hanya terlihat dari belakang.
"(Apa yang sedang dia lakukan di sana? Apa dia tidak kehujanan?)" pikir Uminoke dengan bingung. Karena ponselnya berbunyi, Uminoke harus kembali melanjutkan jalannya. Kachi sudah menunggunya pulang. Kachi adalah kakak perempuannya.
"Aku kembali."
"Selamat datang, bagaimana soal sekolahmu?" kata Kachi dengan wajah penuh kasih sayang.
"Ya, seperti biasa. Ngomong-ngomong, Kakak, apa kau merasa hujan kali ini baunya berbeda?"
"...Ya, baunya seperti darah kotor. Hm... mungkin hanya efek pemanasan global."
"Tapi aku juga membaca di berita, hujan ini menyebabkan sakit parah bagi mereka yang benar-benar kebasahan."
"Itu sudah biasa, mungkin hanya demam. Cepat ganti pakaianmu, kita makan bersama."
"Baiklah, aku akan mandi dulu," balas Uminoke yang berjalan ke kamar mandi. Dia berendam air hangat di bak mandi sembari berpikir.
"(Hujan ini membuat perasaanku tidak nyaman saat mandi. Dan lagi... aku masih memikirkan lelaki tadi. Dia terlihat seperti seseorang yang tinggi, tapi aku belum tahu karena aku tidak melihatnya berdiri.)"
Setelah itu, Uminoke berjalan ke kamarnya dan mengganti baju. Lalu, ia berjalan ke meja makan.
"Uminoke, aku ada sedikit pekerjaan di luar kota. Mungkin aku akan pergi selama satu minggu penuh. Apakah kamu bisa menjaga dirimu sendiri?"
Kachi merupakan seorang asisten direktur di sebuah perusahaan. Kali ini, dia harus ikut atasannya pergi ke luar kota dan meninggalkan Uminoke.
"Ya, aku bisa. Kakak tak perlu khawatir. Ini sudah biasa sejak Ibu dan Ayah pergi."
Setelah Uminoke berkata begitu, Kachi mulai memasang wajah sedih. "(Uminoke... wajahmu terlihat biasa saja saat membicarakan Ibu dan Ayah... Maafkan aku... Uminoke.)"
Pagi hari berikutnya adalah waktu bagi Kachi untuk pergi ke luar kota.
"Umin, aku pergi dulu... Astaga, kenapa hujannya tak mau berhenti sejak kemarin," kata Kachi sambil kecewa menatap langit yang terus mendung.
"Apa Kakak benar-benar akan pergi? Di luar hujan dari kemarin belum reda dan sepertinya baunya tercemar."
"Yah, aku tahu. Tapi nanti kamu makan apa? Bagaimana dengan sekolahmu?"
"Sepertinya diliburkan karena dosennya tak ada."
"Kalau begitu, belajarlah di rumah. Kau ingin jadi dokter, kan? Jika aku sakit, kau bisa merawatku," Kachi mengelus kepala Uminoke dengan cepat.
"Apaan sih, aku ini sudah mau jadi dokter. Universitas sudah menerimaku."
"Haha, kalau begitu, aku pergi," Kachi membalikkan badan. Tapi, Uminoke seperti menahan sesuatu. "Ka-Kakak," ia memanggil. Lalu Kachi menoleh. Uminoke langsung memeluknya. "Cepatlah pulang."
"...Ya, aku janji," Kachi membelai rambutnya. Lalu ia berjalan pergi ke stasiun menggunakan payung.
Selama satu minggu ke depan, Uminoke tinggal sendiri tanpa kakaknya.
Waktu berlalu. Uminoke terlihat duduk sendiri di sofa melihat televisi yang menyala. Ia mendengarkan berita cuaca. "Hujan diperkirakan tidak akan berhenti sampai akhir pekan karena pemanasan global. NASA akan menelitinya lebih lanjut," kata sebuah berita tersebut.
"(Benar-benar mengerikan, tapi aku benar-benar tidak percaya sama sekali,)" Uminoke terdiam bosan melihat televisinya.
Lalu, Uminoke beranjak ke dapur dan membuka rak. Ia menjadi bingung. "...Di mana telurnya? Sepertinya habis. Aku akan membelinya," ia mengambil payung dan berjalan keluar di tengah hujan yang tak begitu deras.
Semua orang terlihat tetap bekerja ke kantor meskipun cuacanya buruk. "(Mereka benar-benar tidak punya istirahat di saat hujan begini. Itu sebabnya ada banyak yang sakit sekarang. Mereka lebih mementingkan pekerjaannya. Bagaimana jika dunia ini berakhir? Pastinya mereka tidak akan bisa berjalan begini lagi.)" Uminoke terus melihat orang-orang yang melewatinya. Hingga ia berhenti karena di depannya ada orang yang tak terlihat wajahnya karena tertutup payung.
Orang itu mengangkat payungnya, dan terlihat seorang lelaki tinggi dengan kucing hitam di pundaknya.
"Yo, kau lagi," kata lelaki itu dengan tatapan haus darah, mata sedikit lemas, dan rambut undercut berwarna biru tua. Ia memakai mantel hitam seperti layaknya seorang pengawal pribadi.
"...Apa kita pernah bertemu?" Uminoke menatap bingung.
"Hm... Kita tidak pernah bertemu. Tapi kau yang menemukanku dulu," lelaki itu membalas dengan senyuman palsu. Uminoke semakin curiga, tapi ia terkejut karena lelaki itu adalah lelaki yang pernah ia lihat di balkon sebuah gedung. "(A... Apa... Bagaimana bisa... Apa dia benar-benar melihatku saat itu? Tapi... saat itu dia sedang membelakangiku,)" Uminoke terkaku. Ia melihat sebuah kalung liontin perak yang dipakai lelaki itu. "(Liontin itu... Sepertinya aku pernah melihatnya. Biarkan aku mengingat-ingat... Aduh, lupa,)" dia berkeringat dingin menatap aura lelaki itu.
"Namaku Line, dan kau pasti Uminoke," tatapnya.
"...(Bagaimana dia bisa tahu namaku?!)" Uminoke berpikir terkejut.
"Tak usah kaget, aku adalah orang yang baru saja kau kenal."
"Tu... Tunggu, sebelumnya aku tak mau ada masalah. Kau salah paham... Kita belum pernah bertemu sebelumnya."
"Kita pernah bertemu. Apa kau benar-benar tidak ingat aku?"
"(Tu... Tunggu... Kata 'bertemu' di kalimatnya berarti kita pernah bertemu dan bertatap muka... Tapi aku hanya melihatnya kemarin,)" Uminoke terdiam dan menjadi bingung. Dia seperti dipermainkan oleh lelaki itu.
"Jadi, aku hanya ingin memberitahumu sesuatu," lelaki yang bernama Line itu mendekat dan berbisik.
"Dalam waktu tujuh hari ke depan, dunia ini akan menjadi dunia orang mati. Saat hujan berhenti di akhir pekan, kau akan melihat sesuatu yang membuatmu berteriak takut," kata Line. Uminoke terbawa arus bisikan Line. Tiba-tiba, ada seseorang yang memegang pundaknya dari belakang. Ia menoleh dengan terkejut.
"Permisi, Gadis, kau menghalangi jalan orang-orang," kata orang yang menepuk pundaknya itu.
Uminoke menoleh ke depan lagi, tapi Line sudah tak ada, membuat Uminoke panik dan bingung.
"(Ap... Apa... Apa yang terjadi?! Di mana dia? Apa itu tadi hanya perasaanku? Perkataannya seperti sebuah bisikan saja,)" ia terpaku bingung dan sedikit penasaran dengan lelaki tadi.
Hari selanjutnya, Uminoke terlihat sedang mengerjakan sebuah buku di kelas kampusnya. Di luar, hujan masih turun.
"(Haiz... Sampai kapan ini akan berakhir... Juga... Kenapa dia terus masuk ke pikiranku?)" dia terdiam mengingat lelaki bernama Line kemarin. "(Jika dipikir-pikir, dia memanglah tampan, tapi kenapa terlihat seperti pembunuh bayaran, atau mantan militer, atau yang lainnya... Kenapa dia bisa bilang kita pernah bertemu? Untuk sesaat aku benar-benar merasa takut diteror olehnya,)" dia mengepalkan tangannya dengan kesal.
Lalu, beberapa temannya datang. "Hei, Umin, apa kau merasa ada yang aneh dengan hujan ini? Aku jadi tak bisa menjemur baju, benar-benar menjengkelkan," kata temannya yang mengeluh.
"Em... Mungkin aku juga merasa begitu... Em... Apa kalian percaya bahwa hujan ini akan membuat kita mati?" Uminoke menatap mereka. Temannya terdiam.
"...Pfttt... Hahah... Mana ada hujan bisa membunuh," mereka tertawa tak percaya.
Uminoke merasa bingung. "(Kenapa mereka tidak percaya? Tapi benar juga... Jangan-jangan lelaki itu hanya berbohong padaku.)"
Hingga hari ketujuh, Uminoke terbangun dari tidur paginya. "Hng... Hoamm..." ia menguap, mengumpulkan nyawa. Lalu terdiam karena tak mendengar suara hujan sedikit pun. Ia keluar dari rumah dan terkejut senang karena hujan tujuh hari itu sudah reda. Namun, tanaman-tanaman di sekitar semuanya mati dan jalanan terasa sepi.
"...Ini begitu aneh, bukannya terlalu sepi," ia masih melihat ke sekitar dengan bingung.
Mendadak, ada pria berjalan sempoyongan jauh di depannya. Pria itu menundukkan kepalanya.
Uminoke tetap terdiam, lalu memutuskan untuk mendekat perlahan padanya.
"...Em... Permisi, Pak, apa kau baik-baik saja?" Uminoke mencoba mendekat, tapi ia terkejut dan terkaku saat melihat wajah pria itu yang penuh darah. Orang itu menggeram pelan dan akan menyerangnya perlahan. Karena takut, Uminoke menjadi berteriak. "A... Tolong!"
Mendengar suara teriakan Uminoke, pria itu langsung mengaum keras dan akan menggigitnya. Uminoke segera berlari masuk ke rumahnya dan menutup pintu.
Pria aneh itu terus berusaha membuka pintu itu dengan menggedor-gedornya, dan anehnya dia seperti orang gila tanpa akal yang memukul-mukul kepalanya di pintu hingga membuat pintu Uminoke berlumur darah. Uminoke hanya bisa menahan pintu itu dengan tubuhnya sambil ketakutan, menutup mata, dan menutup mulutnya dengan tangannya.
Tak beberapa lama kemudian, suara pria aneh itu tak terdengar lagi. Uminoke mencoba melihat dari jendela. Yang ia lihat, pria itu sudah tak ada, menyisakan darah-darah di depan pintu.
Uminoke menghela napas, tapi tiba-tiba pria itu muncul memperlihatkan diri di luar jendela.
"Ah...!!!!" Uminoke terkejut dan mundur perlahan dengan tangisannya. Pria itu terus mencoba memecahkan kaca, dan kaca itu sudah hampir retak. "(Seseorang, aku mohon tolong aku, aku tidak mau mati di sini... Aku mohon, seseorang...)" kini hidup Uminoke terancam.
Tapi tiba-tiba saja kepala orang itu tertembus pisau dari belakangnya, membuatnya tumbang. Karena tembusan pisau itu, kaca jendela jadi pecah. Untungnya pria itu mati berdarah-darah. Pisau tersebut ditarik kembali oleh seseorang yang ternyata adalah Line, lelaki yang bertemu Uminoke saat hujan. Terlihat ia menatap dingin dengan pisau yang ia kibaskan untuk membersihkannya dari darah. Uminoke yang ketakutan, tak tahu apa yang terjadi karena dia gemetar menutupi wajahnya.
"Hei, bukankah aku sudah bilang?" Line berdiri di depannya dengan suara yang lebih kasar.
Lalu Uminoke menengadah dan menatapnya.
"...K... Kau," ia berdiri dan menatap bingung.
"Bukankah aku sudah bilang padamu, dunia ini akan hancur."
Uminoke yang mendengar itu merasa geram dan seketika menampar Line, membuat lelaki itu terkaku dengan pipinya yang menjadi berbekas tangan Uminoke.