webnovel

Cinta Pandangan Pertama

Riski saat ini sudah keterima di sebuah sekolah yang dia inginkan, dan saat ini juga ia diharuskan untuk membayar seragam dan yang lainnya. Untung saja Riski sudah menyiapkan semuanya, jadi tak akan merepotkan Ibunya, Sastro.

"Bu, mau ke sekolah dulu. Bayar seragam, di pengumuman tertera hari ini sudah bisa mulai membayar. Jadi, kalo diambil sekarang nanti bisa cepat untuk di jahit, bu." ucap Riski yang memandangi Sastro penuh harap, seakan Riski meminta restu.

Tentu saja, Riski juga sudah memikirkan uang untuk menjahit seragamnya. Apalagi jurusan yang ia pilih merupakan sekolah yang memiliki banyak seragam, ditambah ada jas laboratoriumnya.

"Sudah siap semua, kan? Uangnya udah kamu bawa? Jangan sampai kurang ya, di sana seragamnya banyak." jawab Sastro. Sebenarnya dengan Riski membangun usaha ini sangat membantu ekonomi keluarga kecil ini, Riski sedikit-sedikit juga memberikan Rudy uang saku.

"Sudah siap semuanya, bu. Tenang aja dirumah ya." ucap Riski, kemudian ia melangkah keluar menuju motornya yang berada di depan.

"Hati-hati yaa." teriak Sastro dari dalam Riski.

"Iyaaa!" balas Riski seadanya.

Riski kemudian menyalakan motornya begitu saja dan langsung menancapkan gasnya dengan kencang. Riski mempunyai alasan tersendiri datang lebih awal, karena jika ia datang terlalu siang tentu keadaan sekolah akan sangat ramai. Riski tak mau jika ada orang yang melihat kearahnya, ia tak mau mendengar cacian lagi, ia tak mau melihat ia dijauhi oleh teman-temannya, ia tak mau itu semua. Tapi, bagaimana jika hal tersebut terjadi lagi? Apa iya hal sejahat itu bakal terulang lagi? Ahh, memikirkan itu membuat Riski menggeleng-gelengkan kepalanya saat di perjalanan.

Tak terasa saat ini sudah mendekati tempat sekolah itu berada, jantung Riski berdegup sangat kencang. Ia benar-benar trauma akan hal itu, rasanya ingin menyerah dan melanjutkan usahanya. Tapi di sisi lain, Riski ingin membuat bangga ibunya karena hanya itu yang tersisa.

Riski melihat keadaan sekolah masih terlihat sepi, hanya ada beberapa orang saja. Kemudian Riski memarkirkan motornya di tempat yang sudah di sediakan, jaraknya tak jauh dari pengambilan seragam.

Dari kejauhan Riski mendengar dan melihat ada beberapa kelompok orang yang sedang mengamatinya, Riski tak menggubris semua orang itu. Riski ingin menguatkan hatinya lagi, demi membanggakan Sastro.

Pandangan Riski berubah, sorot matanya tertuju pada sesuatu yang sedang membuka bekal makannya. Ya, dia adalah kakak kelas Riski, yang sedang duduk dan memakan bekalnya, Riski melihat itu dengan teramat sangat, seakan matanya tak boleh berpaling darinya. Gerak-geriknya sangat membuat Riski merasakan cinta.

"Apakah ini yang dinamakan cinta? Rasanya seperti ini?" batin Riski.

"Ahh, jangan berharap lebih. Belum tentu dia juga akan menyukai balik, tidak mungkin. Ibaratnya air dan minyak, tak akan pernah menyatu." batin Riski lagi.

Lamunannya terhenti ketika ada seorang guru menyapanya, guru itu merupakan seorang yang Riski datangi ketika pendaftaran, "Ngelamun apa?" tanyanya sendu.

"Ahh, enggak ada pak. Ini bingung, kalo mau bayar seragam di mana ya?" bohong Riski dengan cengirannya.

Tapi, Marwan tidak bisa di bohongi begitu aja. Kedua mata Marwan melotot tajam kearah Riski tadi, "Lihat dia?"

Riski menggaruk-garukkan kepalanya, "Hehe."

"Dia merupakan kakak kelas kamu nantinya, jarak satu tahun. Namanya Septia, dia juga aktif dalam berorganisasi." jelas Marwan.

"Organisasi apa, pak?"

"Organisasi voli. Dia merupakan atlet voli, sudah banyak perlombaan yang dia menangkan. Kalo mau dekat sama dia, ikut voli." Marwan memberikan saran ke Riski.

Riski hanya mengangguk paham.

Sebenarnya Riski tidak bisa bermain voli sama sekali, Riski harus bisa voli dan mengikuti organisas tersebut karena disana ada si Septi.

"Yaudah, ayo ke tempat bayar seragamnya. Biar bapak antar." ucap Marwan dengan ramah dan berjalan di depan Riski.

Riski hanya mengangguk dan mengikuti di belakang Marwan. Pandangan mata Riski terkadang melihat ke arah Septi lagi.

Marwan dan Riski sudah sampai di tempat pembayaran, di sana terdapat beberapa guru dengan laptopnya.

"Di sini yaa, bilang aja atas nama kamu. Ntar langsung di kasih nota pembayaran, dan di bayar di tempat. Nanti kayaknya ambil seragamnya di ruang BK." tukas Marwan, kemudian melangkahkan kakinya pergi karena ada suatu urusan.

"Makasih pak."

Karena di dalam masih sepi orang, Riski menuju kesana dan langsung di sambut dengan baik oleh petugasnya.

"Silahkan duduk."

Riski mengikuti arahannya dan duduk di tempat yang sudah di katakan.

"Atas nama Riski." ucap Riski dengan tegang karena ia teringat sewaktu SMP dulu.

"Oh kamu yang namanya Riski. Pak Marwan sudah pernah bilang, bahwa ada anak yang pandai di ujian dan kata beliau sudah bisa langsung ketrima di sini, ya?" ucap petugas itu, dan ternyata ia juga seorang guru disini yang bernama Bu Yeni.

"Iyaaa." jawab Riski cuek, karena tidak tau akan menjawab gimana lagi.

"Total semua seragamnya ada 7 yaa. Itu sudah sama jas laboratoroum, juga jas almamater, beserta seragam lain dan baju olahraganya." jelas Yeni dengan menyerahkan total uang yang harus di bayar Riski.

Riski melihat total uang yang harus dibayar, dan langsung mengambil uang yang berada di dalam tasnya, "Inii." balas Riski.

Yeni lantas menghitung terlebih dahulu uang itu, dan pas.

"Kesini sendirian? Dimana orang tua kamu?" tanya Yeni, karena baru pertama ini ada anak yang mengambil seragam sendirian tanpa di dampingi orang tuanya.

"Ibu lagi sibuk jualan." jawab Riski jujur.

"Kalo Ayah?"

Riski terdiam membisu, ia bingung menjawab bagaimana.

Karena mengetahui Riski yang terdiam, Yeni mengalihkan topik pembicaraannya, "Kenapa kamu ingin sekolah di sini?"

"Biar bisa bekerja setelah lulus." Riski menjawabnya dengan jujur lagi.

"Oh begituu. Yasudah, nanti ambil seragamnya di ruang BK ya."

"Ruangannya sebelah mana, ya?"

"Di dekat sini, kamu tinggal lurus aja nanti juga ketemu."

"Makasih, bu." ucap Riski dan berjalan menuju ruang BK untuk mengambil seragamnya.

Setelah berhasil mengambil seragam miliknya, Riski kembali berjalan ke arah motornya untuk pulang. Matanya melirik ke arah Septi berada, namun kosong. Septi sudah tidak disana lagi, entah dia kemana Riski tidak mengetahuinya.

Kesempatan untuk melihat Septi lagi, gagal.

"Dia kemana, ya?" batin Riski dengan melirik ke kanan dan ke kiri.

Namun, nihil. Riski tak menemukan keberadaan Septi.

"Mungkin dia sudah masuk ke kelas. Yaudah lah, nanti kalo masuk sekolah juga akan ketemu lagi." Riski lalu bergegas menuju parkiran motor.

Paling tidak Riski memiliki satu alasan untuk bersemangat sekolah. Riski tidak mendapatkan itu sewaktu SMP, karena juga belum mengenal apa itu namanya cinta dan juga rasa menyukai. Saat SMP Riski juga sibuk memikirkan bagaimana mendapatkan uang dan uang. Semoga saja, satu alasan ini bisa membuatnya terus berkembang.

Siguiente capítulo