Riski sebenarnya sudah memutuskan bagaimana cara kerja sistem usahanya. Ia menggunakan cara gang berbeda dari orang lain. Biasanya orang lain ketika berjualan selalu berkelilig dari desa ke desa, tempat ke tempat, atau bahkan kota ke kota.
Tapi, cara yang Riski gunakan ini cukup simple. Hanya saja Riski membutuhkan modal yang cukup banyak. Modal untuk membeli wadah kemasan yang bagus, sebuah handphone, dan motor.
Berbicara mengenai motor, ia sudah di belikan motor oleh Joko. Kepulangan dari membeli sayur bersama Ardhi, di rumah Joko sudah membelikannya motor. Meskipun bukan motor yang baru, Riski sudah sangat bahagia.
Setiap harinya Riski akan belajar sedikit demi sedikit, agar terbiasa mengendarai motor.
"Gue bantu apa lagi? Mumpung gue masih di sini." kata Ardhi setelah sampai di depan rumah Riski.
"Turunin aja dulu sayurnya, gue sebenarnya masih ingin minta bantuan sama lo, Ar."
Mereka berdua bergegas menurunkan seluruh sayuran, dan menaruhnya di teras rumah.
Ardhi mengkerutkan keningnya, "Bantuan apa?"
"Gue ingin membuat logo dan juga semacam kartu nama gitu buat usaha gue ini. Lo bisa bantu anterin gue ke warnet nggak? Setelah itu, gue akan kasih kartu nama itu ke pelanggan gue sewaktu kerja bersama bu Widya." jelas Riski, entah Ardhi memahami kata-katanya atau enggak.
Dan benar saja, Ardhi nampak kebingungna dengan apa yang Riski jelaskan, "Kenapa lo buat kartu nama? Bukannya lo jualan keliling?" tanyanya bingung.
Riski menghembuskan napasnya kasar, "Jadi, gue akan ubah cara jualannya. Gue nggak akan keliling lagi, mungkin keliling hanya beberapa kali."
"Cara yang akan lo terapkan seperti apa?" tanya Ardhi, bingung lagi. Kan pada dasarnya memang orang jualan akan berkeliling?
Tapi Ardhi melupakan satu hal, orang yang berjualan baju dan memiliki toko apakah juga akan berkeliling? Konsep seperti itulah yang akan Riski gunakan.
"Jadi, gue mau bikin usaha gue agar orang bisa pesan kapan aja. Nggak harus nunggu yang keliling baru bisa masak, kan orang yang berjualan sayur keliling di malam hari nggak ada. Nah, di metode gue ini nantinya orang hanya tinggal sms atau telfon ingin membeli sayur apa aja. Nah, setelah itu gue akan antar ke alamat orang itu. Lebih efektif bukan? Gue juga akan membungkus sayur seperti layaknya di supermarket dengan menempel logo usaha gue sendiri ini." jelas Riski panjang lebar.
Kali ini Ardhi mulai paham, "Jadi? Kalo misalnya lo nganter, ada biaya lagi nggak? Kan lo juga butuh buat ongkos bensinnya." tanya Ardhi.
"Lo juga akan samain harganya sama di supermarket?" sambung Ardhi.
"Gue udah perhitungkan masalah ongkos kirimnya, jadi selama masih di wilayah kota. Akan gratis ongkos kirim. Kalo masalah harga sayurnya, ya jelas gue akan samain yang ada di pasar. Kalo kayak di supermarket orang seperti gue masih mikir-mikir kalo mau beli. Udah gue hitung semuanya, ya meskipun untungnya dikit tapi kalo sayurnya habis juga lumayan hasilnya." jelas Riski lagi.
"Bagus banget sih ide jualan lo, jadi bisa ke seluruh kota ini mengetahui. Kalo lo keliling sampai seluruh wilayah kota ini, ya bakalan capek. Toh, keliling juga nggak semuanya beli. Bagus ide lo." puji Ardhi, ia benar-benar kagum pada temannya satu ini.
"Lo mau jualan juga sama gue? Usaha ini bareng lo aja gak papa. Lagian lo udah bantuin gue banyak, Ar. Dan udah tau rahasia dari usaha ini semuanya. Ntar kita bagi hasil." tawar Riski. Ia tak enak jika Ardhi sudah mengetahui semuanya tapi tak mengajaknya.
Ardhi mengangkat matanya ke atas untuk berpikir, "Gue bisa nggak ya. Kan gue juga masuk ke SMA, Ris. Lagian ini ide lo semua, gue cuman bantuin tenaga doang." ucap Ardhi, tak enak juga ia dengan temannya, Riski.
"Gini aja deh, kalo lo mau bantuin gue kedepannya gue akan bayar lo. Misalnya seperti ini tadi, tapi ya doain usaha gue lancar ya, Ar." jawab Riski memikirkan solusi bagaimana baiknya.
"Udah, gampang deh masalah itu. Jadi ke tempat warnet?" tanya Ardhi setelah tidak ada obrolan yang penting lagi.
"Jadi."
"Emang lo udah bikin seperti apa logo dan kartu namanya? Dan akan lo namain apa usaha ini?" tanya Ardhi kembali, karena menurut Ardhi nama yang di ingat pelanggan itu gampang-gampang susah. Jadi, masalah nama sangat penting sekali.
"Sudah dongg." jawab Riski, semalam Riski memang sudah menyiapkan nama beserta artinya. Yaitu PESAN, yang artinya Penjual Sayur Online. Ia memikirkan itu hanya dalam semalaman, dan langsung tertarik dengan itu.
"Apa tuh namanya?"
"PESAN." jawab Riski.
Ardhi bingung dan mengkerutkan dahinya, "Hah? Pesan apaan? Lo mau beli sesuatu lagi?"
"Bukan, namanya PESAN yang artinya adalah Penjual Sayur Online. Bagaimana, keren nggak? Kan sama aja kalo gue nganter sayurnya dinamakan online kan?" jawab dan tanya Riski ke Ardhi.
"Betul sih, kan melalui media sms. Ya, jadi sama aja kayak online dengan menggunakan handphone. Lagian di jaman ini udah banyak yang memiliki handphone, kok." jelas Ardhi.
"Gue belum punya."
"Eh maaf, Ris. Bukannya gue mengejek, tapi kan gue bilang kebanyakan sudah punya. Tapi, kalo lo mau menerapkan metode ini, bukannya lo harus memiliki handphone juga?"
"Iya sih." jawab Riski malu-malu.
"Kalo boleh tau, berapa penghasilan lo kerja sama bu Widya, Ris?" tanya Ardhi, apakah seorang penjual sayur memiliki gaji yang fantastis?
"Kalo usaha seperti ini tentu nggak sama hasilnya. Misalnya hari ini sayuran habis, besoknya enggak. Hari ini nggak lauk, besoknya habis. Jadi, lo gak bisa samain hasil usaha sama kerja kantoran, Ar. Kalo di kantor sebuah perusahaan itu akan memiliki gaji yang sama setiap bulannya. Mungkin kalo lembur bisa beda." tukas Riski, memang betul. Kita tidak hanya bisa mengandalkan sayur akan habis terus. Pasti akan ada moment di mana sayuran itu laku sedikit dan bahkan tidak laku sama sekali. Tapi, kita tidak boleh menyerah saat sayuran tidak laku.
"Oh iya benar juga lo."
"Semua orang memang tidak memiliki gaji, Ar. Tapi, semua orang memiliki rejekinya sendiri, dan tidak mungkin tertukar." Riski menceramahi Ardhi layaknya ia seorang guru agama. Padahal Riski hanya mengulangi perkataan dari ceramah saat di masjid.
"Sejak kapan lo juga bisa agama." ledek Ardhi dengan cengengesan.
Riski menoyor kepala Ardhi pelan, "Gue gini-gini juga tau lah masalah hal yang sepele. Gue bukan seperti orang kebanyakan, Ar. Lo tau sendiri gue kayak gimana di kelas. Banyak di hina dan di bully, padahal yang membedakan manusia kan bukan tentang wajahnya." keluh Riski jujur dan Ardhi mengetahuinya sendiri, melihat dengan mata kepalanya sendiri.