webnovel

Don't Lie, you Two-Faced Prince! (Bahasa)

Rebekka tahu ia diikuti.

Dan ia merasa risih, meskipun juga ada kelegaan di hatinya.

Ada rasa canggung yang ia rasakan di tengah keheningan hutan ini dan mereka berdua. Di sisi lain, Rebekka hanya ingin pergi meninggalkan segalanya. Ia ingin tahu apakah segalanya tidak bisa lagi diperbaiki? Apakah ini karena ia terlalu pasrah dan malas menunjukkan dirinya dan tempramennya?

Apakah jika ia bekerja keras seperti Rachel, ia akan menerima sedikit saja kasih sayang meski tidak sebanyak yang Rachel terima?

Ah.

Mungkin tidak begitu.

Sebenarnya Rebekka sudah tahu, bahwa meski ia rajin atau malas, memberontak atau pasrah, cerdas atau bodoh, cantik atau jelek, ia tidak akan pernah bisa mendapatkan kasih sayang yang sama dengan Rachel. Karena ia bukan putri kandung mereka. Kini ia tahu.

Tapi sebelumnya, ia juga sudah tahu.

"Saat dulu nilai pelajaranku lebih bagus dari Rachel, mereka justru memarahiku karena tidak mengajari Rachel…" gumamnya.

Sejak itu, berangsur-angsur, Rebekka berhenti menunjukkan kemampuannya atau bakatnya, apapun itu. Ia membiarkan Rachel mengambil spotlight. Ia membiarkan Rachel menjadi putri paling jenius dalam sejarah Marigold, meskipun ia tahu, itu karena ia telah menyerah.

Sejak awal, tidak ada persaingan diantara keduanya. Rebekka akan selalu kalah apapun yang terjadi.

Tiba-tiba Rebekka tersandung akar pohon.

"Ugh!"

Ia mengerang pelan dan mengelus kakinya yang terasa nyeri, saat ia mendengar suara langkah cepat dari belakangnya.

"Becca! Kau baik-baik saja? Mana yang sakit?" tanya Heinrich yang langsung berjongkok di sisinya, terlihat begitu mengkhawatirkannya.

Pria yang mengikutinya dari belakang, tanpa mengatakan apapun untuk membuatnya merasa lebih nyaman itu langsung berlari ke arahnya di detik ia terjatuh. Rebekka merasa ingin menangis. Ah, dia hanya ingin memanfaatkanmu, Rebekka! Jangan tertipu dengan kebaikannya, Rebekka!

Heinrich merasakan kedua tangannya bergetar karena rasa khawatir dan amarah. Rebekka terlihat sangat berantakan, dan di pipinya ada bekas air mata kering yang membuatnya terlihat pucat dan menyedihkan. Tenggorokannya terasa pahit.

Rebekka menampik tangan Heinrich yang menyentuh kakinya yang sepertinya tergores. Ia berusaha bangun dan ternyata kakinya terasa lebih baik saat ia berdiri. Lalu ia melanjutkan langkahnya, lebih jauh ke dalam hutan.

Tak terasa, matahari sudah turun ke ufuk barat. Suara hewan senja mulai terdengar, dan kelelawar mulai beterbangan dari tempat mereka bertengger. Rebekka tidak peduli, dan Heinrich masih mengikutinya, meski kali ini tidak terlalu jauh di belakangnya karena ia takut Rebekka tersandung lagi.

Matahari akhirnya terbenam, dan warna merah di langit menghilang, digantikan langit gelap malam yang mencekam. Rebekka menyisihkan dedaunan dan ranting yang menghalangi jalannya dan merasa bahwa hutan menjadi semakin lebat setiap langkah yang ia lalui.

Saat itulah kepalanya mulai terasa lebih jernih dari sebelumnya.

Udara malam berhembus di pipinya. Ia mencium bau lumut, dan merasa udara sedikit lebih lembab dari sebelumnya. Rebekka berhenti berjalan saat ia menyibak ranting di hadapannya, menemukan pemandangan mengejutkan yang mempesona kedua matanya.

SWOOOSH!

Kali ini angin kencang menerpa rambutnya dan gaun putihnya yang kotor dan sobek-sobek.

Rebekka mendengar tawa kecil di belakangnya saat Heinrich mulai datang tepat ke sisinya. "Kau menemukan tempat yang cantik. Apa kau sengaja berjalan kemari?" tanya Heinrich.

Rebekka diam. Ia sendiri tidak tahu kemana ia ingin pergi. Di hadapan mereka, sebuah danau luas membentang indah. Malam yang semakin matang pun menunjukkan bintang-bintang musim panas yang bertaburan indah, terpantul di permukaan danau itu.

"Hiks–"

Entah mengapa, Rebekka justru jatuh dalam tangisannya untuk kesekian kalinya hari ini setelah melihat keindahan di hadapannya ini.

"Kau tidak apa?" Heinrich menyodorinya wadah minum yang sama dengan yang sebelumnya.

Rebekka terisak di tempatnya, berdiri memandang ke arah danau. "Apakah mereka akan menyesal melakukan semua itu padaku jika aku tenggelam di sana?" tanyanya.

Heinrich membeku, dan sedetik kemudian ia langsung merangkul perut Rebekka dan menyeretnya pergi. "Tidak. Tidak, tidak, tidak, apa yang kau pikirkan?" wajahnya yang tampan menjadi begitu gelap dan panik. Pria itu dengan cepat mencoba menarik Rebekka menjauh dari danau itu. "Apa kau mau merusak keindahan danau itu dan mau tinggal di sini sebagai hantu gentayangan?!"

Tangisan Rebekka berhenti.

Absurd–

"Hahaha!" Rebekka justru tertawa mendengar pertanyaan aneh Heinrich.

"Jangan bercanda dengan mengatakan hal seperti itu, Becca!" Heinrich masih menariknya menjauh.

"Lepaskan aku," Rebekka menepuk kedua tangan Heinrich yang merangkul perutnya. "Atau aku akan benar-benar mencoba menenggelamkan diriku disana," lanjutnya.

"Demi Dewa, Becca," Heinrich menatapnya serba salah, dan Rebekka menatapnya dengan sedikit kejenakaan di wajahnya. "Bisakah kau…" Rebekka kembali melihat tatapan rumit di mata Heinrich.

Aneh.

Aneh sekali.

Ada yang berbeda dari Heinrich yang sekarang.

Tapi apa?

"Kau bilang kau mau menikahiku?" tanya Rebekka.

Heinrich menatap wanita di pelukannya khawatir.

"Benar. Aku bilang aku ingin menikahimu," jawab Heinrich.

"Mengapa?" tanya Rebekka lagi.

"Sudah kubilang, aku menginginkan Kerajaan Marigold di genggamanku–"

"Jangan berbohong, Pangeran Munafik!" potong Rebekka.

Heinrich terdiam.

Keduanya saling bertatapan. Mata cerah Rebekka memandang lurus mata berwarna darah Heinrich yang bersinar di kegelapan.

"Becca…" tiba-tiba wajah Heinrich merona, dan pria itu dengan canggung melepaskan pelukannya dari tubuh Rebekka. Heinrich berbalik pergi, seolah kabur dari Rebekka, mendekat ke arah danau. Kemudian, pria itu berbalik.

Rebekka menatapnya bingung, sama sekali tidak mengerti dengan sikap Heinrich.

Heinrich mengulurkan tangannya ke atas, dan tiba-tiba, sebuah lingkaran sihir terbentuk. Mata Rebekka membesar melihat fenomena itu, dan kesadarannya kembali saat Heinrich membisikkan mantra dengan bibirnya yang terlihat manis.

[Lumine]

Bola-bola cahaya kecil muncul di sekitar mereka, bagai bintang-bintang yang turun dari langit, mengambang mengelilingi keduanya.

Masa lalu yang hilang, dan janji yang tidak terpenuhi. Heinrich tersenyum, namun itu adalah sebuah senyum hambar yang pahit. Pria itu berdiri membelakangi Rebekka. Ia sadar ia mungkin akan selamanya gagal mengungkapkan apa yang ia rasakan pada wanita itu. Wanita yang ditunggunya untuk hadir kembali dalam hidupnya; Becca.

"Apakah kau siap mendengar alasanku yang sesungguhnya?"