webnovel

Bab 5. SEVANA (I)

Sudah 8 tahun kami menjalin hubungan hingga saat ini, ketika aku dan Ken sedang duduk berdua berhadapan di salah satu sudut Aromia coffe. Kupandang Ken yang sedang lahap menyantap nasi goreng kesukaanya. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar menikmati makanan tanpa menyadari aku sedang memandangnya, atau dia hanya pura-pura tidak menyadari saja. Ada nyeri di sela rongga dada bila mengingat beberapa tahun yang lalu dia pernah menghilang. Dua tahun lamanya tanpa kabar membuatku terombang-ambing dalam rindu dan ketakutan. Aku sangat takut jikalau sampai dia takkembali. Kucari wartanya kesana- kemari. Kutanya keberadaanya kepada teman-teman nongkrongnya juga teman sekampus, namun tidak ada satupun yang bisa memberi tahu.

Hingga suatu ketika aku ingat Jini, adik tingkat di kampusnya dan juga sahabat yang telah dianggap adiknya sendiri oleh Ken. Meski ada rasa tidak enak, kuberanikan diri menanyakan padanya.

"Coba kamu tanyakan pada Rengganis, Sev. Mungkin dia tahu."

"Siapa Rengganis?"

"Dia datang di malam launching buku Ken"

"Oh begitu ya? Tapi, malam itu aku tidak bisa menghadiri acara launching itu karena pekerjaan. Di mana aku bisa menemuinya."

"Dia tidak tinggal di kota ini. Tapi, aku punya kontaknya."

Hari itu, aku segera mengirim pesan kepada yang bernama Rengganis tersebut.

"Mbak Rengganis, pagi. Sebelumnya kuminta maaf, bolehkah aku bertanya padamu?"

Lama kutunggu balasan, namun hingga hampir seharian jangankan dibalas, kode bahwa pesanku dibuka saja tidak ada. Itu semua tidak membuatku berpatah arang, aku masih setia menunggu perempuan itu membuka pesanku hingga keesokan harinya lagi. Awalnya setiap berganti menit aku membuka pesanku berharap sudah mendapat balasan, lalu kubuka di setiap pergantian jam. Tetap saja tidak ada tanda-tanda.

Keesokan harinya kemudian, aku mulai penasaran dan ingin tahu siapa dia. Jini bilang perempuan ini tinggal di Semarang. Atas rasa penasaran tentang siapa Rengganis, kubuka medsosnya dari informasi yang ada di pertemanan akun Ken. Awalnya aku merasa lega ketika melihat status dia yang sudah menikah, dan di foto profilnya juga terpampang gambar sepasang suami istri yang sedang berpelukan mesra. Namun, ketika aku mulai menelusuri statusnya dan membaca komentar-komentar di dalamnya yang banyak di antaranya ada komentar Ken, aku mulai cemburu. Nuraniku mengatakan bahwa hubungan Ken dengan perempuan yang bernama Rengganis ini bukan hubungan biasa. Muncul rasa perih di dadaku. Perih itu membawaku kembali melayang kepada perjalanan hubunganku dengan ken selama ini. Mencintainya bukan aku sedang melakukan sebuah permainan. Segala hal kulakukan demi mempertahankannya tetap berada di sisiku, membantu membiayai kuliahnya, menahan rasa cemburu saat ada perempuan yang mengejarnya dan tidak terjadi sekali dua kali. Menurutinya agar aku tidak mengumbar cemburuku, meski setiap saat seakan membuatku ingin meledak. Aku bisa menahan semua itu, karena aku tahu bahwa Ken tetap bergeming dari gadis-gadis yang mencoba mendekatinya. Namun kali ini, hanya dengan melihat akun perempuan yang bernama Rengganis, aku bisa merasakan bahwa Ken menyukainya.

Sorenya, ada bunyi pesan masuk di Hpku. Rupanya Rengganis membalas pesanku.

"Maaf, saya baru buka HP. Ini siapa ya?! Silahkan saja, mau tanya soal apa?"

Kubaca pesan itu. Tapi ketika jariku hendak mengetik membalasnya, seketika jariku terhenti. Kuurungkan niatku untuk berbicara lebih jauh dan kupikir lebih baik jika mengenalnya lebih lagi. Maka, kuikuti akun-akun perempuan itu di medsos. Aku tetap tidak menemukan jawaban di mana posisi Ken saat ini, juga di akun Rengganis tidak membahas apa-apa tentang Ken hingga 2 tahun ke depannya. Hingga Ken muncul sendiri di hadapanku kemudian. Menjemputku di tempat kerja dan langsung memeluk saat kubuka pintu salon tempat aku mencari penghidupan. Kupikir ada kelegaan saat dia kembali, namun ketika waktu terus berjalan kemudian dan sampailah kami di sini. Di sudut kafe ini, memandang Ken masih menikmati makanannya. Meski dia tampak menikmati makanannya, namun nafas berat di sela-sela suara makanan yang beradu dengan gigi dan lidahnya tidak bisa menipuku bahwa ada hal yang cukup penting untuk dia sampaikan. Hal yang tidak mengenakanku pastinya. Bukankah selalu begitu hubungan kami. Terkadang aku merasa betapa hidup ini tidak pernah memberiku rasa adil, tapi yang terjadi kemudian aku terus bertahan. Seperti banyak orang katakan, cinta itu seperti menjalani rasa sakit yang indah.

Kupikir, ketika Ken telah kembali, segalanya juga akan kembali seperti sedia kala. Seperti awal-awal kami menjalin hubungan dulu, di mana dia selalu membuktikan komitmennya dengan bergeming jika ada perempuan lain yang ingin memasuki kehidupan asmaranya. Namun kali ini, Ken pulang dengan wajah yang berbeda. Awal kepulangannya mungkin ada niat yang ditunjukan bahwa ada keinginan dia untuk hidup denganku selamanya, namun ada semu di dalamnya. Semakin hari, kesemuan itu semakin nyata ketika Ken semakin berusaha keras menunjukan padaku tentang kesungguhan. Aku tahu, semua itu tentang Rengganis. Pernah suatu ketika tanpa sengaja aku memergokinya sedang memandang foto Rengganis yang terpampang di profil medsos perempuan itu, dan cepat-cepat menutup Hpnya saat menyadari aku melihat apa yang dia lakukan. Aku sadar bahwa yang dekat denganku saat ini hanya raganya, namun jiwanya pergi entah kemana. Pernah juga, semalaman dia tidak membalas pesan-pesanku, padahal sebelumnya sudah berjanji hendak menjemputku untuk makan malam berdua. Saat itu, aku mencoba iseng bertanya kepada salah satu teman dekatnya, dan dari situ aku tahu dia sedang di Semarang untuk sebuah acaranya katanya. Waktu itu, tidak ada pikiran buruk tentangnya karena dia seorang penulis maka aku memaklumi jika setiap saat dia akan bepergian bertemu sesama penulis atau penerbit. Hanya saja, sewaktu aku tanpa sengaja melihat foto-foto Rengganis yang terpampang di beranda medsos sedang tampil panggung yang di gelar di kota itu. Aku yakin, ini bukan sebuah kebetulan. Aku ingin sekali seperti kekasih-kekasih yang lain, mengungkapkan rasa cemburu kepada pasangannya jika dirasa itu perlu. Ken, akan marah jauh lebih besar dari kemarahanku sendiri jika aku melakukannya. Maka, kubalut saja semua lukaku dengan seluruh kesabaran yang aku miliki.

Hingga hari ini, di sudut kafe ini.

Ken telah selesai menyantap makanannya, lalu meminum segelas air putih sebelum memesan secangkir kopi hitam kepada seorang pelayan kafe.

"Sepertinya kita akan cukup lama nongkrong di sini?" kataku sambil kepalaku mendongak kepada pelayan tadi yang sedang berjalan menuju dapur.

"Ada hal yang harus kukatakan kepadamu, dan sepertinya akan terjadi perdebatan yang cukup panjang. Kamu tidak makan?"

"Tadi aku sudah makan dengan Rani di warung depan Salon." Aku sudah tidak sabar ingin mendengar apa yang hendak Ken sampaikan. Untuk itu aku tidak bisa menunggu lama.

"Kau ingin berbicara tentang apa?"

Ken tidak segera menjawab pertanyaanku, pandangannya seakan menghindariku dengan alih-alih mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Rokok sudah beberapa kali keluar masuk dari mulutnya, namun pandangan matanya masih menunduk memandang korek yang dipermainkan oleh jari tangan kanannya. Setelah nyaris aku membuka mulut lagi hendak mengulang pertanyaanku karena tidak sabar menunggu, kulihat Ken mulai mengangkat muka memandangku.

"Rengganis, dia ingin memiliki anak dariku."Aku berharap tidak mendengar ini. Bahkan aku sama sekali tidak menyangka akan mendengarnya. Mungkin akan lebih mudah dipahami jika Ken hanya bilang bahwa dia jatuh cinta pada perempuan lain -Rengganis- dan sampai pada tahap berselingkuh. Ya tentu saja hubungan perselingkuhan jika mereka berdua menjalin hubungan di belakangku juga di belakang suami Rengganis. Tapi, mengapa dua lelaki itu, Ken dan suaminya tidak pernah memberi kesan bahwa Rengganis perempuan seperti itu, peselingkuh.

"Aku tidak mengerti." Hanya itu yang bisa kukatakan. Sepertinya tidak ada kata-kata yang mampu mewakili kekalutanku. Tidak juga gerak-gerikku yang bisa mengekspresikan kesedihanku, bahkan air matapun tidak ada gunanya.

"Perlukah kau bertanya padaku?"

"Karena kau pacarku?"

"Begitukah.... Jika aku melarang, apakah kau akan melakukan keinginanku?"

Ken bergeming. Dia hanya mempermainkan putung rokoknya yang nyaris habis, mengetuk-ketukannya di tepi asbak. Masih tidak ada tanda-tanda Ken akan menjawab atau mengatakan sesuatu meski menit demi menit terus berlalu.

"Mungkin kopi yang kau pesan itu bukan kaumaksud untuk menemani kita mengobrol lama, tapi untuk menemani dirimu sendiri berpikir lama."

Aku berdiri, mendorong kursi ke belakang dan berjalan menuju pintu tanpa peduli lagi apakah Ken berusaha mengejarku kemudian menyatakan penyesalan. Sepertinya itu bukan hal yang akan terjadi, meski samar kudengar dia berucap padaku.

"Biar kuantar!"

Aku berjalan cepat, bahkan semakin lama kakiku seakan semakin ringan hingga tanpa sadar aku telah berlari. Air mata tidak bisa kubendung lagi. Tidak ingin mengguguk di sepanjang jalan, aku berhenti di bawah pohon besar yang berdidir di belakang Tugu Nama kampus UKSW. Mendung sedari sore tadi, menjadi gerimis malam ini menjadi keuntungan tersendiri bagiku karena menyamarkan air mata yang tidak mau berhenti merembes dari sudut-sudut mata. Mungkin yang menjadi perhatian orang-orang yang lalu lalang di jalan dan kebanyakan para mahasiswa dan mahasiswi kampus ini adalah bahwasanya aku duduk diam di bawah gerimis hanya berteduh di bawah daun-daun pohon yang masih saja membuatku kuyup.

Masih ada sedikit harap kalau-kalau saja ken mengejarku, mungkin akan sedikit melegakan nafasku yang sesak oleh sebab hidung mampat karena efek dari menangis juga sesak oleh segala perasaan yang campur aduk dan berjubel di dada. Namun, tentu saja itu tidak terjadi. Aku tahu watak Ken, jika dia sudah memutuskan sesuatu maka tidak memberi ruang untuk hal-hal yang akan membuat rancu keputusannya, termasuk mengejarku di mana akan memberi kesempatan untukku membuatnya ragu. Iya. Seperti itulah dia, namun tidak sedikitpun mampu membuatku membencinya. Ya Tuhan, mengapa aku seperti ini. Mengapa cinta bisa begini menyakitkan. Dan tebalnya awan serta kilatan petir telah menjadikan gerimis sebagai hujan deras. Aku bertahan.

Siguiente capítulo