Tubuh Surya bergetar hebat mendengar kalimat yang keluar dari mulut adiknya. Rasanya dia juga ingin ikut menangis. Bukan hanya mimpi Anes saja yang tidak mungkin terwujud, tapi dirinya dan saudaranya yang lain pun sama. Bukannya mau pesimis, hanya saja Surya sangat paham betul bagaimana kondisi ekonomi keluarganya.
Surya melangkahkan kaki agar jaraknya lebih dekat dengan adiknya. Dia jongkok untuk mensejajarkan tinggi tubuhnya. Tangan kanannya mengelus pundak Anes. Sekuat tenaga dia membendung air mata agar tidak jatuh membasahi kedua pipi. Posisinya sekarang akan menguatkan Anes, bukan malah ikut larut dalam kesedihan.
"Anes, kita memang miskin dan kita nggak mungkin memaksakan diri untuk tetap bisa melanjutkan pendidikan. Kamu tahu sendiri bahwa pekerjaan Ibu itu musiman," kata Surya. Dia tidak lagi mempunyai kata-kata manis untuk membuat adiknya tenang. Pasalnya dia sendiri juga tidak tahu apalagi yang harus ditutupi. Termasuk kalimat yang diucapkannya tadi sudah sesuai dengan fakta.
"Tapi, Kak, apakah salah jika aku ingin bisa membaca dan menulis?" Tanya Anes dengan muka polosnya. Dia memeluk kedua kakinya lalu menelungkupkan wajahnya di balik posisinya tersebut.
"Nggak ada, apa yang kamu inginkan itu mulia kok, tapi kita harus sadar diri bahwa kita ini siapa? Kamu juga sudah merasakan bagaimana rasanya berbeda sendiri dari beberapa teman? Belum lagi soal pembullyan."
Seketika Anes termenung mendengar ucapan Surya. Dia teringat segala kenangan pahit bersama teman-temannya. Bukan hanya cukup mengingat saja, akan tetapi luka batin maupun fisik seakan langsung bisa dirasakan oleh tubuhnya. Tanpa sadar kedua matanya mengeluarkan air mata.
"Kenapa, Nes? Apakah ucapan kakak ada yang salah?" Tanya Surya.
Dari beberapa kalimat yang tadi dirinya katakan itu memang ada benarnya. "Aku jadi teringat teman-teman yang pernah membully diriku."
Bukan suatu hal yang baru lagi. Sebab, pengalaman buruk tersebut bukan hanya Anes saja yang merasakan, melainkan Surya, adik, dan kakak lainnya juga pernah. Jadi, soal tersebut tidak terlalu membuat Surya terkejut.
Nasib mereka ketika sekolah dulu memang banyak mendapatkannya hujatan. Secara seragam saja tidak punya, mereka mendapatkan seragam dari bekas tetangga, sehingga warna seragam pun tidak mendukung sebagaimana menjadi peserta didik pada umumnya. Bayangkan saja bahwa seragam putih sampai warnanya terlihat kuning. Belum lagi soal rapih atau tidaknya mengingat bahwa orang tuanya tidak pernah fokus memperhatikan kerapian anaknya. Bahkan dari segi peralatan sekolah pun tidak memadai, sehingga mereka dikucilkan oleh teman-temannya. Apalagi anak kecil itu tempatnya pamer terhadap apa yang dimilikinya, sedangkan Anes dan kakaknya terus merasa tidak pernah dianggap. Bahkan segala bentuk cacian sudah menjadi sarapan pagi ketika akan masuk ke dalam kelas.
"Gimana ya, kalau dibilang ingin melanjutkan ya ingin banget, tapi kembali lagi kepada soal ekonomi. Kita butuh makan dan makanan di dapat dari duit yang harus bekerja terlebih dahulu. Coba deh bayangkan, kita yang bantu Ibu saja masih kesulitan makan, apalagi kalau tidak?"
"Tapi bukan hanya makan saja yang kita butuhkan. Sebagai makhluk hidup, kita juga butuh yang namanya ilmu," sangga Anes.
"Sudahlah, Nes. Kita nggak usah terlalu banyak berharap. Percuma nggak akan sampai, lebih baik kita fokus ke keluarga dan bantuin orang tua, terutama Ibu. Kamu tahu sendiri bagaimana kondisi tubuh Ibu dan sikap Ayah kepada Ibu."
Anes memaksakan senyum, tapi senyuman yang ditunjukkan adalah senyuman getir. Ucapan Surya seakan langsung mematahkan segala mimpinya. Dia merasa bahwa hak nya tidak terpenuhi.
"Sudah diikhlaskan saja!" Suruh Surya.
"Bukan masalah itu, Kak. Apakah orang miskin masih boleh sukses?" Tanya Anes.
"Boleh, siapapun itu."
"Terus kenapa Kakak mematahkan semangatku? Apakah aku salah jika mimpiku ketinggian?"
"Bukan mematahkan, tapi hanya menyesuaikan keadaan. Kita hidup harus sesuai dengan keadaan. Lagian mau sekolah pun nggak pernah dapat dukungan dari kedua orang tua, yang ada malah tambah nyesek disaat kita butuh seseorang yang dijadikan sebagai tempat curhat."
Surya tersenyum getir. Dia teringat segala sesuatu yang terjadi kepada keluarganya. Sejenak dia mengedipkan matanya berkali-kali sambil menatap ke atas. Tujuannya agar tangisnya tidak pecah atau hanya sekedar menitikkan air mata.
"Disaat teman-teman membully kita, apakah kita pernah mendapatkan pembelaan dari orang tua? Tidak kan?" Tanya Surya menatap lekat adiknya.
Anes hanya bisa menundukkan kepala karena memang seperti itulah pada kenyataannya. Dia pun menjawab, "Iya."
"Nah, dari situ pun tentu kamu tahu jawabannya tanpa Kakak jelaskan terlebih dahulu."
"Tapi aku kangen, aku ingin bisa membaca dan menulis. Kakak tahu nggak sih kalau aku bisa belajar hanya lewat mimpi."
"Nah, kalau seperti itu nggak perlu sekolah karena kamu sudah tahu bagaimana rasanya sekolah."
"Beda, Kak."
"Sudahlah, Nes. Aku nggak punya banyak waktu lagi untuk membahas masalah sekolah karena aku sangat yakin tidak akan ada habisnya. Aku mau cari ikan buat lauk pagi maupun siang ini," ujar Surya lalu meninggalkan Anes yang sedang menangis tiada henti. Lagian Surya juga sudah tidak tahu lagi apa yang harus dirinya lakukan.
Selain itu, Surya juga tidak ingin membuang waktu paginya secara sia-sia. Secara bukan hanya dirinya saja yang butuh makan, melainkan adik kakaknya. Dia juga yakin bahwa masih sepagi ini, tentu Ibunya sudah meninggalkannya untuk bekerja. Beda lagi dengan Ayahnya yang sedang enak-enakan tidur.
"Kak, Tunggu!" Pinta Anes. Dia bangkit dengan kakinya agak terseok-seok akibat kelamaan duduk. Tampilannya kini semakin acak-acakan, terutama pada bagian rambut.
"Mau ikut?" Tanya Surya.
"Iya," jawab Anes.
"Cuci muka dulu sana!"
"Oke, tungguin ya!"
"Iya."
Setelah itu, mereka melakukan perjalanan menuju ke sungai kecil yang ada di pinggir kebun. Tepat pada perempatan gang, mereka bertemu dengan teman-teman sekolahnya. Anes segera mengumpat di belakang Surya guna meminta bantuan.
Sebagai kakak tentunya paham bagaimana sikap adiknya yang berubah drastis. Lebih tepatnya bahwa Anes seperti memiliki trauma yang cukup mendalam. Genggaman tangan Anes di baju Surya semakin memperkuat insting Surya untuk melindungi adiknya.
Tanpa banyak bicara, Surya berhenti melangkahkan kaki sambil menatap beberapa temannya. Ada yang takut dan ada pula yang mencibir. Bagi Surya, hal itu terasa biasa saja. Namun, lain bagi Anes. Kini giliran teman-teman kelas Anes yang lewat. Surya yakin bahwa mereka benar-benar seperti geng, sehingga Surya tidak heran lagi mengapa Anes seringkali dibully.
Kedua sorot mata teman Anes juga mendelik kesal ke arah Anes. Ada salah satu perempuan yang jalan di bagian paling depan diikuti antek-anteknya. Surya sangat yakin bahwa orang tersebut pasti ketua geng tersebut.
Tepat saat mereka saling berpapasan. Ketua tersebut berkata, "Dih, orang nggak mampu!"
"Apa kamu bilang?!" Sentak Surya.
"Orang miskin dan orang tidak mampu. Sekolah saja putus," ulang si perempuan tadi.
"Kita memang miskin, tapi setidaknya kita nggak miskin sopan santun seperti kalian!" Ucap Surya lalu pergi meninggalkan mereka.