webnovel

Ketika Adella Dibully

"M...mmma...maaf," kata Enji kikuk sambil buru-buru melepaskan Adella dari pelukannya. Wajah cowok bertubuh tinggi dan berkulit putih itu kontan memerah seperti udang rebus. Dia terlihat salah tingkah saat menatap Adella, lupa kalau mereka berdua sedang berdiri di tengah guyuran hujan dan dilihatin murid-murid di lorong kelas.

Adella pun tak kalau malunya. Kepala gadis berpipi chubby terus menerus menunduk, tidak mampu mengangkat wajahnya untuk memandang cowok yang sudah lama bersahabat dengannya itu.

Dada Adella seperti hendak meledak oleh luapan perasaan yang kurang dipahaminya.

Disatu sisi hatinya berkata, 'ini cuma Enji loh...Cowok yang sudah gue kenal sejak masih TK!'

Cowok yang dulunya mengajarinya naik sepeda, yang rajin meminjaminya pensil, penghapus, penggaris dan segala tetek bengek yang selalu lupa dibawanya ke sekolah. Cowok yang meminjaminya payung dan rela dirinya sendiri kehujanan. Cowok yang terkadang suka menyisipkan coklat atau biskuit di lacinya namun tidak mengaku kalau ditanya. Ini cuma Enji, sahabatnya selama bertahun-tahun. Bukan siapa-siapa!

'Namun kenapa gue merasa terusik dan marah saat menemukan amplop dari Enji di tas Riana? Apa amplop itu berisi surat cinta?'

Adella menggelengkan kepalanya dengan bingung. Semakin dia mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di otaknya, semakin dia tidak paham dengan perasaannya sendiri.

"Tembak! Tembak! Tembak!" entah sejak kapan datangnya, segerombolan murid-murid sudah berdiri di dekat mereka, berdesakan di bagian teras kelas. Mereka berteriak riuh memberi semangat pada Enji untuk menyatakan cinta pada Adella.

"Tembak! Jangan pakai lama!," teriakan mereka membuat Enji dan Adella tersadar.

Enji menatap bingung pada teman-teman cowoknya yang kompak memberinya dukungan. Namun disisi lain banyak juga murid-murid cewek yang mencibir dan menganggap Adella tidak pantas buat Enji.

"Lama betul rasanya...lama betul rasanya...lama betul rasanya...," koor nyanyian 'lama betul rasanya' berkumandang entah siapa yang memimpin. Membuat Enji semakin panas dingin karena salah tingkah.

"Errrr....," Enji berkata gugup sambil mencoba menatap Adella. Sayangnya gadis itu cuma menunduk dan membuat Enji semakin salah tingkah.

"Jangan kebanyakan gaya lo, Del! Udah syukur ada yang mau sama cewek yang bodinya gentong kayak lo!," seseorang tiba-tiba berteriak mengalahkan koor 'lama betul rasanya'. Ujaran bernada hinaan itu kontan membuat suara koor melemah, digantikan suara kasak-kusuk pro dan kontra.

"Iya, nggak banget deh cewek kayak gitu jadian sama Enji yang lumayan tampan," komentar seorang cewek lain dengan nada julid. "Emang apanya sih yang menarik pada cewek gendut itu?"

"Enji! Mending lo jadian sama gue aja deh. Gue langsing dan cantik, nggak kayak si Ono," Malika, anggota paskibra sekolah yang memang punya bodi aduhai berseru sambil menunjuk Adella dengan dagunya. Wajah sombong dan tingkah Malika yang sok artis membuat suasana di sekitaran situ menjadi semakin heboh. Apalagi Malika berdiri menantang dengan satu tangan di pinggang dan satu tangan lain memainkan rambutnya yang ikal panjang.

"Wow Malika! Sejak kapan lo juga ngefans sama Enji?," tanya Brian sang jagoan basket yang sudah lama naksir Malika namun selalu berakhir dengan penolakan.

"Gue sih nggak terlalu ngefans, cuma kasihan aja cowok ganteng kayak gitu berakhir dipelukan cewek gentong!"

"Eh Malika, ucapan lo tuh bully tau nggak?," seseorang berkomentar mengingatkan. Namun hanya disambut dengan teriakan 'huuuu' dari murid-murid cewek pro Malika yang tak rela Enji menembak Adella.

"Emang kenyataannya dia gendut kan? Dimana letak bullynya?," jawab Malika ngeyel.

"Iya ih, malah jatuhnya bohong kan kalau kita bilang Adella itu langsing dan cantik," timpal yang lain.

"Ish kalian cewek-cewek sirik aja sama rezeki orang. Memangnya kenapa kalau Enji suka Adella?," komentar Anton sang ketua kelas X C. "Masalah buat kalian?"

"Ya nggak rela lah ya...Abisnya yang jadi saingan kita cewek yang nggak banget!," komentar teman se-geng Malika.

"Kalau sepadan sih silahkan aja. Ini mah ibarat beauty and the beast versi cowok."

"Kalian para cewek memang tukang iri!"

"Iya kalau kami para cowok justru saling mendukung satu sama lain! Bukannya saling tikung menikung."

"Emangnya jalanan, pakai tikung-tikungan?"

"Tembak! Tembak! Tembak!," teriak murid-murid cowok dengan penuh semangat memberi dukungan pada Enji.

"Huuuu!!!!," murid-murid cewek membalas dengan mengacungkan jempol terbalik ke arah Adella.

Wajah Adella langsung pias di tengah guyuran hujan. Hatinya sakit tak tertahankan. Bukan sekali ini dia mendapat bullyan di sekolah. Bahkan sejak kecil pun dia sudah mendapat bullyan dari teman-temannya, sehubungan dengan statusnya sebagai anak broken home. Memang sejak kecil Adella hanya diasuh neneknya karena orangtuanya yang masing-masing sudah menikah lagi, menolak kehadirannya di keluarga baru mereka. Meski neneknya menyayanginya, namun tak urung Adella sering merasa iri pada teman-temannya yang memiliki orangtua lengkap.

Menjelang remaja, saat dia mulai menjadikan makanan sebagai pelampiasan ketidaknyamanan perasaannya, orang-orang pun mulai membully fisiknya. Dan itu membuat Adella hancur pelan-pelan. Walaupun dia selalu menampilkan wajah ceria, sok pede dan heboh, semua itu hanya kamuflase untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.

Di dalam, Adella persis seperti cermin yang retak pelan-pelan. Hanya menunggu waktu sampai semuanya hancur dan pecah berantakan.

"Kringggggg!!!!" deringan bel pertanda waktu istirahat sudah berakhir bergema, mencoba mengalahkan keriuhan di ujung koridor. Kegaduhan itu pun mulai memancing perhatian guru-guru. Bergegas mereka mendatangi tempat terjadinya kerumunan. Termasuk Pak Ammar yang berjalan paling depan.

"Bubar! Bubar!," teriak Pak Ammar dari jauh.

Enji dan Adella tersentak. Terutama Adella yang akhirnya mengangkat wajahnya. Gadis itu terlihat hancur dan bingung. Deraian air mata bercampur hujan membuat wajahnya terlihat bengkak dan memilukan. Hati Enji terasa tercabik melihat ekspresi wajah Adella yang menyimpan kesedihan mendalam.

"Del," lirih suara Enji mengulurkan tangannya menyentuh tangan Adella. Kulit gadis itu sedingin es, wajah gadis itu seputih kertas. Tepat saat tangan Enji menyentuh tangan Adella, gadis itu merosot lemas.

"Huuuu...drama!!!," murid-murid cewek berteriak mencibir.

"Drama queen beraksi! Berharap minta digendong sang pangeran!"

"Nggak sadar kalo beratnya hampir seratus kilogram."

"Iya ih, dasar cewek gendut cari perhatian!"

"Kalian bisa diam nggak sih?," Emily yang baru datang bersama Ray dan Riana kontan memarahi cewek-cewek dari kelas Malika yang dari tadi terus-terusan membully Adella.

"Memalukan!," desis Ray sambil menatap cewek-cewek itu dengan galak, membuat mereka terdiam.

"Adella!," Riana berlari menghampiri Adella yang terkulai lemas di pangkuan Enji. "Adella, kamu kenapa?"

"Sepertinya dia pingsan. Bantu angkat!," perintah Pak Ammar yang baru saja sampai, menempelkan telapak tangannya di kening Adella.

Enji, Ray dan Pak Ammar bersama-sama mengangkat tubuh Adella dan membawanya ke ruang Unit Kesehatan Sekolah. Sementara Riana dan Emily membuntuti di belakang.

Kerumunan itu pun perlahan bubar seiring kedatangan guru masing-masing yang berteriak galak menyuruh murid-murid masuk ke kelas masing-masing.

"Kalian ngapain sih hujan-hujanan?," gerutu Pak Ammar sambil menatap Enji tajam.

Enji tak menjawab. Dia merasa sangat bersalah saat menatap wajah Adella yang pucat.

Siguiente capítulo