webnovel

Abu Buka Rahasia

Sekembalinya Panglima Hong Bao dari kapal Bauchuan, Pring mesti kecewa lagi, karena tidak ditemukan catatan tentang anak gadis Jawa di kapal induk. Pring meneteskan air mata memikirkan ketidakpastian nasib adiknya, apakah Nimas masih hidup ataukah sudah tidak ada di dunia lagi. Sial benar nasib keluarganya, setelah orangtuanya tewas oleh prajurit pribumi kini dia mesti kehilangan adiknya di tangan orang asing.

Suatu ketika Pring menemukan sebuah labu, yang mungkin tergelinding sehingga keluar dari gudang makanan. Sebagai orang dapur maka labu itu dibawanya ke dapur. Tapi, ketika Sim Po melihatnya buah labu itu dimintanya. "Buah labu yang cantik, aku dulu suka menyimpan buah labu seperti ini karena tahan lama. Biar labu ini kusimpan di ruangku. Labu tidak boleh dimasak, karena hanya untuk keadaan gawat, bila betul-betul tidak ada makanan."

Tapi tidak berapa lama Pring menemukan buah labu lagi, dia segera memungutnya dan membawanya ke dapur. Labu itu diberikan kepada Paman Bayu. Oleh pamannya labu itu ditimangnya pelan, layaknya menimbang. Lalu labu itu diturunkan, setelah memandang sekeliling labu itu dirabanya cermat. Pring mengamatinya dengan ketidaktahuan. Pamannya menghentikan gerakan tangannya dan menyuruh Pring meraba labu itu. Ya, ada kejanggalan. Labu itu pernah diiris dan irisannya dikembalikan seperti semula. Paman Bayu mengambil lidi, lalu ditusuknya labu itu lalu ditariknya, bagian irisan terlepas. Paman Bayu menciumnya. "Mesiu...," desis Paman Bayu. Paman Bayu lalu menutup irisan buah labu itu lagi dan buru-buru menyembunyikan buah labu. "Kapal ini sangat berbahaya, bukan saja karena penuh mesiu tapi juga karena akan ada sesuatu yang terjadi. Mungkin pemberontakan." Labu itu diam-diam dikembalikan ke gudang makanan bersama labu yang lain.

"Lalu kita harus bagaimana?" bisik Pring sangat khawatir.

"Kita mesti waspada, dan jangan jauh-jauh dariku. Kamu juga mesti hati-hati terhadap semua orang di kapal ini, termasuk Sim Po," kata Paman Bayu. Pring mengangguk. Hatinya kian tidak tenteram. Pring semakin susah tidur, sehingga dia kalau malam berada di buritan kapal sambil melihat kerlap-kerlip obor yang lain. Tapi dia sering melihat kegiatan yang berbisik-bisik antara awak kapal dan prajurit. Mungkin yang dikatakan pamannya betul. Tampaknya Hoe Ho, orang keprcayaan panglima Hong Bao terlibat dalam rencana ini. Karena beberapa kali Pring melihat Hoe Ho melakukan pertemuan bisik-bisik dengan beberapa orang, setelah itu mereka menghilang. Apa yang dilihatnya dilaporkannya kepada pamannya, Pring disuruh lebih hati-hati. Anehnya, akhir-akhir ini mereka sering tidak melihat Abu.

"Apa Paman Abu perlu diberitahu, Paman?"

"Ssttt...tidak usah. Berbahaya bagi kita," kata Paman Bayu.

Suatu malam Pring melihat seseorang mengendap ke ruang gudang makanan dan masuk. Orang itu tidak melihat Pring yang sedang duduk tercangkung dengan selimut di kegelapan pojok dapur. Sementara yang lain tertidur dengan lelap dengan dengkur, termasuk Paman Bayu. Pring penasaran, tidak berapa lama dia merangkak menyusul di gudang makanan. Gudang itu tidak dikunci, dan sengaja seperti untuk memudahkan orang dapur untuk mengambil bahan makanan. Tapi, kenapa labu-labu berisi mesiu itu disimpan di gudang? Siasat yang pintar. Dengan begitu, orang yang tidak tahu menganggap kapal itu aman-aman saja.

Pring tidak menemukan orang itu, hantukah yang dilihatnya tadi? Pring memutuskan untuk bersembunyi dan menunggu, siapa tahu orang itu muncul lagi. Cukup lama dia menunggu tapi tak ada pergerakan apa-apa di gudang makanan itu. Ketika dia terkantuk berat didengarnya suara derit kayu. Dalam kegelapan dilihatnya seseorang memasukkan kepala dan badannya dari sebuah lubang di dinding kapal. Setelah betul-betul masuk orang itu memakai baju dan menutup lubang dinding, lalu ditumpukinya bagian lubang itu dengan bahan makanan sehingga tidak terlihat. Pring menciutkan badannya agar tidak terlihat. Onggokan jagung dan kulitnya yang gelap menyamarkan keberadaannya. Pring melihat orang itu beranjak dengan mengendap meninggalkan gudang makanan. Pring tidak tahu siapakah orang itu, tidak jelas raut mukanya. Begitu orang itu sudah keluar gudang, Pring pun beringsut keluar dan kembali ke tempatnya semula dan pura-pura tidur. Sampai pagi dia tak terpejam. Ingin rasanya dia ke geladak, tapi itu tidak dilakukannya. Karena dipikirnya akan terjadi sesuatu, dan itu sangat berbahaya baginya. Pring beringsut ke tempat pamannya tidur lalu terlelap.

Tapi, menjelang Subuh terjadi kegaduhan, karena kematian beberapa prajurit jaga, mayat pengawas mati di menara pengawasan dan satunya lagi tersangkut di tiang layar. Pring melihat Panglima Hong Bao memarahi Hoe Ho dengan bahasa mereka. Raut mukanya sangat merah. Suatu malam, Pring melihat seseorang mengendap lagi, kini Pring menyenggol punggung pamannya. Paman Bayu menutup mulut Pring agar tidak bersuara. "Kamu di sini saja, jangan ke mana-mana." Paman Bayu pelan-pelan bangkit dan beranjak menyusul orang itu. Pring takut, tapi dia tidak tahu harus bagaimana akhirnya dia menyusul pamannya meskipun harus merangkak. Pring melihat perkelahian, tapi itu bukan Paman Bayu. Di manakaha Paman Bayu? Pring tidak berani beringsut lebih jauh. Dia melihat perkelahian itu dengan ketakutan. Yang satu memakai penutup muka. Anehnya, mereka tidak mengeluarkan suara yang berarti sehingga tidak mengundang kedatangan prajurit. Orang bertopeng terdesak lalu mencoba melarikan diri, tapi dikejar. Up, yang mengejar itu Abu! Tidak salahkah pandangannya? Pring mengusap matanya untuk meyakinkan penglihatannya. Dua orang itu berkelebat lalu naik tangga menuju geladak, setelah itu terdengar beberapa langkah orang dan kehirukan di atas.

Pring segera naik ke geladak mengikuti orang-orang yang lari ke atas. Tapi orang bertopeng telah terjun ke laut, lolos. Pring segera berlari ke bawah menuju gudang bahan makanan untuk melihat lubang dinding kapal yang dipakai keluar masuk orang malam sebelumnya. Tapi, tidak ada jejak ada yang masuk ke lubang itu. Jadi siapakah penyerang-penyerang itu?

Di manakah Paman Bayu? Tapi tak lama kemudian dia melihat pamannya berjalan bersama Panglima Hong Bao dan Hoe Ho. Mereka naik ke geladak dan Pring menyusul. Banyak prajurit mengawasi dinding kapal. "Awasi dinding kapal, pastikan tidak ada yang merayap ke atas!" seru Panglima Hong Bao. Saat itu ada seseorang yang melompat dari tiang layar sambil membidikkan sesuatu ke arah Panglima Hong Bao. Tapi gerak anak panah besi terhenti di jepitan jari Abu. Orang itu pun terjun ke laut dan menghilang. Mereka yang melihat kehebatan Abu terkesima. "Siapakah kamu sebenalnya?" tanya Panglima Hong Bao.

"Maaf, ini hanya kebetulan saja. Bila disuruh mengulang pasti sudah sobek jantung hamba, Panglima," kata Abu. "Tadi saat hamba tertidur kaki hamba terinjak seseorang, begitu terbangun saya lihat orang bertopeng mengendap lalu saya susul, ternyata hendak menuju ruang Panglima dan orang itu menyerang hamba."

Sim Po muncul dengan menguap, di pipinya ada pemerah pipi. Tapi, tampak segar tidak layaknya orang bangun tidur. Mengapa dia tidak mengetahui keributan sehingga terlambat datang? Setelah peristiwa itu Abu membuka rahasianya kepada Paman Bayu dan Pring, tapi dia minta agar rahasia itu ditutup rapat-rapat. Sebenarnya dia salah satu panglima Kerajaan Aceh, nama aslinya Tengku Abu Salam. Dia sedang menyamar untuk memburu pelarian tahanan kerajaan, yaitu Sindunoto yang bergelar Kalajengking Maut, pemimpin perompak Selat Malaka yang telah membunuh seluruh awak kapal dagang Kerajaan Aceh. Sindunoto meloloskan diri beberapa saat sebelum kedatangan armada Tiongkok. Dari cerita prajurit yang mengejarnya, buron kelas kakap yang berbahaya itu menghilang. Tapi sempat ada yang melihatnya dia bersama prajurit Tiongkok. "Mungkin orang Tiongkok tidak tahu riwayatnya, atau memang dia sengaja dipelihara karena kepandaiannya. Kalau dia bergabung dengan prajurit pemberontak kapal semakin sulit aku menangkapnya. Aku harus menyeretnya ke Aceh atau melenyapkannya." Paman Bayu termangu mendengar penuturan Abu, demikian juga Pring. "Kalau di air dia seperti belut, susah ditangkap karena dia seperti katak yang bisa hidup di dua alam."

"Aji belut putih," seru Pring.

Abu dan Paman Batu tertawa. "Aduh, kamu bicara apa. Ya sangat bisa dimaklumi bila dia pandai bertempur di laut, karena dia bajak laut," kata Paman Bayu.

"Aku curiga, Sim Po dan Hoe Ho telah bersekongkol untuk melenyapkan Panglima Hong Bao. Dari catatan-catatan pembunuhan yang kupelajari, tampaknya gayanya sama dengan Kalajengking Maut. Pastilah dia dijanjikan harta yang sangat besar bila bergabung dengan komplotan pemberontak di kapal ini. Sengaja ada yang menyembunyikannya di kapal ini. Sebelumnya aku di kapal utama, tapi karena ada pembunuhan di kapal ini maka aku berusaha untuk bisa bergabung di sini," kata Abu.

Suatu hari, ketika suasana dapur sepi, Abu menyuruh Pring menyumpal sumpit-sumpit bambu dengan kain yang telah disiapkannya. "Sumpal lalu dorong ke dalam dengan lidi sampai ke tengah-tengah."

"Untuk apa, Paman?"

"Stt... lakukan saja," bisik Abu.

"Mengapa mereka butuh sumpit, bukankah mereka punya mesiu?" tanya Pring.

Paman Bayu menyambung, "Mereka menyiapkan tabung-tabung bambu kecil itu untuk menjadi pasukan katak. Untuk bernapas di alam air. Sumbat semuanya. Mereka telah menyiapkan pemberontakan dengan matang. Sasaran pertama mereka Panglima, setelah itu mereka akan mengambil alih kapal dan membelokkannya ke arah lain. Pasti mereka ini tidak sendirian, ada pembelot lain yang akan membantunya."

Pring juga mendapat tugas melubangi labu dan memasukkan air ke dalamnya. Dengan demikian mesiu di dalamnya menjadi basah dan tidak akan berfungsi. Tugas meredam mesiu dilakukan Pring di sela-sela tugasnya mengambil bahan makanan di gudang sehingga dia dibiarkan agak berlama-lama di dalam gudang makanan. Tentu saja dengan pengawasan ketat oleh pamannya dan Abu.

Siguiente capítulo