webnovel

8. Penculikan di Timbercreek Canyon

"Mereka pasti di sekitar sini."

"Berpencar!"

Gill menoleh ke pohon yang ada di seberangnya. Nampak Jeremy yang tengah bersandar sembari menutup mulut dengan kedua tangannya. Pria itu mengacungkan ibu jari, menandakan kondisinya baik-baik saja.

Gill menunjuk ke semak yang cukup dekat darinya. "Kita ke sana," ujar pria itu setengah berbisik.

Jeremy mengangguk cepat. Gill yang memiliki ide, keluar terlebih dahulu. Ia memastikan keadaan sekitar sudah baik-baik saja. Ia menggerakkan tangannya ke arah Jeremy. Ketiga orang yang mengejar sudah tidak terlihat. Mungkin mereka sedabg mencari di tempat lain.

Begitu Gill tiba di semak yang menjadi tempat tujuan, ia ditarik hingga terjatuh. Nampak wanita yang mengenakan topi baseball langsung menodongkan moncong pistol tepat di kepalanya. Gill sontak mengangkat kedua tangan dengan wajah panik.

"Jangan berteriak!" ancam wanita tersebut.

Gill mengangguk cepat. Ia tidak mengatakan apa pun karena terlalu takut. Kedua telapak tangannya berkeringat. Bahkan ia sampai merasa ingin buang air kecil sekarang juga.

"Apa kau suruhan Ben?" tanya wanita itu.

Gill menggeleng kaku. Mulutnya menggumamkan sesuatu tanpa suara.

Wanita itu mengernyitkan dahinya. "Kau mengenal Ben?"

Gill menggeleng lagi.

Wanita Itu mendecak. Ia menjauhkan pistol dari kepala pria tersebut. Tidak lama, kedua rekannya datang dengan napas terengah-engah. Mereka terus menunjuk ke belakang.

"Ada apa?" tanya wanita itu dengan bingung.

"Mereka ... Mereka membawa keluargamu, Revanta!" ujar salah satu rekannya.

Wanita bernama Revanta itu mematung di tempat. Kedua rekannya langsung menggoyangkan tubuh wanita tersebut. Seketika Revanta mengerjap, ia segera bangun. Tidak ada lagi yang memedulikan Gill maupun Jeremy yang sudah keluar dari tempat persembunyian.

"Mereka mau ke mana?" tanya Jeremy.

Gill mengangkat bahunya. "Entahlah. Kau penasaran?"

Jeremy mengangguk cepat. "Sangat. Bagaimana kalau kita ikuti mereka?"

Gill mengangguk setuju. Mereka berjalan cepat mengikuti ketiga orang tersebut. Jalan yang gersang itu sempat membuat Jeremy merasa malas. Namun rasa penasaran jelas mengalahkan segalanya.

Tidak lama, mereka tiba di depan sebuah real estate. Kondisi di sana berantakan. Pagar yang ada di sana sudah roboh. Ketiga orang yang mereka ikuti sudah menerobos masuk. Gill meringis begitu melihat jejak darah yang berceceran di sana.

"Apa ini sisa-sisa pembantaian?" gumam Jeremy.

Gill mengedikkan bahunya. "Entahlah. Kalau benar, pasti pelakunya orang bernama Ben."

Jeremy menunjuk salah satu rumah yang paling dekat dengan mereka. Jika dilihat dari papan nama, pemiliknya adalah Mr. Gerrard B. Gill mendekati rumah yang sudah hampir roboh tersebut.

"Bukankah ayahmu bernama Gerrard?" tanya Jeremy.

"Benar. Tapi bukan Gerrard B, melainkan Gerrard Nath!" jelas Gill.

"Mereka sudah menghilang," gumam Jeremy.

Gill melempar pandangannya ke jalan yang lurus tanpa ada hambatan tersebut. Rupanya ketiga orang yang sedari tadi mereka ikuti sudah menghilang. Gill berlari kecil menyusuri jalan itu dengan diikuti Jeremy. Mereka menyapukan pandangan ke segala arah untuk mencari tiga orang tersebut.

Mereka berhenti melangkah saat mendapati ketiga orang itu sedang berdiri di depan rumah yang berantakan. Hancur, layaknya di bom. Kini yang bisa terlihat hanya sisa puing-puing berserakan di sekitar. Jejak darah seperti bekas seretan, namun hilang di jarak 2 meter.

"Kondisinya sama seperti rumahmu, Gill!" seru Jeremy.

Gill mengepalkan tangannya dengan penuh tenaga. Ia menunduk dengan otak yang terus memaku nama Ben sekuat mungkin. Ia tidak akan melupakan nama tersebut.

"Apa ini perbuatan Ben?" tanya Gill dengan suara bergetar.

Revanta menoleh, matanya sembab. Lalu wanita itu mengangguk lemah. "Dia menculik semua orang untuk dijadikan kelinci percobaan."

~~~

Julia melihat ke arah jam yang menempel di dinding. Suasana ruangan begitu gelap, hingga ia tidak menyangka kalau sudah tengah hari. Harusnya saat ini begitu terik, namun karena lembab, yang bisa dirasakan hanyalah dingin.

"Kira-kira apa yang sedang mereka rencanakan ya?" tanya Julia pada dirinya sendiri.

Myujin yang mendengarnya hanya tersenyum. "Apa pun yang mereka rencanakan, aku tidak akan membiarkanmu terluka."

Julia tertawa dengan terpaksa. "Tidak ku sangka, ternyata selama ini aku menikah dengan pria bodoh."

"Hei ...." Myujin memicingkan kedua matanya. "Jaga ucapanmu."

"Kalau begitu, kau juga. Jaga kesehatanmu!" balas Julia.

Myujin hanya menanggapinya dengan tawa. Entah sudah berapa lama mereka terjebak di tempat ini. Pria itu terus saja berkutat dengan besi yang menjadi satu-satunya senjata.

Julia yang tidak ingin dianggap sebagai beban, mencoba untuk melakukan sesuatu. Ia masuk ke ruangan yang semula dijadikan tempat untuk menyekapnya. Salah satu petugas masih terkulai lemah dengan kepala berdarah.

Mungkin saja ada petunjuk, batin Julia.

Wanita itu perlahan mendekati petugas yang tidak sadarkan diri. Untuk berjaga-jaga, ia membawa korek di tangannya. Beberapa kali ia menendang kaki pria tersebut. Tapi sama sekali tidak ada respon. Barulah Julia berani untuk berjongkok. Ia meraba saku kemeja lusuh yang dikenakan pria itu. Julia menemukan beberapa lembar kertas. Salah satunya, foto gadis kecil bersama wanita yang tersenyum manis.

"Mereka pasti keluarganya," gumam Julia.

Julia membuka kertas yang dilipat hingga sangat kecil. Ia mengernyit bingung saat membaca setiap tulisan yang ada di sana. Kalimat berkesinambungan begitu mengiris hati Julia.

"Rupanya ini surat."

Julia kembali melipat surat itu seperti semula. Kini tersisa satu kertas tipis yang lebih terlihat seperti tisu. Wanita itu memicingkan kedua matanya saat membaca tulisan yang hampir luntur.

"Untuk Myujin?" Julia mengangkat kertas itu tinggi-tinggi. Ia berusaha menerawang tulisan yang tertera di sana.

"Myujin, kau mengenal orang ini?" tanya Julia.

Myujin yang tengah sibuk di ruang sebelah langsung menghampirinya. Ia membawa besi yang dilapisi kawat berduri. Julia sampai meringis saat melihat benda itu.

"Siapa?" Myujin menunjuk petugas yang tergeletak di lantai. "Dia?"

Julia mengangguk cepat. "Iya. Dia menulis surat untukmu."

Ia menyodorkan kertas itu pada Myujin. Namun karena penglihatan pria itu sudah dimakan usia, sulit untuk membacanya. Julia mendecak pelan. Ia kembali merampas kertas tersebut.

"Lari kalau tidak mau mati! Itu yang tertulis di kertas ini," kata Julia.

Myujin mengernyitkan dahinya. Ia berjongkok semakin dekat dengan pria tersebut. Lalu ia menatap wajah lemah itu lekat-lekat. Otaknya seakan merespon, tapi laci ingatan Myujin sudah terlalu penuh. Kini yang bisa dilakukannya hanya menggaruk kepala.

"Aku tidak ingat dia," ujar Myujin sembari tersenyum lebar.

Julia menepuk bahu pria itu cukup keras. "Dasar orang tua!"

Myujin tersenyum miring menatap istrinya. "Hei, Nona. Berapa tahun usiamu?"

Julia tidak menanggapi pertanyaan Myujin. Ia memasukkan kembali semua kertas ke saku kemeja petugas tersebut. Tiba-tiba saja tangannya ditahan. Julia hampir saja berteriak, namun Myujin langsung membekap mulut istrinya.

"Jangan bergerak!" kata Myujin sembari menodongkan besi ke arah petugas tersebut.

"M-Myujin ...," panggil petugas itu sembari berusaha bangun.

Myujin mendorong Julia agar menjauh. Ia masih tetap menodongkan besi pada petugas tersebut.

"Jangan bergerak!" seru Myujin.

"Kembalikan seragamku kalau kau tidak mau mati, Myujin."

Siguiente capítulo