webnovel

Marionette and The Wolfy Wolf

"Tuan Reynz ... apa pun tujuanmu membawaku kemari, jika itu tujuan buruk, kumohon urungkanlah." Marion menangkupkan kedua tangan di depan dadanya, memohon belas kasih pria yang air mukanya mulai berubah dingin dan bengis di mata Marion.

Ia kembali merapalkan doa perlindungan diri yang diajarkan neneknya, berharap siapa pun akan datang untuk menolongnya. Terlebih dengan kondisi Marion sekarang yang mulai gemetaran, seharusnya William merasa iba, jika memang ia memiliki tujuan yang tidak baik.

William yang sejak tadi hanya bungkam, pada akhirnya menepikan mobil, kemudian turun dan membuka pintu untuk Marion. Alih-alih membiarkan gadis itu turun sendiri, ia justru menggendong Marion—setelah menutup mata gadis itu dengan sehelai sapu tangan miliknya. Ia menggendong gadis itu di pundaknya, seperti yang pernah ia lakukan di pesta malam itu, saat Marion memuntahi pakaiannya.

Gadis itu berusaha memberontak dengan segala upaya yang ia punya, memukul punggung liat yang tertutup kemeja kerja, ia jadi bisa merasakan seberapa kokoh tubuh William. Tak mungkin ia akan selamat dari ini semua.

Marion tak yakin ke mana William membawanya, ia bahkan tak bisa melihat apa pun karena matanya tertutup. Ia hanya bisa mencium aroma pinus, juga mendengar suara dedaunan yang berdesik tertiup angin.

Di mana sebenarnya ia berada? Apakah ia kini berada di alam lain, karena William merupakan jelmaan Lucifer yang turun ke bumi untuk mengambil nyawanya.

Tidak, tidak. Seharusnya bukan dirinya yang diambil, melainkan orang lain yang hanya mengandalkan segala keangkuhan. Namun, apakah iblis itu peduli dengan kejahatan manusia? Bukankah mereka justru menggoda manusia yang baik? Atau jangan-jangan William tengah dalam pengaruh iblis seperti yang pernah Marion baca di buku milik kakek dan neneknya?

"Tuan Reynz, lepaskan aku!!! Lepaskan aku, kumohon ...."

Sesungguhnya ia tak yakin jika yang membawa dirinya kini masihlah William, karena ia bisa merasakan bulu halus yang menyentuh kulitnya. Aroma yang tercium pun bukan lagi aroma cedarwood yang khas milik William, melainkan seperti bau seekor anjing.

Apakah William menjualnya untuk dijadikan makanan bagi hewan buas?

"Tuan Reynz—ah!" Tubuh Marion direbahkan—lebih tepatnya dijatuhkan begitu saja ke hamparan rerumputan luas. Ia sungguh tak mampu melihat apa pun di sana. Hanya aroma hewan buas yang tercium makin kuat menyeruak ke rongga hidungnya.

Sekujur tubuh Marion bergetar hebat, air matanya mengalir deras tak mampu ia bendung. Ia masih memohon dengan sungguh-sungguh tanpa tahu di mana ia berada, dan siapa saja yang ada di sana.

Sekumpulan makhluk buas tengah mengelilinginya dan satu yang masih berwujud lycan dengan ukuran tubuh lebih besar dibanding lainnya, berdiri tak jauh darinya.

Ia berada di tengah, layaknya hidangan bagi seluruhnya yang ada di sana.

Namun, sebenarnya tidak seperti itu, karena yang sebenarnya terjadi adalah Marion akan menjadi santapan lycan bertubuh besar itu, disaksikan kawanan lainnya. Termasuk seorang elder yang berpakaian berbeda dibanding lainnya. Tampak juga usianya yang lebih tua dan terlihat lebih bijaksana dibanding lainnya. Bahkan dibanding makhluk lycan yang tengah menatap Marion dengan tatapan buas.

"Kau membawa makanan lagi?" tanya Ange, tetua yang sejak tadi memerhatikan tingkah polah makhluk di hadapannya. Makhluk itu menoleh. Ange mendekat sedikit pada Marion yang masih tergeletak, lemas. Wanita paruh baya itu mengendus dan memerhatikan Marion, menatapnya lekat. "Kau yakin ingin memakan gadis ini?"

"Bukankah ini bukan kali pertama? Mengapa kau tampak terkejut? Biasanya tak masalah bagimu, bukan?" protes makhluk itu.

Perkataan mereka hanya terdengar seperti erangan dan auman tanpa bisa dipahami oleh Marion. Matanya masih tertutup kain, tangannya kini terikat. Hanya gumam lemah yang terucap olehnya.

"Apakah kau tak melihat dan merasakan perbedaan gadis ini dengan korbanmu yang lain? Mereka jauh berbeda, Will," imbuh Ange. Namun, William, dengan wujud yang tak lagi bisa dikatakan rupawan, melainkan menakutkan, mendengus keras pada wanita itu.

"Baiklah, baiklah. Aku tak akan halangi hasratmu, kau nanti juga akan tahu sendiri." Wanita itu bergerak menjauh. "Kalian, bawakan lembaran kulit domba itu dan lingkari tempat itu! Pimpinan kalian akan melakukan ritual makannya."

Ange kembali menoleh pada William. "Jika kau membutuhkanku, kau tahu di mana bisa mencariku."

Wanita itu kemudian berlalu meninggalkan William dan beberapa pria yang tengah membuatkan kubah untuk tempat khusus bagi William.

***

Pria itu memandangi Marion, gadis yang baginya biasa saja, tetapi sudah membuat suasana hatinya sehari ini jadi tak karuan.

Ia tak pernah merasakan perasaan aneh ini sebelumnya—yang ia artikan sebagai dorongan untuk makan. Namun, sebenarnya bukan. Ia masih tak percaya dirinya melakukan penyatuan dengan Marion kala itu. Bukankah saat itu ia merasakan gejolak yang sama dengan saat ini? Dan bukan memakan Marion, ia justru menyetubuhi gadis itu.

Apa yang salah dengan indra penciumannya?

Apa yang salah dengan gejolak terhadap gadis itu—yang menggelegak yang selalu ia rasakan dan ia artikan sebagai hasrat untuk makan—yang tanpa ia sadari rasa itu bahkan berbeda dari sebelum-sebelumnya.

Anehnya, ia bahkan tak merasakan adanya rasa lai—cinta—selain hanya rasa ingin mengulangi malam itu.

William bersiap saat kubah telah melingkupi dirinya dan Marion. Ia kembali dalam bentuk William yang asli—berbalut kain di pinggangnya—tak langsung melahap Marion melainkan menyalakan beberapa lilin, sebagai penerang. Tak sadari bahwa calon mangsanya telah terbangun dan berusaha melepaskan diri.

"Tuan Reynz ... tolong aku ...." Gadis itu bergerak perlahan, masih lemah. "W-William ... t-tolong aku ...."

Desah lirih Marion yang memohon bantuan, membuat William memutuskan untuk bersegera menuntaskan semuanya. Agar ia tak tergoda dengan hal lain yang mungkin akan menggagalkan kesempatannya untuk makan.

Terlebih dengan telah terampasnya keperawanan Marion olehnya, maka tak ada lagi yang ia beratkan dari gadis itu. Tentu saja berbeda dengan mangsa sebelumnya.

Napas William memburu, seiring dengan makin dekat langkahnya pada tubuh molek dan menggiurkan milik gadis itu. Air liurnya menetes, membayangkan daging yang legit—jika dilihat dari warna kulit Marion yang merona, pastilah dagingnya terasa lezat dan segar.

Makin dekat dorongan itu makin kuat. Namun, ketika sudah berada di dekat Marion, mengendus aroma tubuhnya, yang terjadi ia mendadak tak bernafsu melahap daging gadis itu melainkan justru ingin mengulang malam di mana dirinya melakukan penyatuan dengan gadis itu.

Semakin dekat, semakin tercium aroma feromon milik gadis itu, semakin sulit bagi William untuk berhenti. Ia berusaha menolak dorongan itu, tetapi justru nyeri di sekujur tubuh yang ia rasakan.

Pria dengan wujud makhluk lycan itu mengerang, berteriak histeris, membuat Marion semakin menggeser tubuhnya rapat dengan sisi kubah.

"Siapa pun kau, kumohon lepaskan aku," rintih Marion, pilu. Tak ada yang ia inginkan saat ini selain keselamatan dirinya.

Di mana William?

Siapa atau apa makhluk buas yang tengah mengincarnya ini?

Dan segudang tanya lain yang mulai memenuhi rongga kepalanya saat ini, ia tak peduli lagi.

William masih merasa kesakitan. Jika saat itu ia bisa melakukannya atas dasar suka sama suka, karena Marion tengah mabuk berat. Kali ini ia justru akan dituduh memperkosa gadis itu jika ia memaksa untuk melakukan penyatuan.

William terus memberontak pada hasrat yang mulai berarak liar dalam dirinya. Ia mengobrak-abrik segala yang ada di atas meja dalam kubah itu. Membuat semuanya terjatuh ke atas rerumputan yang menjadi dasar ruangan itu.

Lilin yang sengaja ia hidupkan, kini mengobarkan api yang makin lama makin besar, seiring berlalunya William meninggalkan Marion masih di dalam kubah dengan kobar yang menimbulkan asap yang makin meninggi.

Siguiente capítulo