webnovel

The Mortal Arrow 7

Esmee berdiri di depan restorannya dengan mengenakan setelan celana jeans berwarna biru tua dengan kaus hitam putih bergaris. Ia melengkapi penampilannya dengan menambahkan trench coat berwarna hitam karena suhu di penghujung musim gugur yang mulai mendingin. Esmee juga membawa tas bekal berisi sandwich, keju dan buah-buahan.

Tidak lama setelah Esmee berdiri di depan pintu restorannya, William muncul sambil mengendarai motor Honda Super Cub berwarna merah marun. Mata Esmee langsung membulat ketika melihat William tiba sambil mengendarai sepeda motor tersebut.

William tersenyum lebar ketika ia menghentikan motor yang ia kendarai di depan Esmee. "Kau terlihat lebih segar."

"Di mana aku bisa meletakkan ini?" tanya Esmee pada William sambil menunjukkan tas bekal yang ia bawa.

"Kau menyiapkan bekal untuk kita berdua?" William balik bertanya pada Esmee.

Esmee menganggukkan kepalanya. "Aku hanya menyiapkan sandwich, keju dan buah-buahan. Mungkin nanti kita juga bisa mampir untuk membeli wine."

"Sepertinya kau memang ingin bersenang-senang hari ini," ujar William pada Esmee.

"Marie bilang aku harus menikmati liburanku."

"Berikan padaku." William meminta tas bekal yang dibawa Esmee.

Esmee segera memberikan tas bekal yang ia bawa pada William. Setelah itu, William meletakkan tas bekal itu di depannya. Ia menganturnya sedemikian rupa agar tas bekal tersebut tidak jatuh. Setelah selesai memposisikan tas bekal tersebut, William segera memberikan helm yang ia bawa pada Esmee.

"Terima kasih," ujar Esmee sambil menerima helm yang diberikan William. Ia kemudian mengenakan helm tersebut dan segera naik ke atas boncengan motor yang dikendarai William.

"Sudah siap?" tanya William sebelum ia mengendarai motornya pergi meninggalkan restoran.

Esmee menganggukkan kepalanya sambil tertawa pelan. William ikut tertawa pelan seraya menurunkan penutup helmnya.

"Kalau begitu, waktunya bersenang-senang," ujar William sambil mengendarai motornya.

----

Begitu motor yang ia kendarai keluar dari Riquewihr, William mengarahkan motornya ke arah selatan melewati jalan Jacquess Preiss. Mereka terus mengarah ke selatan dan melewati perbukitan anggur yang ada di kanan kiri jalan. Sampai William melihat pertigaan jalan dan ia mengarahkan motornya ke kiri untuk memasuki wilayah Centre Ville.

"Kau akan membawaku ke mana?" tanya Esmee.

"Chateau de Saint-Ulrich," jawab William.

Esmee menganggukkan kepalanya. "Kau benar-benar ingin menghirup udara segar rupanya."

William tertawa pelan dan terus mengendarai motornya sampai akhirnya melewati wilayah Centre Ville dan berbelok ke kiri melalui jalan Klee. Sekali lagi, perjalanan William dan Esmee ditemani oleh pemandangan perbukitan anggur di penghujung musim gugur.

Esmee menatap perbukitan sambil menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia kemudian memejamkan matanya untuk meresapi udara di penghujung musim gugur. Meskipun udara di sekitarnya sudah cukup dingin, namun Esmee merasa dirinya di kelilingi oleh kehangatan.

Tanpa sadar Esmee mempererat pegangannya pada jaket William. Hal itu membuat William seolah membeku. Tubuhnya tiba-tiba menegang ketika Esmee mempererat pegangannya. William merasa dirinya seperti disengat listrik jutaan volt.

Sambil membelokkan motornya ke arah kanan dan memasuki jalan Lutzelbach, William mencoba untuk menenangkan dirinya. Tujuan mereka sudah semakin dekat ketika mereka mulai melewati jalan aspal setapak di dalam hutan.

"Aku sudah lama sekali tidak ke sini," ujar Esmee tiba-tiba.

"Kau sering ke tempat ini?" tanya William.

Esmee menganggukkan kepalanya. "Aku sering berjalan kaki di sini. Aku melatih kembali kakiku dengan berjalan sampai ke Chateu. Suasana di dalam sini membuatku merasa tenang meskipun aku harus menahan sakit tiap kali aku melangkah. Terkadang aku tidak kuat dan akhirnya memutuskan untuk kembali."

William membelokkan motornya ke kiri ketika mereka menemui sebuah persimpangan. Setelah berbelok kiri, bangunan Chateau de Saint-Ulrich mulai terlihat dari kejauhan. Tidak lama kemudian mereka tiba di Chateau de Saint-Ulrich. William kemudian memarkirkan motornya di dekat bangunan Chateu tersebut.

Setelah itu, William dan Esmee berjalan kaki untuk memasuki area Chateau de Saint-Ulrich. Chateau de Saint-Ulrich merupakan sebuah kastil yang dibangun pada abad ke sebelas masehi. Ada sebuah legenda tentang dua orang bersaudara Ribeaupierre. Yang mana salah satunya tinggal di Chateau de Saint-Ulrich sementara yang lainnya tinggal di Girsberg.

Suatu hari, kedua bersaudara itu berjanji akan pergi berburu bersama. Siapa yang bangun terlebih dahulu akan memberikan sinyal pada saudaranya dengan menembakkan panah api ke jendela saudaranya. Keesokan paginya, saudara di Girsberg bangun terlebih dahulu.

Sesuai perjanjian, ia menembakkan panah api ke arah jendela saudaranya di Chateau de Saint-Ulrich. Namun nahas, ketika panah itu tiba, Sang saudara membuka jendelanya dan ia tertusuk panah yang ditembakkan saudaranya lalu meninggal dunia dengan panah yang menancap di hatinya.

"Kau pernah dengar legenda The Mortal Arrow di kastil ini?" tanya Esmee pada William.

William menggelengkan kepalanya. "Aku baru mendengarnya setelah kau menceritakannya padaku."

Esmee tertawa pelan. "Sungguh malang nasib dua bersaudara itu."

William ikut tertawa pelan. Keduanya tanpa sadar akhirnya sampai di puncak kastil. William dan Esmee sama-sama terdiam begitu melihat pemandangan yang tersaji di hadapan mereka. Hamparan perkebunan anggur, rumah-rumah penduduk serta hutan yang tadi mereka lewati menyapa mata keduanya. Pemandangan yang cantik itu seolah membius William dan Esmee.

"Cantik," gumam William pelan.

Esmee menganggukkan kepalanya. Ia tidak mengetahui bahwa William mengatakan hal tersebut sambil menatapnya. Ketika Esmee menoleh, William buru-buru mengalihkan perhatiannya pada pemandangan yang ada di depannya.

"Kisah dua bersaudara itu bisa saja terjadi pada siapapun," ujar Esmee.

"Di jaman seperti ini, kita tidak perlu menembakkan panah untuk memberi tanda pada seseorang," sahut William.

"Itu bisa diibaratkan seperti seseorang yang hendak membuka hatinya," timpal Esmee.

William mengerutkan keningnya sambil menatap Esmee.

Esmee menghela nafas panjang. "Kau tidak mengerti?"

William menggelengkan kepalanya.

"Anggap saja kau jatuh hati pada seseorang, dan kau tiba-tiba dihadapkan pada situasi tidak terduga yang akhirnya membuatmu sakit hati. Saudara di Girsberg bahkan tidak menyangka bahwa anak panahnya akan membunuh saudaranya sendiri," ujar Esmee.

William menggumam pelan sambil menganggukkan kepalanya. "Saudara di Girsberg hanya bermaksud untuk membangunkan saudaranya, tapi siapa yang sangka kalau akhirnya dia membunuh saudaranya sendiri."

"Sama seperti ketika kita mengecewakan seseorang. Kita mungkin tidak bermaksud mengecewakannya, namun apa yang kita lakukan ternyata membuatnya kecewa," sahut Esmee.

William menghela nafas panjang. Ia kembali menatap pemandangan di depannya sambil terdiam. William mengepalkan tangannya di dalam saku jaket yang ia kenakan. Entah mengapa ucapan Esmee mengganggunya.

"Esmee," panggil William tiba-tiba.

Esmee segera menoleh pada William. "Ada apa? Kau sudah ingin pergi?"

William menggelengkan kepalanya.

"Lalu?"

William tersenyum simpul. "Aku hanya ingin memanggil namamu."

Esmee mengerutkan keningnya. "Kau aneh sekali. Kenapa kau tiba-tiba ingin memanggil namaku. Bukankah kau sudah sering memanggilku?"

William tertawa pelan sambil menatap Esmee. "Aku suka memanggil namamu. Aku merasa nyaman tiap kali aku memanggil namamu."

****

Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^

Original stories are only available at Webnovel.

Keep in touch with me by following my Instagram Account or Discord pearl_amethys ^^

pearl_amethyscreators' thoughts
Siguiente capítulo