webnovel

Bab 3: Siapa Pemuda Tampan Itu?

Satu minggu telah berlalu. Hari yang dinanti pun tiba. Sore hari, di lapangan yang terletak di ujung Kampung Rawa-Rawa, tempat yang telah disepakati bersama untuk perhelatan baku hantam jlilid dua, Geng Mirasantika telah menunggu di bawah pohon randu besar yang tumbuh subur di tepi lapangan.

Bukan Geng Mirasantika namanya kalau takut menghadapi tantangan, apalagi yang berasal dari sekelompok anak manja.

Sore berlalu tanpa ada tanda-tanda kedatangan dari geng yang diketuai oleh gadis manja anak orang kaya, yang bernama Chaca itu. Geng Mirasantika telah hilang kesabaran. Atau memang tak pernah punya kesabaran? Sebab jika mereka punya, takkan mungkin terjadi perkelahian.

"Kenapa anak-anak manja itu belum datang, ya?" tanya Tika, salah seorang anggota geng yang gemulai.

"Ck! Pasti mereka takut, jadi nggak berani datang. Dasar anak manja pengecut!" kata sang ketua geng, bersungut-sungut.

Langit kian temaram. Mentari sudah tenggelam di ufuk barat. Geng pimpinan Chaca tak kunjung datang dan mengingkari tantangan yang mereka buat sendiri.

Di tengah rasa bosan yang melanda karena menunggu, terdengar teriakan yang memekakkan telinga.

"Miraaa ... pulang, bentar lagi Maghrib!" Mira, sang ketua geng, terlonjak melihat ibunya datang membawa sapu.

"I-iya, Mak. Ini udah mau pulang, kok," sahut Mira, takut-takut.

"Santi, Tika, kalian juga pulang sana! N'tar emak kalian nyariin," ujar ibu Mira.

Mira, Santi, dan Tika, ketiga remaja yang tergabung dalam Geng Mirasantika itu pun melangkah gontai menuju rumah masing-masing.

Baku hantam jilid dua sepertinya takkan bisa terlaksana. Geng Mirasantika sangat kesal, dan akan membuat perhitungan dengan geng anak manja itu karena telah membuat mereka menunggu di bawah pohon randu tanpa kemenangan karena tak ada pertarungan.

***

Kecewa mendera hati Mira. Baku hantam jilid dua gagal gara-gara geng pimpinan Chaca tak datang ke lokasi yang telah ditentukan. Gadis berkulit sawo kelewat matang itu pun marah-marah tak terkendali. Semua menjadi sasaran amarahnya. Bahkan, kecoa tak bersalah yang melintas di hadapannya terkena semburan.

"Heh. Dasar kecoa nggak ada akhlak! Lewat nggak permisi, main nyelonong aja."

Ibu Mira yang kebetulan lewat hanya menggelengkan kepala melihat tingkah aneh anaknya.

"Walah ... bocah gemblung! Kecoa, kok, diomelin. Kenapa dia, ya, mut?" tanya sang ibu pada semut yang berbaris di dinding.

Sang ibu hanya bisa menghela napas melihat polah Mira, kemudian berlalu meninggalkan anak gadis satu-satunya yang tampak sedang frustasi itu.

***

Mira sedang bersantai di bawah pohon randu yang terletak di tepi lapangan ujung Kampung Rawa-Rawa. Dia terlonjak saat temannya, Tika, tiba-tiba muncul dengan jerit tangis yang menyayat hati. Karena terkejut, cilok yang sedang ia kunyah menyembur keluar dari mulut. Padahal itu cilok terakhir. Dan, konon katanya ... yang terakhir biasanya yang paling nikmat.

"Akh ... ini salah Tika!" rutuk Mira, kesal.

"Heh! Kenapa, lu?" Gadis yang gemar memakai ikat kepala itu membentak temannya yang gemulai dan baperan. Alih-alih menjawab, Tika justru semakin menangis tersedu-sedu. Dasar cengeng!

Mira memandangi plastik yang beberapa saat lalu penuh dengan cilok. Namun sekarang ... kosong, hampa, seperti suasana hatinya.

"Sebaiknya elu punya alasan yang bagus sampai-sampai harus bikin gue kaget dan kehilangan cilok suapan terakhir yang paling nikmat!" Mira melotot sambil berkacak pinggang.

"Saya diledekin sama cowo-cowo yang lagi nongkrong di pengkolan itu, Mir. Saya malu banget," jelas Tika. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Mira paling benci melihatnya menangis.

Sebagai ketua geng, Mira tak terima jika anggotanya dihina hingga menangis demikian pilu. Tangannya mengepal, sumpah serapah berhamburan dari bibirnya yang tipis. Tika tampak mengkerut, takut.

Gadis yang dijuluki singa oleh para pemuda di desanya sebab kegarangannya itu berjalan tergesa-gesa dengan langkah yang menghentak-hentak, hingga terdengar bunyi sendal jepit swallow yang beradu dengan aspal.

Dia menyambangi pos ronda di pengkolan Kampung Rawa-Rawa, tempat berkumpul para pemuda yang telah membuat Tika menangis tersedu sedan.

"Mir ... jangan, Mir. Tahan amarahmu!" seru Tika yang mengekor di belakangnya.

Berulangkali Tika berusaha menghentikan Mira, namun tak sedikit pun dihiraukan.

'Mereka belum tahu berhadapan dengan siapa. Gue Mira, ketua Geng Mirasantika yang ditakuti di Kampung Rawa-Rawa. Siapa yang berani menyulut api, maka bersiaplah untuk gue bakar!' gerutu Mira, dalam hati.

"Mir, jangan. Saya nggak apa-apa, kok." Tika mencekal lengan Mira, berusaha membujuk dan meredakan emosinya. Namun sia-sia. Api amarah sudah kadung menyala.

Mira menepis tangan Tika dengan kasar, lalu kembali melangkah. Dia sudah gatal ingin digaruk. Eh, ingin memukuli mereka yang berani mengusik anggota gengnya.

Tika menghadang langkah Mira. Sekali lagi, gadis yang mudah sekali meneteskan air mata itu mencoba membujuk ketua geng yang siap meluapkan kekesalan.

"Jangan, Mir! Sabar. Saya oke, kok," bujuk Tika.

"Minggir!" Mira kembali membentak, membuat Tika langsung terdiam dengan tubuh gemetaran.

Ah, dasar Tika lemah. Sekali gertak saja meleleh cairan dari matanya. Cengeng!

Anggota geng yang super baperan itu tak bisa berbuat apa-apa. Dipandanginya Mira dengan hati masygul. Sepintas dia menyesal telah mengadu kepada gadis urakan itu.

'Aduh, saya sudah salah mengganggu singa yang lagi makan cilok!' batin Tika, galau.

Sekelompok pemuda duduk bergerombol di pos ronda. Masing-masing fokus menatap ponsel di tangan. Sesekali mereka tertawa, lalu mengumpat, kemudian kembali tertawa.

Mira mendekati para pemuda yang tak menyadari kehadirannya. Wajah gadis itu tampak lebih garang dari biasanya. Dipandangi satu per satu pemuda yang sedang bermain game online bersama, mereka menyebutnya mabar.

Brakkk!

Pos ronda yang terbuat dari papan kayu digebrak. Para pemuda terlonjak. Permainan mereka terhenti. Pandangan yang semula fokus ke layar ponsel beralih pada Mira yang tampak sangat marah.

"Beraninya kalian ledekin anggota geng gue, kalian mau gue beri, hah!" bentak Mira, membuat semua ternganga.

Para pemuda saling pandang, tampak jelas ketakutan di wajah mereka. Siapa yang tak kenal ketua Geng Mirasantika yang super garang itu. Banyak yang sudah menjadi korban bogem mentahnya. Bahkan, salah satu dari pemuda yang ada di pos ronda itu pernah merasakan.

"Ma-maaf, Mir, kita-kita cuma bercanda, kok, nggak serius. Suwer, deh," ucap salah seorang pemuda, membela diri.

Mata bulat Mira melotot, tak terima dengan alasan yang diberikan. Mulut gadis itu terbuka, hendak meluapkan amarah yang dia pendam sejak gagal baku hantam. Namun tiba-tiba, lidahnya terasa kelu. Tubuhnya pun membeku saat melihat seseorang mendekat. Seorang pemuda tampan yang membawa tas besar di punggungnya.

'Ganteng banget! Kulit putih bersih, hidung mancung kek perosotan, bibirnya pink, pasti nggak pernah ngerokok, deh. Gue yakin banget! Siapakah dia ... duhai, siapa dia?' Dalam hati, Mira bertanya-tanya.

Siguiente capítulo